Showing posts with label agama. Show all posts
Showing posts with label agama. Show all posts

Monday, April 05, 2021

Black Wave






Judul                     :   Black Wave:  
Saudi Arabia, Iran, and the Forty Year Rivalry that Unraveled Culture, Religion, and Collective Memory in the Middle East
Pengarang            :   Kim Ghattas
Penerbit               :     Henry Holt and Company, NY
Tebal                     :   377 halaman
Tahun                    :   2020


Generasi masa kini mungkin tidak tahu bahwa negara-negara yang kini dikenal sebagai negara Islam dulunya adalah negara yang tergolong sekuler, termasuk Indonesia. Empat puluh tahun yang lalu, penerapan agama Islam di Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, Mesir, Syria, Pakistan dan Afganistan tidaklah seperti saat ini, dengan penerapan syariah secara ketat dan  tingkat keamanan yang rendah karena maraknya terorisme berdasar agama. 

Memahami apa yang terjadi selama empat puluh tahun terakhir di wilayah Timur Tengah sangat penting, karena apa yang terjadi disana mempengaruhi wilayah sekitarnya, terutama negara-negara dengan penduduk beragama sama, seperti Sudan, Somalia, Indonesia, Malaysia, bahkan wilayah Asean. Hal ini disebabkan rivalitas yang terjadi di Timur Tengah disebarkan ke seluruh dunia.

Menurut penulis buku ini, kemunduran yang membawa kegelapan pada  negara-negara mayoritas muslim dapat ditelusuri dari dua peristiwa pada tahun 1979, yaitu revolusi Iran dan pemberontakan Juhayman di masjid Mekkah.

Revolusi Iran adalah ironi, karena munculnya diupayakan oleh kaum kiri Iran yang tinggal di Lebanon, negara Arab paling sekuler serta kebaikan Prancis sebagai  negara bebas, yang memungkinkan Khomeini menetap disana, memberi konferensi pers untuk disiarkan ke seluruh dunia,  untuk kemudian kembali ke Iran dibantu kaum kiri dan muslim modernis, yang berencana  menggunakan Khomeini untuk menarik rakyat namun dalam kenyataannya kemudian malah mereka disingkirkan oleh Khomeini dan mullah garis keras lainnya yang memiliki agenda sendiri, yaitu mendirikan negara Islam berdasarkan syariah. Selanjutnya keberhasilan revolusi Iran memunculkan ambisi dari penguasa yang baru untuk menyebarkan aliran Syiah ke seluruh dunia, sebagai tandingan dari Wahabi Arab Saudi, yang dipandang sebelah mata oleh kaum Syiah.

Sementara itu pemberontakan Juhayman di Mekkah sebagai protes atas modernisasi yang dilakukan Arab Saudi membuat negara tersebut menghentikan pembaruan yang baru dimulai, dengan kembali ke ajaran lama, yaitu menyingkirkan perempuan dari publik, segregasi gender lebih ketat, dan seterusnya. Tekanan ulama Wahabi yang menuntut penerapan syariah secara ketat mendominai kerajaan. Selanjutnya munculnya revolusi Iran mengakibatkan Arab Saudi berusaha menahan laju pengaruh Syiah dengan menyebarluaskan aliran Wahabi ke negara-negara Islam lainnya. Persaingan kedua aliran inilah yang menghancurkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Perselisihan kedua aliran ini pertama muncul di Syria, dengan adanya serangan  kapten Sunni terhadap kadet beraliran Alawites (Shia). Presiden Assad yang berafiliasi dengan Shia, menghancurkan Muslim Broterhood, yang gagal memperoleh bantuan dari Khomeini.

Sementara itu di Irak, Saddam dengan partai Baath yang sekuler mmenindas Shia yang menjadi mayoritas, di lain pihak al-Muwahidoun yang beraliran seperti Wahabi berkembang di bawah tanah. Kemudian Saddam memerangi Iran tidak lama setelah kunjungan ke Arab Saudi pada 1980.


