Judul : Black Wave:
Saudi Arabia, Iran, and the Forty Year Rivalry that Unraveled Culture, Religion, and Collective Memory in the Middle East
Pengarang : Kim Ghattas
Penerbit : Henry Holt and Company, NY
Tebal : 377 halaman
Tahun : 2020
Generasi masa kini mungkin tidak tahu bahwa
negara-negara yang kini dikenal sebagai negara Islam dulunya adalah negara yang
tergolong sekuler, termasuk Indonesia. Empat puluh tahun yang lalu, penerapan
agama Islam di Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, Mesir, Syria, Pakistan dan
Afganistan tidaklah seperti saat ini, dengan penerapan syariah secara ketat
dan tingkat keamanan yang rendah karena
maraknya terorisme berdasar agama.
Memahami apa yang terjadi selama empat puluh tahun
terakhir di wilayah Timur Tengah sangat penting, karena apa yang terjadi disana
mempengaruhi wilayah sekitarnya, terutama negara-negara dengan penduduk
beragama sama, seperti Sudan, Somalia, Indonesia, Malaysia, bahkan wilayah
Asean. Hal ini disebabkan rivalitas yang terjadi di Timur Tengah disebarkan ke
seluruh dunia.
Menurut penulis buku ini, kemunduran yang membawa
kegelapan pada negara-negara mayoritas
muslim dapat ditelusuri dari dua peristiwa pada tahun 1979, yaitu revolusi Iran
dan pemberontakan Juhayman di masjid Mekkah.
Revolusi Iran adalah ironi, karena munculnya diupayakan
oleh kaum kiri Iran yang tinggal di Lebanon, negara Arab paling sekuler serta
kebaikan Prancis sebagai negara bebas,
yang memungkinkan Khomeini menetap disana, memberi konferensi pers untuk
disiarkan ke seluruh dunia, untuk
kemudian kembali ke Iran dibantu kaum kiri dan muslim modernis, yang
berencana menggunakan Khomeini untuk
menarik rakyat namun dalam kenyataannya kemudian malah mereka disingkirkan oleh
Khomeini dan mullah garis keras lainnya yang memiliki agenda sendiri, yaitu
mendirikan negara Islam berdasarkan syariah. Selanjutnya keberhasilan revolusi
Iran memunculkan ambisi dari penguasa yang baru untuk menyebarkan aliran Syiah
ke seluruh dunia, sebagai tandingan dari Wahabi Arab Saudi, yang dipandang
sebelah mata oleh kaum Syiah.
Sementara itu pemberontakan Juhayman di Mekkah sebagai
protes atas modernisasi yang dilakukan Arab Saudi membuat negara tersebut
menghentikan pembaruan yang baru dimulai, dengan kembali ke ajaran lama, yaitu
menyingkirkan perempuan dari publik, segregasi gender lebih ketat, dan
seterusnya. Tekanan ulama Wahabi yang menuntut penerapan syariah secara ketat
mendominai kerajaan. Selanjutnya munculnya revolusi Iran mengakibatkan Arab
Saudi berusaha menahan laju pengaruh Syiah dengan menyebarluaskan aliran Wahabi
ke negara-negara Islam lainnya. Persaingan kedua aliran inilah yang
menghancurkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Perselisihan kedua aliran ini pertama muncul di Syria,
dengan adanya serangan kapten Sunni
terhadap kadet beraliran Alawites (Shia). Presiden Assad yang berafiliasi
dengan Shia, menghancurkan Muslim Broterhood, yang gagal memperoleh bantuan
dari Khomeini.
Sementara itu di Irak, Saddam dengan partai Baath yang
sekuler mmenindas Shia yang menjadi mayoritas, di lain pihak al-Muwahidoun yang
beraliran seperti Wahabi berkembang di bawah tanah. Kemudian Saddam memerangi
Iran tidak lama setelah kunjungan ke Arab Saudi pada 1980.
