Showing posts with label filosofi. Show all posts
Showing posts with label filosofi. Show all posts

Tuesday, December 20, 2011

Adonis


Judul   :        Adonis - Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab Islam
Pengarang:  Zacky Chairul Umam
Penerbit:      Kepik, Depok
Tahun  :       2011, Agustus
Tebal   :       180 hal



Selama ini citra tentang bangsa Arab tidak dapat dilepaskan dari citra masyarakat yang seluruh kehidupannya diatur oleh agama dengan ketaatan tidak jauh berbeda seperti pada zaman awal kedatangannya, sangat jarang terdengar bahwa dalam bangsa Arab terdapat mereka yang memiliki pikiran atau faham berbeda yang bersifat liberal atau sekuler.  Benarkah?

Adonis, penyair Suriah yang bernama asli Ali Ahmad Said Asbar, adalah sedikit dari intelektual Arab yang memiliki pandangan sekuler. Sebagai penyair, melalui puisi ia melakukan kritik terhadap sastra dan seluruh budaya Arab yang menurutnya terlalu terikat pada agama sehingga membekukan dan melumpuhkan daya kreativitas dan pemikiran masyarakat Arab.

Berbeda dengan Edward Said, yang dalam bukunya Orientalism menilai bangsa Barat tidak adil, rasis dan imperialistis karena selalu menilai bangsa Arab khususnya sebagai bangsa yang statis, irasional, anti modernitas, kejam dan hal itu antara lain karena kolonialisme, Adonis justru melakukan kritik agar bangsa Arab mau berubah, dengan mengakui semua kelemahan tersebut sebagai kesalahan dan tanggung jawab sendiri, karena penyebabnya adalah konservatisme agama dan penindasan keragaman berpendapat selama berabad-abad oleh penguasa yang selama ini selalu beraliran konservatif.

Uraian Chaerul Umam dalam buku ini merupakan pengantar untuk memahami pokok pikiran Adonis, yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran liberal  di Arab, sehingga dapat membantu kita memahami gerakan yang terjadi disana akhir-akhir ini.

Adonis berpendapat bahwa bangsa Arab mengalami kemunduran karena agama menguasai seluruh kehidupan dan waktu  Kehidupan sosial, politik, budaya dan pengetahuan yang harus selalu meneguhkan kebenaran Quran dan hadits, membuat bangsa Arab tidak kreatif dan hanya melakukan peniruan, yaitu selalu merefer ke masa lalu, sehingga setiap tindakan di masa kini selalu meniru tindakan Nabi di masa lalu, dan masa kini serta masa depan selalu dianggap lebih buruk dari masa lalu (zaman nabi). Kitab suci juga dianggap telah berisi semua pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan harus selalu sesuai dengan yang tertulis dan yang tidak sesuai harus ditolak. Dengan demikian pencarian pengetahuan tidak terbuka kepada penemuan-penemuan baru, karena segala hal sudah diketahui dan tertulis di kitab suci. Masa lalu melingkupi masa kini dan masa depan.
Sebagaimana ditulis oleh Umam,”wahyu diletakkan oleh bangsa Arab-muslim sebagai dasar bagi pergerakan waktu dan sejarah. Wahyu…sebagai gambaran zaman secara keseluruhan: kemarin, sekarang, dan esok. …Masa depan tidak bisa menjadi titik perubahan, melainkan sesuatu yang telah tertata secara absolute menurut wahyu,” sehingga “manusia tidak menyingkapkan apapun, tetapi mempelajari penyingkapan ketuhanan.” (hal 41).

Hal ini mengakibatkan bangsa Arab statis, tertutup, ditambah perasaan superioritas suku tertentu yang bersifat rasis terhadap suku lain di Arab, membuat pemerintahan negara-negara di kawasan tersebut bersifat despotik.
Untuk mengubah kondisi tersebut, penyair dapat berperan besar, dengan melakukan perubahan atau pembebasan puisi, yang akan mempengaruhi bahasa dan cara berpikir.   

Selama ratusan tahun puisi dan sastra hanya ditujukan untuk menegaskan kebenaran agama, dan aliran-aliran lain yang berbeda ditindas oleh penguasa. Padahal, cara pandang sastra dengan agama berbeda, misalnya tentang waktu. Agama telah meramalkan dan mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, sementara dalam sastra masa depan adalah “semesta kemungkinan”, sesuatu yang baru.
Oleh karena itu untuk membebaskan bangsa Arab dari penindasan agama dan penguasa despotik, puisi harus diubah dahulu, karena bahasa mempengaruhi cara berpikir dan pikiran akan mempengaruhi tindakan. Perubahan dalam puisi dan bahasa selanjutnya akan mengubah bidang-bidang lainnya.