Mesir
Kondisi di Mesir mungkin mirip dengan di Indonesia. Sebagai upaya menghapuskan pengaruh presiden sebelumnya yaitu Nasser, Anwar Sadat mengizinkan kelompok islamis melakukan aktivitas dan mengikuti pemilihan ketua mahasiswa. Setelah disusupi Muslim Broterhood selama bertahun-tahun, kampus-kampus Mesir semakin Islami dengan dikuasainya kepemimpinan mahasiswa oleh kelompok Islamis Gama'a, yang lebih radikal. Seperti di Indonesia, mereka mendekati dan membantu para mahasiswa baru khususnya dari kelas bawah dan menengah bawah, terutama dari fakultas teknik dan kedokteran dan membina mereka menjadi kader-kader untuk menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Masyarakat Mesir yang semakin konservatif dalam beragama ini membuat kebijakan Sadat melakukan modernisasi - yang dibaca sebagai westernisasi - dan perjanjian perdamaian dengan Israel tidak mendapat dukungan rakyatnya. Puncaknya adalah penembakan terhadap Sadat pada tahun 1981 oleh pengikut Gama'a. Meskipun banyak yang menginginkan revolusi seperti di iran, namun hal itu tidak bisa terjadi di Mesir, karena institusi resmi yang mewadahi ulama yaitu Al Azhar berada dalam kontrol pemerintah. Namun pembunuhan ini menandai perubahan situasi di Mesir, karena mencerminkan tingginya dukungan terhadap Islam garis keras, yang sejak saat itu pengaruhnya makin menguasai negara tersebut, meskipun saat itu hanya sedikit orang yang yang menyadarinya.  Di kemudian hari banyak aktivis Gama'a yang setelah keluar dari penjara meneruskan perjuangannya, antara lain Ayman al-Zawahiri yang kelak menjadi tangan kanan Bin Laden.

Saudi terus berupaya menanamkan pengaruhnya di Mesir, dan pada 2017 diketahui bahwa  setiap mesjid menerima dana dari Saudi. Sebagai akibatnya, kondisi Mesir semakin seperti di Saudi: kehidupan sosial dan budaya berpusat pada ritual agama, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan semakin lumrah.


Pakistan
Sementara itu di Pakistan terjadi kudeta oleh Zia ul Haq, yang mengangkat diri menjadi presiden pada 1978, dan menyebur dirinya 'soldier of Islam'. Pakistan yang berdiri pada 1947 dari pemisahan dengan India, didirikan oleh Muhamad Ali Jinnah, seorang Shia sekuler dan seperti Indonesia, konsep negara Pakistan adalah sekuler, memperlakukan semua agama sama dan bersifat terbuka. Namun dalam perkembangannya kemudian, pemimpin yang lemah sering menggunakan agama untuk menarik dukungan guna  mempertahankan kedudukannya, antara lain Bhutto melarang alkohol dan mengganti hari libur menjadi Jumat. Sebagaimana di tempat-tempat lainnya, pemberian kesempatan sedikit saja segera dimanfaatkan oleh Islamis militan yang bekerja selama puluhan tahun, di Pakistan hal ini dimotori oleh Mawdudi, pendiri Jamaat-e Islami, yang bercita-cita menjadikan Pakistan negara Islam dengan jalan Islamisasi masyarakat dari bawah. Selanjutnya penerapan syariah mendapat kesempatan setelah Zia menjadi presiden, yang mengangkat Mawdudi sebagai penasehat. Zia juga meminta bantuan Arab Saudi, yang mengirimkan Dawalibi untuk menuliskan hukum bagi Pakistan yang kini menjadi negara berdasarkan syariah Islam. Hal yang dilakukan Arab Saudi merupakan upaya untuk menyaingi Iran, dengan menancapkan aliran Sunni Wahabi ke Pakistan setelah sukses di Mesir. Di masa-masa selanjutnya dengan persetujuan Zia, Saudi membangun ratusan madrasah dan seminari agama di sepanjang perbatasan Pakistan Afghanistan, yang pengajarannya berupa indoktrinasi untuk perang atau Islamisasi negara. Sekolah ini menghasilkan pendiri Taliban, dan dukungan Saudi kepada pejuang Arab untuk Afghan menjadi awal mula Al Qaeda.