Mesir
Kondisi di Mesir mungkin mirip dengan di Indonesia. Sebagai upaya menghapuskan pengaruh presiden sebelumnya yaitu Nasser, Anwar Sadat mengizinkan kelompok islamis melakukan aktivitas dan mengikuti pemilihan ketua mahasiswa. Setelah disusupi Muslim Broterhood selama bertahun-tahun, kampus-kampus Mesir semakin Islami dengan dikuasainya kepemimpinan mahasiswa oleh kelompok Islamis Gama'a, yang lebih radikal. Seperti di Indonesia, mereka mendekati dan membantu para mahasiswa baru khususnya dari kelas bawah dan menengah bawah, terutama dari fakultas teknik dan kedokteran dan membina mereka menjadi kader-kader untuk menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Masyarakat Mesir yang semakin konservatif dalam beragama ini membuat kebijakan Sadat melakukan modernisasi - yang dibaca sebagai westernisasi - dan perjanjian perdamaian dengan Israel tidak mendapat dukungan rakyatnya. Puncaknya adalah penembakan terhadap Sadat pada tahun 1981 oleh pengikut Gama'a. Meskipun banyak yang menginginkan revolusi seperti di iran, namun hal itu tidak bisa terjadi di Mesir, karena institusi resmi yang mewadahi ulama yaitu Al Azhar berada dalam kontrol pemerintah. Namun pembunuhan ini menandai perubahan situasi di Mesir, karena mencerminkan tingginya dukungan terhadap Islam garis keras, yang sejak saat itu pengaruhnya makin menguasai negara tersebut, meskipun saat itu hanya sedikit orang yang yang menyadarinya. Di kemudian hari banyak aktivis Gama'a yang setelah keluar dari penjara meneruskan perjuangannya, antara lain Ayman al-Zawahiri yang kelak menjadi tangan kanan Bin Laden.
Saudi terus berupaya menanamkan pengaruhnya di Mesir, dan pada 2017 diketahui bahwa setiap mesjid menerima dana dari Saudi. Sebagai akibatnya, kondisi Mesir semakin seperti di Saudi: kehidupan sosial dan budaya berpusat pada ritual agama, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan semakin lumrah.
Pakistan
Sementara itu di Pakistan terjadi kudeta oleh Zia ul Haq, yang mengangkat diri menjadi presiden pada 1978, dan menyebur dirinya 'soldier of Islam'. Pakistan yang berdiri pada 1947 dari pemisahan dengan India, didirikan oleh Muhamad Ali Jinnah, seorang Shia sekuler dan seperti Indonesia, konsep negara Pakistan adalah sekuler, memperlakukan semua agama sama dan bersifat terbuka. Namun dalam perkembangannya kemudian, pemimpin yang lemah sering menggunakan agama untuk menarik dukungan guna mempertahankan kedudukannya, antara lain Bhutto melarang alkohol dan mengganti hari libur menjadi Jumat. Sebagaimana di tempat-tempat lainnya, pemberian kesempatan sedikit saja segera dimanfaatkan oleh Islamis militan yang bekerja selama puluhan tahun, di Pakistan hal ini dimotori oleh Mawdudi, pendiri Jamaat-e Islami, yang bercita-cita menjadikan Pakistan negara Islam dengan jalan Islamisasi masyarakat dari bawah. Selanjutnya penerapan syariah mendapat kesempatan setelah Zia menjadi presiden, yang mengangkat Mawdudi sebagai penasehat. Zia juga meminta bantuan Arab Saudi, yang mengirimkan Dawalibi untuk menuliskan hukum bagi Pakistan yang kini menjadi negara berdasarkan syariah Islam. Hal yang dilakukan Arab Saudi merupakan upaya untuk menyaingi Iran, dengan menancapkan aliran Sunni Wahabi ke Pakistan setelah sukses di Mesir. Di masa-masa selanjutnya dengan persetujuan Zia, Saudi membangun ratusan madrasah dan seminari agama di sepanjang perbatasan Pakistan Afghanistan, yang pengajarannya berupa indoktrinasi untuk perang atau Islamisasi negara. Sekolah ini menghasilkan pendiri Taliban, dan dukungan Saudi kepada pejuang Arab untuk Afghan menjadi awal mula Al Qaeda.
Lebanon
Negara Arab paling modern dan sekuler, Lebanon terpecah menjadi Lebanon Kristen dan islam pada 1982. Masuknya tentara Israel ke Lebanon memberi kesempatan pada Shia Iran untuk masuk ke kota Baalbek yang multi etnis dan agama, dan seketika mengubahnya menjadi serupa kota di Iran: perempuan wajib berhijab, bahkan dibayar untuk mengenakannya, alkohol, musik dan perayaan pernikahan dilarang, kegiatan agama dan upacara Shia digelar. Mereka merekrut kaum Shia Lebanon dari kota-kota miskin untuk menjadi tentara di Lembah Beqaa dengan dakwah agama dari klerik Iran. Inilah asal mula Hezbollah, Partai Tuhan, yang bermaksud mendirikan negara islam di Lebanon. Kondisi di Lebanon merupakan yang diharapkan Iran untuk menyebarkan revolusinya. Dari Lembah Beqaa, Hezbollah meluas ke selatan beirut, selatan Lebanon, dan daerah kumuh Beirut.