Oleh karena wahyu melingkupi segalanya, maka menurut Adonis bentuk modernitas yang pertama dalam Islam adalah kritisisme terhadap wahyu, dengan mengeliminasi agama dari masyarakat dan mengokohkan akal. Modernitas sama dengan sekularisme dan rasionalisme absolut, yaitu satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial, persamaan dan kemajuan. Ia menunjuk pada pemikiran rasionalis Ibnu ar-Rawandi dan ar-Razi, yang menolak wahyu dan kenabian, serta menggantinya  dengan akal, rasionalisme dan menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran.   

Mengenai kebudayaan Arab, menurut Adonis tadinya terdiri dari yang mapan dan yang berubah, namun sejak abad ke sebelas, Al Ghazali membuat masyarakat Arab meninggalkan rasionalisme dengan pandangannya yang sangat konservatif, dan Islam menjadi absolut sebagai awal peradaban sekaligus peradaban final (hal.78) sehingga sejak saat itu agama menentukan dan mengatur seluruh bidang kehidupan dengan ketat, yang berlangsung hingga kini.
Penulis juga menguraikan ciri-ciri mazhab konservatif ini yang bersifat fundamentalis dan dapat kita temukan persamaannya dengan aliran-aliran sejenis yang kini marak di Indonesia.

Bagi pihak Barat, Adonis menjadi sumber informasi penting untuk memahami bangsa Arab dan Islam, karena dia dianggap lebih memahami jiwa bangsanya. Dalam suatu wawancara dengan Asia Time Online pada tahun 2007 ia menyatakan,

Islam destroys the creative capacity of the Arabs, who in turn do not have the capacity to become modern. .. Nothing less than the transformation of Islam from a state religion to a personal religion is required for the Arabs to enter the modern world. … the preconditions for democracy do not exist in Arab society, and cannot exist unless religion is re-examined in a new and accurate way, and unless religion becomes a personal and spiritual experience, which must be respected.The trouble, is that Arabs do not want to be free.…because being free is a great burden.“
Bagi Indonesia, kritik Adonis terhadap bangsa Arab seharusnya menjadi bahan untuk bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang berasal dari sana, karena banyak pihak yang tidak lagi dapat  membedakan antara agama Islam dan karakter serta budaya Arab, atau menyamakan agama Islam dengan konservatisme ala Arab di atas, sehingga menerima seluruh doktrin yang berasal dari sana begitu saja dengan mengabaikan karakter dan budaya sendiri bahkan rasionalitas.

Beberapa karya Adonis, yang kini berusia 81 tahun, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain buku puisi “Nyanyian Mihyar di Damaskus”. Ia mendapat  Goethe award dari Jerman pada tahun 2011 sebagai pembawa modernitas Eropa ke lingkaran Arab dan disebut sebagai penyair Arab terpenting saat ini, ia juga sempat disebut-sebut  sebagai calon pemenang Nobel sastra tahun 2011, namun belum terpilih.
Dari kritik Adonis terlihat bahwa konservatisme agamalah yang menjadi penyebab utama kemunduran bangsa Arab. Namun, hal inilah yang kini tampaknya justru hendak diikuti oleh penganut Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia

Escape From Evil

Judul : Escape from Evil
Pengarang: Ernest Becker
Penerbit: Free Press
Tahun : 1976
Tebal : 170 hal



Melanjutkan dua buku sebelumnya, Escape from Evil dengan berdasarkan antropologi dan psikoanalisa, berupaya untuk menjelaskan bahwa segala aktivitas manusia dimotivasi oleh penyangkalan akan kematian, dan hal tersebut mempengaruhi cara manusia memaknai hidupnya.

Buku dibagi dalam beberapa bagian.Bagian pertama tentang dunia primitif, berikutnya tentang asal mula dan evolusi ketidak-samaan derajat dalam masyarakat (inequality), kemudian kekuatan dan ideologi imortalitas. Bab selanjutnya tentang asal mula kejahatan (evil), yang dibahas dalam dua bab yaitu dinamika dasar dan sifat kejahatan sosial, ditutup dengan pembahasan mengenai teori sosial.