Lebanon
Negara Arab paling modern dan sekuler, Lebanon terpecah menjadi Lebanon Kristen dan islam pada 1982. Masuknya tentara Israel ke Lebanon memberi kesempatan pada Shia Iran untuk masuk ke kota Baalbek yang multi etnis dan agama, dan seketika mengubahnya menjadi serupa kota di Iran: perempuan wajib berhijab, bahkan dibayar untuk mengenakannya, alkohol, musik dan perayaan pernikahan dilarang, kegiatan agama dan upacara Shia digelar. Mereka merekrut kaum Shia Lebanon dari kota-kota miskin untuk menjadi tentara di Lembah Beqaa dengan dakwah agama dari klerik Iran. Inilah asal mula Hezbollah, Partai Tuhan, yang bermaksud mendirikan negara islam di Lebanon. Kondisi di Lebanon merupakan yang diharapkan Iran untuk menyebarkan revolusinya. Dari Lembah Beqaa, Hezbollah meluas ke selatan beirut, selatan Lebanon, dan daerah kumuh Beirut.
Hezbollah adalah yang pertama menggunakan bom bunuh diri untuk menyerang musuhnya. idenya berasal dari Mughniyeh, eks anggota tentara elit Arafat (Pemimpin Palestina). Bom bunuh diri pertama dilakukan seorang Shia di Lebanon pada November 1982 dan April 1983 untuk menyerang tentara Israel dan Kedubes AS di Beirut. pada 1984 pembagian Beirut semakin jelas, sebelah barat menjadi wilayah Islam atau Hezbollah. Semula penduduk Beirut yang sekuler tidak peduli, namun Hezbollah semakin menunjukkan dominasinya. mereka meledakkan bar-bar dan cafe yang menjual minuman keras, menyerang perempuan tidak berhijab, dan seterusnya. Beirut yang sekuler dan modern hancur, menjadi kota kaum Islamis yang memuja martirdom dengan bom-bom bunuh dirinya.

Afghanistan
Arab Saudi merupakann satu dari tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan pada 1996, selain memberi dukungan dengan pelatihan dan dana.  Saudi memberikan bantuan melalui 300 charity pribadi yang menyalurkan dana sebesar USD 6 miliar ke seluruh dunia untuk menyebarkan ideologi Wahabi.

Irak
Pada 1990, Irak yang diembargo mengalami masa sulit setelah berakhirnya perang Teluk, dengan  kesulitan pangan, memburuknya infrastruktur dan fasilitas kesehatan, mendorong banyak pengungsian. Mereka yang tinggal dan mengalami kesulitan hidup mencari pelarian pada agama, dan Saddam mencoba tampak lebih religius. Di sekolah pelajaran agama diwajibkan, Quran dicetak massal dan mesjid-mesjid dibangun. Sementara itu Arab Saudi mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menyebarkan ajaran Salafi Wahabi, yang kemudian menyusupi personel militer. Di lain pihak, Iran tidak ingin melihat Irak menjadi negara Sunni Salafi, sehingga mereka menyerang mesjid-mesjid di Iran dengan bom bunuh diri. Perang antara Sunni dan Shia terus berlanjut hingga setelah kejatuhan Saddam. Arab Saudi membantu Sunni Irak memerangi Shia dengan meledakkan mesjid-mesjid mereka, dan puncaknya di Karbala, pusat Shia terbesar di Irak, yang pernah diserang Wahabi pada 1801. Serangan ini diarahkan oleh Zarqawi, seorang Yordania yang memerangi kafir Amerika, dengan dukungan Syria. Banyak tentara  Irak yang telah menganut Salafi tidak ingin negaranya dikuasai Shia setelah jatuhnya Saddam pada 2003, dan melihat kesempatan untuk mendirikan negara Islam Sunni. Peledakan mesjid di Karbala memicu peledakan mesjid-mesjid Sunni dan perang saudara bersifat sektarian antara Sunni dan Shia, yang masing-masing mendapat intervensi dari Saudi dan Iran.

Syria
Kediktatoran Assad menimbulkan pemberontakan, salah satu yang paling sukses adalah Jabhat al-Nusra, teman Zarqawi dan Bahgdadi. Ia membawa misi Zarqawi untuk menanamkan basis kekuatan di Syria. Untuk mengatasi hal tersebut, Assad menggunakan Hezbollah. Al Busra menerapkan hukum sharia di Raqqa, mengundang milisi dari Irak, dan menghabisi para pemimpin pemberontak lainnya, dan akhirnya pada 2013 Baghdadi mendirikan Islamic State in Iraq and Syria (ISI). Pada Maret 2014 ISI meledakkan pos Iran di Raqqa, yang menyulut kemarahan kaum Shia Iran dan Hezbollah. Sunni di wilayah Teluk mengumpulkan dana untuk melawan Iran dan Assad, sedangkan Iran mengumpulkan pejuang dari Shia Pakistan dan Afghanistan ke Irak dan Syria. Baghdadi menyerang kota--kota di Irak, dari Samarra hingga Mosul, sambil menghancurkan peninggalan-peniggalan bersejarah yang tak ternilai. ISIS adalah bentuk murni dari Wahabi, hasil didikan Saudi.