Hezbollah adalah yang pertama menggunakan bom bunuh diri untuk menyerang musuhnya. idenya berasal dari Mughniyeh, eks anggota tentara elit Arafat (Pemimpin Palestina). Bom bunuh diri pertama dilakukan seorang Shia di Lebanon pada November 1982 dan April 1983 untuk menyerang tentara Israel dan Kedubes AS di Beirut. pada 1984 pembagian Beirut semakin jelas, sebelah barat menjadi wilayah Islam atau Hezbollah. Semula penduduk Beirut yang sekuler tidak peduli, namun Hezbollah semakin menunjukkan dominasinya. mereka meledakkan bar-bar dan cafe yang menjual minuman keras, menyerang perempuan tidak berhijab, dan seterusnya. Beirut yang sekuler dan modern hancur, menjadi kota kaum Islamis yang memuja martirdom dengan bom-bom bunuh dirinya.
Afghanistan
Arab Saudi merupakann satu dari tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan pada 1996, selain memberi dukungan dengan pelatihan dan dana. Saudi memberikan bantuan melalui 300 charity pribadi yang menyalurkan dana sebesar USD 6 miliar ke seluruh dunia untuk menyebarkan ideologi Wahabi.
Irak
Pada 1990, Irak yang diembargo mengalami masa sulit setelah berakhirnya perang Teluk, dengan kesulitan pangan, memburuknya infrastruktur dan fasilitas kesehatan, mendorong banyak pengungsian. Mereka yang tinggal dan mengalami kesulitan hidup mencari pelarian pada agama, dan Saddam mencoba tampak lebih religius. Di sekolah pelajaran agama diwajibkan, Quran dicetak massal dan mesjid-mesjid dibangun. Sementara itu Arab Saudi mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menyebarkan ajaran Salafi Wahabi, yang kemudian menyusupi personel militer. Di lain pihak, Iran tidak ingin melihat Irak menjadi negara Sunni Salafi, sehingga mereka menyerang mesjid-mesjid di Iran dengan bom bunuh diri. Perang antara Sunni dan Shia terus berlanjut hingga setelah kejatuhan Saddam. Arab Saudi membantu Sunni Irak memerangi Shia dengan meledakkan mesjid-mesjid mereka, dan puncaknya di Karbala, pusat Shia terbesar di Irak, yang pernah diserang Wahabi pada 1801. Serangan ini diarahkan oleh Zarqawi, seorang Yordania yang memerangi kafir Amerika, dengan dukungan Syria. Banyak tentara Irak yang telah menganut Salafi tidak ingin negaranya dikuasai Shia setelah jatuhnya Saddam pada 2003, dan melihat kesempatan untuk mendirikan negara Islam Sunni. Peledakan mesjid di Karbala memicu peledakan mesjid-mesjid Sunni dan perang saudara bersifat sektarian antara Sunni dan Shia, yang masing-masing mendapat intervensi dari Saudi dan Iran.
Syria
Kediktatoran Assad menimbulkan pemberontakan, salah satu yang paling sukses adalah Jabhat al-Nusra, teman Zarqawi dan Bahgdadi. Ia membawa misi Zarqawi untuk menanamkan basis kekuatan di Syria. Untuk mengatasi hal tersebut, Assad menggunakan Hezbollah. Al Busra menerapkan hukum sharia di Raqqa, mengundang milisi dari Irak, dan menghabisi para pemimpin pemberontak lainnya, dan akhirnya pada 2013 Baghdadi mendirikan Islamic State in Iraq and Syria (ISI). Pada Maret 2014 ISI meledakkan pos Iran di Raqqa, yang menyulut kemarahan kaum Shia Iran dan Hezbollah. Sunni di wilayah Teluk mengumpulkan dana untuk melawan Iran dan Assad, sedangkan Iran mengumpulkan pejuang dari Shia Pakistan dan Afghanistan ke Irak dan Syria. Baghdadi menyerang kota--kota di Irak, dari Samarra hingga Mosul, sambil menghancurkan peninggalan-peniggalan bersejarah yang tak ternilai. ISIS adalah bentuk murni dari Wahabi, hasil didikan Saudi.