Berdasarkan analisis terhadap karya Otto Rank dan Brown, penulis menguraikan bahwa masyarakat primitif menggunakan ritual sebagai alat untuk mengendalikan dunia dan kehidupan. Dengan upacara dan ritual yang dilakukan bersama-sama, setiap individu merasa memiliki arti dan andil dalam mengendalikan kehidupan. Upacara dan ritual bagi masyarakat primitif adalah seperti teknologi bagi manusia modern. Oleh karena itu orang yang berperan dalam upacara yaitu shaman, dukun atau pendeta memiliki kedudukan tinggi. Dalam perkembangannya kemudian, shaman atau pendeta yang bekerja sama dengan pemimpin suku atau raja dapat memiliki kekuasaan terhadap lainnya, karena memiliki kekuatan tersebut.
Penulis mencoba untuk menelusuri asal mula adanya perbedaan kelas dalam masyarakat. Apakah perbedaan tersebut muncul sejak adanya pengakuan atas kepemilikan pribadi, khususnya properti (tanah)? Apakah hanya kepemilikan pribadi yang menyebabkan munculnya inequality? Berdasarkan penelitian, bahkan pada masyarakat pemburu pengumpul telah terdapat inequality, yang disebabkan perbedaan kemampuan pribadi, antara lain pemburu atau prajurit yang lebih baik dari lainnya mendapat status lebih tinggi, sehingga mereka dapat lebih leluasa memilih istri yang dikehendaki. Demikian pula ketika shaman/ pendeta dapat meyakinkan lainnya bahwa ia memiliki kemampuan menjaga kelangsungan kehidupan, misalnya dengan melakukan upacara untuk menolak bala, memenangkan perang, menghitung waktu tanam, meramalkan gerhana, maka ia mendapat kepercayaan yang tinggi sehingga statusnya meningkat dan masyarakat bersedia memberikan persembahan agar kehidupan dan kemakmuran mereka juga terpelihara.

Pemberian mereka kemudian digunakan untuk upacara atau didistribusikan kembali untuk kepentingan bersama. Namun dalam perkembangannya, pendeta bersama ketua suku atau raja dapat mengambil lebih banyak daripada yang mereka berikan kembali dan semakin berkuasa, sehingga dapat memaksa rakyat melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Demikianlah asal mulanya perbedaan kelas dalam masyarakat dan kekuasaan memaksa yang muncul dari raja bersama pendeta atau negara.
Mengapa rakyat bersedia menyerahkan diri kepada penguasa? Menurut penulis, hal ini karena pada dasarnya manusia mendambakan imortalitas, atau keabadian. Agama berhasil menarik minat manusia karena menjanjikan imortalitas. Namun bagi sebagian pihak, dewa atau tuhan yang tak tampak kurang menarik. Bagi mereka, imortalitas dapat dicapai melalui karya yang abadi, anak, monumen, atau akumulasi kekayaan yang ditinggalkan kepada penerus. Dengan demikian uang menjadi dewa baru, karena menjanjikan imortalitas dalam bentuk lain. Dalam masyarakat primitif ritual dan upacara kolektif yang dilakukan seluruh anggota suku merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup suku tersebut: agar binatang buruan atau hasil panen tetap banyak, keberadaan anggota suku tetap eksis, perang dapat dimenangkan. Namun ketika upacara dan ritual tidak menjamin hal-hal tersebut dan hal tersebut dapat dijamin dengan adanya uang, maka suku primitif pun akan beralih menjadi mengutamakan uang.

Nilai uang pertama-tama adalah sebagai pemberi kehidupan, oleh karena itu maka pada mulanya yang digunakan sebagai uang adalah kerang cowrie dari Laut Merah, yang dianggap jimat pencegah bahaya kematian. Kemudian orang Mesir menggunakan kerang ini untuk pola membuat uang dari bahan-bahan lainnya, sampai mereka menemukan bahwa emas merupakan bahan yang paling baik, dan bentuk koin yang bulat melambangkan matahari, pemberi kehidupan.

Masyarakat primitif dengan ritual dan persembahan rutinnya kepada alam merasa memperbaharui dunia dan dengan demikian terbebaskan dari rasa bersalah, namun manusia modern hanya menumpuk hasil, sehingga timbul rasa bersalah, yang ditekan ke bawah sadar.

Menurut Becker, semakin tinggi kesadaran manusia akan kefanaannya, semakin tinggi hasratnya untuk mengingkarinya. Kefanaan dekat dengan sisi alami, kebinatangannya, oleh karena itu semakin besar kekuasaannya, semakin jauh ia mengambil jarak terhadap binatang.

Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa pemujaan terhadap pahlawan merupakan katarsis akan ketakutan kita sendiri.
Becker menegaskan bahwa, kejahatan (evil) muncul dari keinginan manusia untuk menang secara heroik dari kejahatan, namun kejahatan terbesar adalah, ia tak dapat menjamin arti hidupnya sesungguhnya, artinya bagi alam semesta.
Imortalitas sebagai motif utama manusia merupakan asal mula segala kejahatan. Kemegahan, persaingan ketat para raja, kekayaan, yang merupakan asal mula peperangan, perbudakan dan kesengsaraan manusia dapat ditelusur dari motif dasar ini: keinginan untuk menjauhkan diri dan menyangkal kefanaan tubuh serta mendapatkan imortalitas.

Becker, yang berusaha membangun ilmu tentang manusia, berpendapat bahwa pemahaman akan masyarakat dan manusia hanya bisa dicapai apabila kita memahami motif dasar ini dan menyeimbangkannya.

Meskipun ditulis lebih seperempat abad lalu, buku ini masih memberikan banyak hal untuk memahami kondisi masyarakat di masa kini serta menyenangkan untuk dibaca; setiap kalimat mengungkapkan hal yang baru dan ditulis dengan jelas dan jernih. Namun untuk memahami tulisannya, lebih baik apabila pembaca telah memiliki dasar-dasar ilmu sosial dan filsafat.
Ernest Becker (1924-1974) adalah antropolog dan psikolog sosial pemenang Pulitzer Prize untuk buku The Denial of Death.

Thursday, September 21, 2006

MAN AND HIS GODS

Pengarang : Homer W. Smith, dengan kata pengantar oleh Albert Einstein
Tebal : 624 halaman

Banyak dari kita hanya menerima informasi dari satu sisi, dan hanya mengetahui apa yang terjadi dan dipercaya pada saat ini. Pengetahuan kita akan sejarah seringkali sangat minim, sehingga kita percaya saja apapun yang diajarkan tanpa mengetahui fakta sebenarnya.
Munculnya buku-buku fiksi ala Da Vinci Code yang memberikan sedikit informasi sejarah, cukup baik untuk menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat, namun mungkin membingungkan pembaca, karena batasan antara fiksi dan fakta tidak jelas.
Buku Man and His Gods, sebaliknya, adalah sejarah, yang datanya berasal dari tulisan-tulisan kuno yang diperoleh para arkeolog dari penggalian-penggalian di wilayah Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Jerusalem dan wilayah sekitarnya. Buku ini menguraikan latar belakang dan perkembangan kepercayaan manusia sejak zaman 10.000 ribu tahun sebelum Masehi (S.M) sampai awal abad 20, dan menunjukkan bahwa agama-agama saat ini pun sebenarnya masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan kuno tersebut. Saya akan menguraikan tentang kepercayaan dan mitologi yang mendasari tiga kebudayaan kuno saja.
1. MESIR
Peradaban kuno Mesir, Mesopotamia dan Babilonia berkembang antara lain karena kepercayaan mereka, yang didasari mitologi. Pada zaman tersebut, agama memegang peranan sentral, sehingga posisi kuil dan pendeta sangat penting.
Di Mesir, pendeta (shaman) menyelenggarakan ritual di kuil, memimpin umat, membuat persembahan, menginterpretasikan keinginan Dewa berdasarkan gerakan lembu suci Apis yang terdapat di kuil, menentukan saat musim tanam dengan menghitung tibanya musim banjir sungai Nil dengan melihat pergerakan bintang-bintang, dan dari kegiatan ini memunculkan kalender pertama di dunia.
Pada awalnya bangsa Mesir percaya kepada Dewa Pthah sebagai Cause of Causes dan Pencipta semua hal: bumi, binatang, manusia dan dewa-dewa lain, yang tercipta hanya dengan memikirkannya saja. Pthat terdiri dari Horus (hati, pikiran) dan Thoth (kata), sebagai pengatur kosmos, sumber kebijaksanaan dan pengetahuan, dan pemberi mantra bagi peyihir untuk menguasai alam dan dunia supra natural. Namun kepercayaan ini terlalu abstrak bagi rakyat kebanyakan, sehingga kemudian muncul dewa-dewa lain yang lebih populer.
Dewa tersebut adalah empat bersaudara, yaitu Osiris dan istrinya Isis (dewi cinta, kelahiran dan kesuburan tanah), Set (dewa pembunuh, pemburu) , Horus (dewa langit, terdiri dari Ra (matahari) dan Thoth (bulan) yang masing-masing menjadi mata kanan dan kirinya) dan Nephty. Osiris dan Isis memiliki anak yaitu Horus si anak, yang merupakan reinkarnasi Osiris.
Dewa-dewa lainnya yaitu Hathor (dewi langit), Apis (reinkarnasi Osiris), Anubis, penjaga orang mati dan pemandu ke pengadilan Osiris, dan Atum.