Sebagaimana halnya Indonesia pada 1970-1980an, negara-negara yang diuraikan dalam buku ini dulunya relatif sekuler: para perempuan bebas berpakaian bahkan rok mini, tidak ada pemisahan gender di tempat umum, perempuan bebas mengikuti pendidikan tinggi, bekerja di ruang publik, dan dilindungi dari kekerasan atau pelecehan, seni musik, sastra, tari, dan arsitektur dapat diekspresikan secara bebas, bahkan alkohol nukan sesuatu yang sangat tabu. Namun sejalan dengan meningkatnya ketaatan pada agama, dalam hal ini Salafi Wahabi, nilai perempuan dilihat dari pakaiannya, kemudian disingkirkan dari ruang publik, tidak terlindungi dari kekerasan, seni dibatasi sebelum akhirnya dilarang, tradisi dianggap bid'ah dan dihancurkan. Kehidupan sosial dan budaya yang wajar digantikan dengan kehidupan agama yang berisi ritual serta pemahaman dangkal dan literal kitab suci yang hanya berkisar halal haram serta intoleransi dan kebencian yang meningkat terhadap yang berbeda, bahkan terhadap Shia atau Ahmadiyah. 
Tidakkah kita telah melihat hal-hal ini semakin sering dan biasa dalam masyaraka kita? Tidakkah sebagian besar  masyarakat tidak merasa khawatir dan biasa-biasa saja bahkan mungkin merasa senang karena kehidupan semakin Islami? Namun itulah yang terjadi pada negara-negara Timur Tengah yang telah mengalami kehancuran dan diuraikan dalam buku ini! Mereka baru menyadarinya ketika semua telah terlambat!

Kim Ghattas menulis buku ini dengan sangat menarik, karena selalu disertai kisah individu-individu yang mengalami masa-masa perubahan dari kondisi negara-negara tersebut ketika masih normal atau relatif sekuler ke masa sesudahnya dimana hukum sharia telah menjerat dengan kuat, sehingga pembaca mendapat gambaran jelas bagaimana fundamentalisme Islam atau Wahabisme (dan pemerintahan Shia oleh ulama di Iran) tidak saja menghancurkan kehidupan sosial budaya seluruh negara yang didominasinya namun juga kehidupan pribadi para penduduknya. Semua itu dilakukan oleh militan Salafi Wahabi selama beberapa dekade dengan kucuran dana miliaran dolar dari Saudi, dan seringkali masyarakat tidak menyadari atau menganggap remeh perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakatnya yang telah disusupi ideologi ini karena bertopeng agama.

Buku ini sangatlah bagus karena darinya masyarakat Indonesia bisa belajar banyak. Hal-hal yang terjadi pada negara-negara yang diuraikan penulis saat ini sedang terjadi di Indonesia. Mungkin ada yang masih ingat kasus pemaksaan hijab pada murid-murid perempuan di sekolah negeri baru-baru ini? Pengusiran, pembakaran dan pembunuhan terhadap penganut Ahmadiyah? Bom bunuh diri di gereja? Perebutan mesjid oleh penganut Salafi? Berhenti jadi musisi setelah hijrah? Pelarangan atau penyerangan terhadap tradisi lokal - tradisi larungan ke laut, pementasan kesenian? Dan coba cek mesjid di sekitar anda. Bahkan mesjid baru di dekat rumah saya yang dibangun paksa (karena sebenarnya lokasinya untuk taman) ternyata setengahnya didanai Saudi! Masih banyak tanda-tanda yang bisa kita lihat apabila kita cukup waspada terhadap bahaya aliran ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyadari hal ini bahkan menyambutnya dengan suka cita. Mereka tidak menyadari bahwa apabila hal tersebut dibiarkan kita tidak akan mampu lagi mengatasinya, sebagaimana negara-negara di atas.

Buku ini perlu diterjemahkan dan diberi pengantar yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan bahaya ajaran Salafi Wahabi serta dana dari Saudi. Mungkin sudah agak terlambat karena kampus-kampus dan saudara serta teman-teman kita sudah banyak yang menganut aliran ini serta membuang budayanya sendiri, namun tidak ada salahnya kita berusaha.     