Sebagaimana halnya Indonesia pada 1970-1980an, negara-negara yang diuraikan dalam buku ini dulunya relatif sekuler: para perempuan bebas berpakaian bahkan rok mini, tidak ada pemisahan gender di tempat umum, perempuan bebas mengikuti pendidikan tinggi, bekerja di ruang publik, dan dilindungi dari kekerasan atau pelecehan, seni musik, sastra, tari, dan arsitektur dapat diekspresikan secara bebas, bahkan alkohol nukan sesuatu yang sangat tabu. Namun sejalan dengan meningkatnya ketaatan pada agama, dalam hal ini Salafi Wahabi, nilai perempuan dilihat dari pakaiannya, kemudian disingkirkan dari ruang publik, tidak terlindungi dari kekerasan, seni dibatasi sebelum akhirnya dilarang, tradisi dianggap bid'ah dan dihancurkan. Kehidupan sosial dan budaya yang wajar digantikan dengan kehidupan agama yang berisi ritual serta pemahaman dangkal dan literal kitab suci yang hanya berkisar halal haram serta intoleransi dan kebencian yang meningkat terhadap yang berbeda, bahkan terhadap Shia atau Ahmadiyah.
Tidakkah kita telah melihat hal-hal ini semakin sering dan biasa dalam masyaraka kita? Tidakkah sebagian besar masyarakat tidak merasa khawatir dan biasa-biasa saja bahkan mungkin merasa senang karena kehidupan semakin Islami? Namun itulah yang terjadi pada negara-negara Timur Tengah yang telah mengalami kehancuran dan diuraikan dalam buku ini! Mereka baru menyadarinya ketika semua telah terlambat!
Kim Ghattas menulis buku ini dengan sangat menarik, karena selalu disertai kisah individu-individu yang mengalami masa-masa perubahan dari kondisi negara-negara tersebut ketika masih normal atau relatif sekuler ke masa sesudahnya dimana hukum sharia telah menjerat dengan kuat, sehingga pembaca mendapat gambaran jelas bagaimana fundamentalisme Islam atau Wahabisme (dan pemerintahan Shia oleh ulama di Iran) tidak saja menghancurkan kehidupan sosial budaya seluruh negara yang didominasinya namun juga kehidupan pribadi para penduduknya. Semua itu dilakukan oleh militan Salafi Wahabi selama beberapa dekade dengan kucuran dana miliaran dolar dari Saudi, dan seringkali masyarakat tidak menyadari atau menganggap remeh perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakatnya yang telah disusupi ideologi ini karena bertopeng agama.
Buku ini sangatlah bagus karena darinya masyarakat Indonesia bisa belajar banyak. Hal-hal yang terjadi pada negara-negara yang diuraikan penulis saat ini sedang terjadi di Indonesia. Mungkin ada yang masih ingat kasus pemaksaan hijab pada murid-murid perempuan di sekolah negeri baru-baru ini? Pengusiran, pembakaran dan pembunuhan terhadap penganut Ahmadiyah? Bom bunuh diri di gereja? Perebutan mesjid oleh penganut Salafi? Berhenti jadi musisi setelah hijrah? Pelarangan atau penyerangan terhadap tradisi lokal - tradisi larungan ke laut, pementasan kesenian? Dan coba cek mesjid di sekitar anda. Bahkan mesjid baru di dekat rumah saya yang dibangun paksa (karena sebenarnya lokasinya untuk taman) ternyata setengahnya didanai Saudi! Masih banyak tanda-tanda yang bisa kita lihat apabila kita cukup waspada terhadap bahaya aliran ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyadari hal ini bahkan menyambutnya dengan suka cita. Mereka tidak menyadari bahwa apabila hal tersebut dibiarkan kita tidak akan mampu lagi mengatasinya, sebagaimana negara-negara di atas.
Buku ini perlu diterjemahkan dan diberi pengantar yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan bahaya ajaran Salafi Wahabi serta dana dari Saudi. Mungkin sudah agak terlambat karena kampus-kampus dan saudara serta teman-teman kita sudah banyak yang menganut aliran ini serta membuang budayanya sendiri, namun tidak ada salahnya kita berusaha.
Buku bisa diperoleh di Periplus dengan harga Rp284 ribu.