Tuesday, April 12, 2016

Blues Merbabu




Judul    :       Blues Merbabu
Pengarang:   Gitanyali
Penerbit:       Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun   :       2011   
Tebal    :       186 hal


 Sudah sering saya membaca tulisan Bre Redana, baik di Kompas maupun dari kumpulan cerpennya, namun baru belakangan saja saya tahu bahwa ia juga menulis novel semi biografi yang mengisahkan pengalamannya sebagai keluarga anggota PKI. Ayahnya diambil tentara ketika ia masih duduk di sekolah dasar, dan banyak teman atau kerabatnya kemudian juga tidak jelas nasibnya. Meskipun demikian, tidak seperti memoir korban pemberantasan PKI lainnya yang penuh drama atau kesedihan, novel ini bercerita dengan ringan bahkan di beberapa bagian terasa kocak.

Blues Merbabu menceritakan masa kecil pengarang di sebuah kota di bawah gunung Merbabu, yaitu Salatiga. Biasa saja sebenarnya, namun mungkin mengingatkan kita pada diri sendiri. Dalam mengenang rumah, kota dan orang-orang yang kita kenal pada masa kecil, selalu ada romantisme:  rumah terasa begitu besar, kota sangat indah dan sepi, orang-orang yang kita kenal tampak  baik atau cantik, masa lau begitu menyenangkan dengan keluarga atau teman-teman…

Kisah diceritakan dengan cara kilas balik. Seorang wartawati muda ingin mengetahui masa kecil Gitanyali dan karena tertarik dengan romantisme kisahnya, berkeras untuk mengunjungi kota tersebut dan menemui teman-teman masa kecilnya. Apakah masa lalu memang selalu tampak indah hanya karena kita masih kanak-kanak, atau karena sudah berlalu?  Apakah sebenarnya semua itu biasa saja?

Kekecewaan ketika menapak tilas tempat-tempat atau orang-orang yang di masa kecil tampak mengesankan merupakan hal yang biasa kita alami. Bagi Gitanyali hal itu adalah blues Merbabu.  Mungkin itu sebabnya orang suka bernostalgia, karena segala sesuatu yang telah lewat terasa lebih indah. Namun apabila kota atau tempat-tempat dan orang-orang yang kita kenal di masa lalu telah berubah, mungkin lebih baik kita tidak mendatanginya kembali, untuk tidak merusak kenangan indah di masa lalu.

Kisah penculikan ayah Gitanyali tidak terlalu banyak diceritakan, namun pembaca dapat menarik kesimpulan bahwa pandangan dan cara hidup setiap orang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari masa kecilnya, bahkan seringkali hal itu sangat menentukan kehidupannya di kemudian hari.
Sebuah novel yang cukup menarik, dan menambah khasanah cerita berlatar gerakan 30 September.