Buku bisa diperoleh di Periplus dengan harga Rp284 ribu.

Sunday, November 01, 2020

Islamisme Ala Kaum Muda Kampus


Judul        :  Islamisme Ala Kaum Muda Kampus -
                    Dinamika Aktivisme Mahasiswa Islam di UGM dan UI   Pengarang:  Mohammad Zaki Arrobi
Penerbit    :  Gadjah Mada Univ Press
Tebal        :  166 hal
Tahun       :  2020






Judul         :  Strategi Marketing Ideologi Islam Transnasional - 
                    Melacak Akar Pergerakan Mahasiswa Generasi Y 
                    dan Z di Yogya                           
Pengarang:  Muhammad Ridho Agung
Penerbit    :  UIN Sunan Kalijaga
Tebal        :  254 hal
Tahun       :  2019, April

Sebuah survey oleh Varkey Foundation pada tahun 2017 terhadap generasi Z global menyebutkan, bahwa generasi Z Indonesia menduduki peringkat teratas (98%) dalam komitmen terhadap agama sebagai salah satu faktor penting kebahagiaan. Sementara itu tempat berikut diduduki oleh Nigeria (86%) dan Turki (71%), sedangkan Jepang (9%) menduduki tempat terendah disusul oleh Prancis (18%), Jerman (21%), dan Inggris serta Korsel (25%), dan AS menduduki peringkat ke delapan (54%).
Generasi Y atau millenial (kelahiran 1980-1994) dan Z (kelahiran 1995-2015) merupakan generasi yang menjadi mahasiswa setelah masa reformasi, dimana pengaruh Islam radikal semakin kuat mencengkeram kampus-kampus Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru.

Kedua buku yang ditulis oleh Zaki dan Ridho ini merupakan hasil penelitian atas penyebaran Islam garis keras yaitu aliran Wahabi (Salafi), Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), dan HTI (dilarang tahun 2017) di kampus-kampus, khususnya UGM, UI dan UIN sejak awal tahun 1980-an sampai dengan 2017, yang selama ini tampaknya diabaikan oleh Pemerintah, sehingga kampus-kampus sekuler tersebut dibiarkan  menjadi tempat persemaian Islam garis keras tanpa terkendali bahkan hingga ke para pengajarnya.  
Ketiga aliran Islam di atas berbeda-beda caranya, namun semuanya memiliki tujuan tunggal, yaitu mendirikan Daulah Islamiyah atau negara Islam di Indonesia, dan anti Pancasila.Salafi Wahabi berkiblat pada penerapan Islam seperti di Saudi dan anti Pancasila secara diam-diam, Tarbiyah menyusun kekuatan melalui partai PKS, dan HTI secara terang-terangan menyatakan anti Pancasila dan berniat mendirikan khilafah.

Sebagai pengantar, Islamisme ala Kaum Muda Kampus membahas sejarah gerakan mahasiswa sejak tahun 1920, yang dibagi dalam empat periode, yaitu antara 1920-1965, 1966-1973, 1974-1980, 1980-1990, dan setelah 1990, yaitu masa gerakan keagamaan mulai mengarah ke politik.
Menurut Zaki, meningkatnya gerakan keagamaan pada tahun 1980-an merupakan kompensasi dari ditindasnya gerakan mahasiswa oleh rezim Orde Baru melalui normalisasi kehidupan kampus (NKK BKK) dan dikooptasinya beragam organisasi kemahasiswaan Islam seperti HMI, GMNI, GMII dan sejenisnya oleh KNPI. Selanjutnya pada tahun 1980-an, gerakan Islamisme mendapat kesempatan karena Orde Baru tidak menghabisi semua kekuatan politik Islam dan melakukan sekularisasi umat Islam, tetapi mendukung Islam yang bersifat spiritualistik dan moralistis (hal 33). Hal ini dimanfaatkan oleh gerakan dakwah kaum Islamis untuk menyusupi kampus dengan bertamengkan dakwah untuk kesalehan individu melalui gerakan Tarbiyah ala Ikhwanul Muslimin. Setelah reformasi, mereka mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada Maret 1998 dan PKS pada Agustus 1998. Selanjutnya setelah runtuhnya Orde Baru gerakan mahasiswa Islam lama ditinggalkan karena kurang mampu merumuskan arah gerakan yang baru sehinggal posisi mereka segera diambilaih oleh gerakan mahasiswa Islam radikal.
 