2. MESOPOTAMIA
Mesopotamia yang terletak di sungai Tigris dan Eufrat, Irak, dahulu adalah daerah yang subur dengan kanal-kanal irigasi, sehingga disini terdapat taman yang kemudian dikenal dengan nama Taman Eden. Daerah ini menjadi padang pasir setelah banjir merusakkan kanal-kanal buatan tersebut, sehingga tanah tidak terairi, tumbuhan hilang dan soil mengering.
Dasar dari pemujaan disini adalah pemberian kurban. Semua memberikan kurban masing-masing, berupa budak, hasil pertanian, ternak, kain, rempah-rempah, emas; budak antara lain untuk dipekerjakan di kebun, peternakan dan industri milik kuil, sedang hasil pertanian untuk dipinjamkan oleh pendeta dengan bunga tinggi. Selain mengendalikan ekonomi, pendeta juga mengatur hukum perkawinan, perbudakan, kepemilikan, dan lain-lain. Dari kisah (lore) Babilonia dan Semit diketahui bahwa banjir besar terjadi pada sekitar tahun 4200 sebelum Masehi yang menutup dataran rendah setinggi 20 kaki, kemudian pada tahun 2500 S.M bangsa Sumeria dan Semit bersatu di bawah pimpinan Sargon membentuk kerajaan. Sargon dilahirkan dalam kerahasiaan, dilarutkan dalam keranjang di sungai Eufrat, diselamatkan dan dibesarkan oleh Akki si peternak, kemudian Dewi Ishtar jatuh cinta, asal muasal Sargon terbuka, dan ia dinobatkan menjadi raja. Di kemudian hari kerajaan ini menjadi besar di bawah Hammurabi.
Berdasarkan 30.000 ribu clay berasal dari tahun 2.000 S.M. yang ditemukan di reruntuhan perpustakaan raja Ashurbanipal pada tahun 1845, diperoleh pengetahuan mengenai kepercayaan bangsa Sumeria, yang dikenal dengan Seven Tablets of Creation, sebagai berikut :
Pada mulanya adalah Tiamat, yaitu substansi primordial, dan Apsu, atau benda (matter) yaitu orang tua segala hal. Dari keduanya muncul Mummu atau chaos, yang mingled dalam massa tunggal tak berbentuk, dan melahirkan dewa-dewa. Namun adanya dewa-dewa mengganggu ketenangan Tiamat dan Apsu, sehingga Mummu menawarkan diri untuk menghancurkan mereka untuk Tiamat. Sebelum hal itu terjadi, dewa-dewa antara lain Ea dan Marduk telah mengetahuinya, sehingga Ea segera melakukan tipu muslihat dengan menjadikan Apsu tertidur kemudian membunuhnya, demikian pula Mummu dipotong bagian penting tubuhnya dan dilenyapkan cahayanya. Sementara itu Marduk membunuh Tiamat, dan mengurung Kingu, suami kedua Apsu dalam tempat gelap serta mengurbankannya. Darah Kingu membentuk fashioned manusia untuk pelayanan kepada dewa-dewa dan menjadikan dewa bebas. Kini dewa-dewa merasa bosan, karena tidak memiliki pemuja, sehingga Marduk, sebagai pemimpin dewa-dewa berkata,”Aku akan menciptakan manusia”. Darahnya berasal dari dewa sedangkan tulangnya dari bumi, dan nasibnya ditentukan oleh Marduk. Manusia, yang merasa bersyukur pada Marduk sebagai pahlawan dan pencipta mereka, membangun kuil untuknya, yaitu kuil Babel, atau The Gate of God.

Bangsa ini juga percaya kepada Dewa Bulan, Sin, dan hari ke tujuh adalah hari suci dewa ini, dimana mereka tidak berani memasak daging, mengganti pakaian atau memulai suatu kegiatan karena akan membawa nasib buruk.
Terdapat pula kepercayaan akan Aralu, yaitu tempat bagi orang mati, yang berada di bawah kekuasaan Dewi Allat, yang mudah melakukan kekerasan, dan Nergal, Dewa demam dan wabah; keduanya tinggal di sebelah barat dunia yang dikelilingi 7 dinding. Dewi Allat menghakimi orang-orang mati, yang nasibnya ditentukan oleh persembahan dan pengurbanan yang dibuat semasa hidup. Mereka yang kurang memenuhi syarat akan terkena lepra selama-lamanya, sedangkan yang cukup memenuhi syarat akan mengalami keadaan yang menyedihkan : memakan debu bumi, haus dan lapar, menggigil kedinginan, dan diganggu setan kegelapan. Dengan demikian kematian adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan.

3. BABILONIA
Mitologi lainnya adalah kisah Gilgamesh, yang berasal dari 12 tablet di perpustakaan kerajaan di Nineveh serta ditemukan pula di Ashur dan Asia Minor, dari masa sebelum 2500 S.M.
Kisah Gilgamesh berkaitan dengan pencarian Pohon Kehidupan, banjir besar, kapal dan kehancuran manusia, serta seorang yang diselamatkan dewa-dewa (Uta Napishtim) dan karenanya memperoleh keabadian. Dalam kisah ini tokoh sentralnya adalah Ishtar, dewi utama bangsa Mesopotomia yang dipuja tidak jauh berbeda dengan dewa Marduk. Para ahli memperkirakan bahwa asal muasal Ishtar adalah dewi bangsa Semit (Yahudi) Ashtar atau Astarte, karena bangsa ini semula merupakan masyarakat matriarkal. Pemujaan terhadap Ishtar atau dewi tampak dari temuan benda-benda berbentuk wanita hamil di wilayah yang luas, dari peninsula Italia, Nil, Tigris, Eufrat dan teluk Persia.
Dalam Gilgamesh, dikisahkan bahwa Gilgamesh adalah seorang muda yang kuat dan tampan sehingga mengalahkan semua orang di kota Erech. Hal ini meresahkan penduduk kota tersebut, sehingga mereka berdoa kepada dewa-dewa. Dewi Ishtar kemudian memerintahkan dewi Aruru untuk menciptakan pesaing Gilgamesh. Dari tanah liat, dengan tangannya Aruru membentuk makhluk laki-laki yang dinamakan Engidu, dan tinggal di hutan. Engidu seorang yang kuat, sehingga sebenarnya dapat mengalahkan Gilgamesh, namun dewa Shamash berkeinginan mengubah kedua prajurit tersebut menjadi sahabat. Untuk membujuk Engidu, Shamash mengirim seorang pemburu ke kuil Ishtar untuk mendapatkan seorang pendeta perempuan cantik. Pendeta ini berhasil membujuk Engidu untuk ke Erech, dan setelah perkelahian memperebutkan pendeta tersebut, keduanya menjadi sahabat. Selanjutnya Ishtar jatuh cinta kepada Gilgamesh, setelah diselamatkan dari penawanan Humbaba, namun Gilgamesh menolaknya, karena Ishtar sebelumnya telah mencintai elang, singa, stallion (kuda), gembala, tukang kebun, namun kemudian menyengsarakan mereka semua. Hal ini membuat Ishtar marah, dan mengadu kepada ayahnya dan membuat ayahnya menciptakan lembu khusus untuk menghancurkan Gilgamesh. Namun Gilgamesh dan Engidu dapat membunuh lembu tersebut, memotongnya dan melemparkan pallusnya ke Ishtar.
Kisah selanjutnya adalah Gilgamesh menemani Engidu berhari-hari dalam keadaan sekarat. Untuk menyelamatkan sahabatnya, Gilgamesh kemudian pergi mencari Pohon Kehidupan, yang dapat menghindarkan kematian sahabatnya. Setelah melalui perjalanan berat, mendapatkan Tree of Life yang kemudian hilang dicuri serpent, Gilgamesh akhirnya mencapai tanah leluhurnya, Uta Napistim, yang telah menjadi imortal, dan menceritakan tentang banjir besar, kapal dan pengangkutan seluruh binatang.
Kisah penting tentang Ishtar adalah yang berikut. Di masa mudanya Ishtar memiliki kekasih bernama Tammuz, kemudian Tammuz terluka parah dan dibawa ke kerajaan Allat. Ia dapat diselamatkan jika lukanya dibersihkan dengan air dari air mancur kemudaan, yang mengalir di tanah kematian. Ishtar kemudian pergi ke wilayah tersebut dengan sedih, namun dewi Allat tidak berkenan. Sementara itu dunia berduka karena kematian Ishtar. Kemudian dewa Ea akhirnya memutuskan perkecualian atas hukum kematian, sehingga ia mengirim utusan kepada Allat memerintahkan dilepaskannya Ishtar dan Tammuz. Keduanya kembali ke bumi. Selanjutnya setiap tahun Ishtar harus memandikan Tammuz dalam air suci, memberinya pakaian duka dan memainkan nyanyian duka. Dalam kisah ini terdapat kebangkitan dari kematian.
Disebutkan dalam buku ini, “Di Babilonia kuil Ishtar dipelihara oleh para perempuan, orang kasim dan laki-laki yang berpakaian sebagai perempuan, dan kaum pria yang bertemu dengan kependetaannya mengalami komunion dengan Dewi Keberkahan, The Divine Mother. Di kemudian hari kaum pria menganggap pemujaan terhadapnya hal yang buruk, namun mereka melanjutkannya dengan puasa, penyiksaan diri, menari, menyanyi, pengurbanan darah dan bentuk lainnya untuk membangun komunion dengan deity.”
Dewi Ishtar adalah dewi yang memiliki sifat-sifat kontradiktif, ia dapat bersikap baik, dapat dipercaya, dingin, namun juga dapat bersikap kejam, berkhianat, pemarah, namun tetap dipuja sebagai Mother of All Living. Dengan demikian, sejak zaman kuno manusia sudah terbiasa dengan sifat dewa yang kontradiktif; pengasih, pemurah, namun juga kejam, pemarah dan memberikan kesengsaraan.