Zaki menguraikan secara rinci kegiatan dan politik yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa Islamis (Tarbiyah, Wahabi Salafi dan HTI) terhadap organisasi mahasiswa Islam lainnya. dalam merebut pengikut dan menanamkan pengaruh pada para mahasiswa UGM dan UI. Mereka menanamkan pengaruh melalui organisasi intra kampus (Lembaga Dakwah Kampus/LDK dan Tarbiyah) yang berada di bawah KAMMI dan melalui organisasi ekstra kampus, antara lain melalui kegiatan kajian agama secara intensif dalam kelompok-kelompok kecil untuk menanamkan doktrin, perekrutan kader, serta kajian-kajian umum. KAMMI merupakan organisasi untuk menyiapkan kader PKS di masa depan. Selanjutnya terdapat Forum Silahturami Mahasiswa Muslim (Foramil) yang didirikan Tarbiyah untuk menandingi KAMMI. Sementara itu di UI aktivis Tarbiyah menangani isu Palestina, hijab, dan RUU produk halal, HTI membahas politik Islam, hijab, anti Barat dan pembentukan khilafah, sedang Wahabi Salafi di UGM maupun UI mengajukan pemurnian Islam, akidah, anti Syiah dan Ahmadiyah. Organisasi yang mereka dirikan diarahkan sedemikan rupa untuk merebut kursi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), sehingga sejak tahun 1998 sampai dengan 2013 semua ketua BEM di UGM berasal dari mereka. Dengan menguasai kampus mereka lebih mudah menyusupkan ideologi Islami dalam kegiatan-kegiatan kampus seperti penerimaan mahasiswa baru, yang digunakan untuk merekrut kader, memaksakan kegiatan agama yang bersifat wajib kepada semua mahasiswa, dan seterusnya. 
Berbeda dari organisasi Islam lama, sIfat dari organisasi mahasiswa Islamis ialah kecenderungan untuk berdakwah secara aktif mendesakkan keislaman mereka kepada kelompok muslim yang lain, dengan Tarbiyah sebagai Islamis yang dominan di UGM maupun UI.   

Kesuksesan gerakan Islamisme menguasai kampus menurut Ridho dapat dijelaskan melalui teori pemasaran, yang menyatakan bahwa strategi pemasaran dapat dilakukan melalui marketing mix, yang terdiri dari product, price, place, promotion, people, physical evidence, dan process.  Hal ini juga menjelaskan mengapa organisasi mahasiswa lokal lama seperti HMI, GMNI, bahkan NU dan Muhammadiyah maupun organisasi lokal lainnya sulit bersaing dengan mereka, karena tidak didukung sumber daya yang cukup untuk pemasaran. 
Namun demikian Islamisme tidak begitu menarik bagi mahasiswa yang pernah belajar di pesantren atau dari universitas Islam seperti UIN, karena mereka telah memahami Islam yang berbeda, yang lebih toleran dan sesuai dengan budaya lokal, sedangkan mahasiswa yang berasal dari sekolah umum dan belajar teknis di UGM atau UI sangat tertarik belajar agama namun tidak memiliki cukup pemahaman sebelumnya sehingga mudah diindoktrinasi oleh kaum Islamis.