Bagian selanjutnya dari buku ini membahas pengaruh mitologi di atas terhadap agama Yahudi, yang menjadi dasar agama Kristen dan Islam; perkembangan agama Kristen, asal mula konsep setan dan permasalahannya, serta kondisi kepercayaan manusia saat ini. Inti dari buku ini adalah, semua yang kita percayai saat ini berawal jauh sekali, dimulai dari mitologi yang diciptakan bangsa-bangsa kuno di atas, mungkin sejak 5.000 tahun S.M. atau sebelumnya. Apakah kita akan bersedia menelitinya kembali, ataukah akan melanjutkan saja terus modifikasi mitologi-mitologi kuno tersebut tanpa melihat sejarah, tanpa berpikir?
Buku ini sangat bagus, karena memberikan pengetahuan dari sisi lain, yang tidak mudah kita dapatkan. Mungkin karena dalam hal kepercayaan definisi dari kebaikan adalah “percaya, dan jangan sangsikan atau selidiki apapun”.

THE HISTORY OF WESTERN PHILOSOPHY

Pengarang : Bertrand Russel
Penerbit : Folio Society
Jml hal. : 833 halaman
Tahun : 2004 (edisi pertama th. 1946)
Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : Sejarah Filsafat Barat

Buku ini berisi sejarah lengkap filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno, yang dimulai dengan penjelasan mengenai filsafat Pythagoras pada tahun 532 sebelum Masehi (SM) sampai dengan filsafat John Dewey, yang diakhiri dengan penjelasan mengenai filsafat analisis logika (awal tahun 1900-an).
Uraian dibagi menjadi 3 buku yang terdiri dari 5 bagian, berdasarkan urutan kronologis atau masanya. Buku pertama, yaitu filsafat kuno terbagi atas filsafat sebelum Socrates, masa Socrates sampai Aristotle, dan masa sesudah Aristotle. Buku kedua dibagi dalam 2 bagian yaitu filsafat Katolik dan aliran lainnya sampai dengan abad 13, termasuk diantaranya filsafat Nabi Muhammad dan Thomas Aquinas. Buku ketiga terdiri dari Renaissance sampai dengan Hume, dan Rousseau sampai dengan John Dewey. Seluruhnya terdapat 40 filsuf yang pemikirannya diuraikan tersendiri masing-masing sekitar 10 halaman.
Hal yang menarik dari buku ini, selain penjelasan mengenai masing-masing aliran diuraikan secara kronologis, pada bagian awal setiap masa yang berbeda diuraikan pula kondisi atau latar belakang sejarah pada masa tersebut, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai keadaan yang melatarbelakangi filsafat tersebut. Dengan demikian pembaca tidak saja mendapatkan pengetahuan mengenai pemikiran filsafat, namun juga pengetahuan mengenai sejarah pada masa-masa tersebut, sehingga dapat diperoleh pengertian yang lebih mendalam. Sebagai contoh, sebelum membahas mengenai filsafat Yunani kuno, diuraikan terlebih dulu mengenai kemunculan dan berkembangan kebudayaan Yunani secara singkat, demikian pula sebelum pembahasan mengenai filsafat yang muncul pada era Renaisans, diuraikan terlebih dulu kondisi umum dan sejarah singkat munculnya Renaisans di Italia.
Secara umum buku ini cukup lengkap dan menyenangkan untuk dibaca serta dapat dibaca perlahan-lahan sesuai waktu yang tersedia, karena sistimatikanya sangat bagus, sehingga pembaca dapat memilih mana yang akan dibacanya terlebih dulu tanpa harus berurutan. Namun nyaris semua filsuf dan aliran filsafat telah tercakup disini, sehingga jika anda tidak punya banyak waktu untuk mempelajari filsafat, satu buku ini saja cukup memadai untuk mendapatkan pengetahuan filsafat secara menyeluruh karena sudah mencakup semuanya meskipun masing-masing hanya secara singkat. Namun jika ingin memperdalam atau untuk kepentingan akadmik tentu harus membaca lebih lanjut buku-buku asli dan pembahasan masing-masing filsuf/aliran filsafat.
Penulis buku ini sendiri, Bertrand Russel adalah filsuf sekaligus matematikawan yang cukup berpengaruh. Russel adalah filsuf yang sangat rasional, mengutamakan logika dan kebenaran ilmiah, sebagaimana tulisnya,
"In the welter of conflicting fanaticism, one of the few unifying forces is scientific truthfulness, by which I mean the habit of basing our beliefs upon temperamental bias, as is possible for human beings.."


DARWIN'S DANGEROUS IDEA - Evolution and the Meanings of Life



Pengarang : Daniel C. Dennet
Tebal : 521 halaman
Tahun : 1995

Mengapa setelah lebih dari seratus tahun, masih banyak orang yang merasa terganggu dan tidak bisa menerima teori evolusi ? Menurut penulis buku ini,
Dennet, hal itu karena akibat dari teori tersebut jauh melampaui biologi, dan menghancurkan kepercayaan yang kita anggap suci, sehingga membuat kita merasa tidak aman dan tidak berarti.
Untuk menerangkan hal di atas, penulis menguraikan apa artinya seleksi alam, bahwa seleksi alam sebenarnya merupakan proses algoritma yang berjalan secara buta dan tidak diprogram untuk suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, bahwa semua itu melalui proses secara gradual dan mekanistik, bahwa kebetulan saja akhirnya dari proses tersebut tercipta manusia, karena apabila proses tersebut diulang, belum tentu hasilnya sama. Selanjutnya karena proses evolusi tidak mempunyai tujuan tertentu, hal itu berarti kepercayaan yang kita anut selama ini bahwa manusia diciptakan dengan tujuan tertentu oleh Pencipta menjadi buyar. Hal inilah yang membuat sebagian besar dari kita tidak dapat menerimanya, karena apabila manusia tidak berada pada tangga paling atas dari hirarki makhluk hidup dan diciptakan dengan suatu tujuan tertentu yang mulia, sebagian besar dari kita akan merasa kehilangan arti hidupnya. Hal ini juga akan mengubah cara kita hidup dan memandang kehidupan ini. Namun, meskipun tidak ada lagi tujuan seperti dulu, manusia tetap harus menjaga prinsip-prinsip moral agar kehidupan sosial tetap berjalan dengan baik serta adil.
Dennet adalah seorang filsuf dan atheis sejati serta sealiran dengan Dawkins, karena itu sebagian uraian dalam bukunya merupakan serangan terhadap sebagian ilmuwan yang kurang sependapat dengan Dawkins dan pembelaan yang sangat terhadap Darwinisme. Hal ini sedikit menjadi kelemahan buku ini, karena pembahasan menjadi sedikit teknis dan mengandaikan pembaca telah menguasai dengan baik perdebatan dalam teori evolusi. Meskipun demikian, argumen-argumen yang dikemukakannya untuk meyakinkan pendapatnya sangat menarik untuk diikuti, karena meliputi topik yang luas disertai serangkaian bukti dan argumen yang cukup kuat, sehingga bahkan meskipun pembaca tidak memiliki pengetahuan yang cukup mendalam mengenai evolusi dan tidak setuju dengan pendapatnya, penulis dapat mengajak pembaca untuk berpikir dan merenungkan kembali pengetahuan dan keyakinannya secara rasional. Hal ini sebagian karena buku ini - tidak seperti yang lainnya - bukan penjelasan tentang suatu teori atau fakta ilmiah, tetapi lebih kepada konsekuensi filosofisnya. Filsafat mengajak kita untuk selalu bertanya dan merenungkan kembali nilai-nilai yang telah kita yakini dengan mempertanyakan kembali semuanya dari sudut pandang yang baru. Inilah yang diberikan oleh penulis.
Buku ini tidak begitu mudah, namun upaya membacanya akan sebanding dengan apa yang akan didapatkan. Mungkin ini akan menjadi buku favorit anda. .