Produk
Produk yang ditawarkan kaum Islamis ialah Islam aliran Wahabi Salafi, Tarbiyah, dan HTI. Aliran ini mudah dipahami khususnya oleh mahasiswa jurusan Teknik, karena cenderung bersifat hitam putih dan tegas. Gambetta dan Hertog dalam buku Para Perancang Jihad menjelaskan, bahwa mahasiswa teknik memiliki karakter terentu yang mebuat mereka mudah menerima aliran radikal, sehingga banyak teroris Islam berlatar belakang teknik.
Price
Arab Saudi sebagai sponsor gerakan ini memiliki banyak dana untuk menduung kegiatan penyebaran Wahabi Salafi. Mereka menyediakan secara gratis makanan untuk kegiatan kajian, buku-buku, bahkan kos-kosan atau asrama di sekitar kampus, hingga biaya tes bahasa Arab dan bea siswa ke Arab Saudi.
Place
Kaum Islamis dengan bantuan biaya dari Saudi membangun belasan mesjid di sekitar kampus untuk kegiatan kajian-kajian Islamisme dan ceramah, serta mendirikan beberapa pesantren di sekitar kampus yang tidak saja mempengaruhi pandangan keagamaan para mahasiswa namun juga masyarakat di sekitarnya.Mereka juga menggunakan asrama dan kontrakan para mahasiswa sebagai tempat untuk menyebarkan ajaran serta menerapkan gaya hidup Islamis.
Promotion
Ideologi Islamis disebarkan melalui radio, sembilan situs web yang menjangkau ratusan ribu pembaca, media sosial, pamflet, mesjid-mesjid dan para agen/kader yang menyusup melalui pelajaran agama Islam yang wajib diikuti semua mahasiswa baru, yaitu Asistensi Agama Islam (AAI) selama tahun 2012-2017. Pelajaran agama Islam melalui AAI oleh agen Islamis digunakan untuk menyusupkan pemikiran radikal dari Sayd Qutb dan sejenisnya. AAI dihentikan oleh UGM sejak 2017, namun khusus fakultas teknik tetap dilanjutkan karena mereka mengajukan banding dan Islamisme paling sukses di fakultas teknik. 

People
Kaum Islamis memiliki kader-kader yang berada di kampus maupun di luar kampus yang menjadi contoh sebagai warga teladan yang berceramah di mesjid-mesjid dan bekerja di pemerintahan.Mereka bertugas mempengaruhi mahasiwa dan masyarakat untuk mengikuti ajaran Islamisme.
Physical Evidence
Mereka memiliki kantor dan yayasan untuk mendukung gerakan mereka.
Proses
Mereka menawarkan beasiswa untuk para mahasiswa melanjutkan studi di universitas-universitas Arab Saudi dan Timur Tengah, sebagai kader-kader yang kelak akan disusupkan di pemerintahan, kampus-kampus, dan masyarakat untuk menanamkan ideologi mereka dan mengubah ideologi negara menjadi ideologi berlandaskan syariat Islam.

Masifnya stratagi pemasaran yang mereka lakukan tidak dapat dilepaskan dari dukungan dana yang sangat besar dari Arab Saudi demi menjadikan umat Islam Indonesia menjadi muslim seperti bangsa Arab, namun masyarakat tidak menyadarinya, termasuk para pejabat pemerintah yang membiarkan saja perilaku tersebut. Sementara itu Islam nasional tidak didukung dengan pendanaan maupun pengkaderan yang memadai sehingga kalah bersaing dari Islamis global.

Kedua buku ini hanya membahas penanaman ideologi Islam radikal di UGM, UI dan UIN terutama di Fakultas Teknik. Namun melihat kondisi masyarakat yang semakin konservatif khususnya pada kaum muda, tampaknya kondisi yang terdapat pada UGM dan UI dialami kampus-kampus lainnya di seluruh Indonesia, apalagi IPB yang dikenal sebagai tempat awal tumbuhnya HTI dan ITB dengan mesjid Salmannya. Apabila hal ini dibiarkan, entah apa yang akan terjadi pada 10 atau 20 tahun mendatang, Indonesia akan menjadi tiruan Arab Saudi atau Timur Tengah, dijajah secara ideologis karena begitu takutnya rakyat Indonesia untuk berpikir bebas, dan Pancasila hanya akan menjadi ideologi tanpa makna.

Penelitian yang dilakukan Zaki dan Ridho relatif baru, yaitu antara tahun 2014 sampai dengan 2017, sehingga pembaca dapat membayangkan bahwa penyebaran dan penanaman ideologi Islamisme di kampus-kampus dan masyarakt masih berlangsung sampai sekarang tanpa ada tindakan berarti dari Pemerintah untuk mengcounter atau mengatasinya. Masyarakat Indonesia demikian religius dan naifnya, sehingga tidak menyadari bahwa pemahaman agamanya yang semula toleran dan liberal serta budaya aslinya sedang dikikis habis oleh Arab Saudi dkk. Mereka bahkan berlomba-lomba menunjukkan ketaatan dan keterjajahan dengan berebut pergi umroh dan haji ke Arab Saudi, bangsa yang berusaha mengubah bangsa Indonesia menjadi bangsa yang serupa dengan Saudi/Arab: bangsa yang mendiskriminasi gender, intoleran, dan menafsirkan Quran secara tekstual, dengan mencampakkan budaya leluhurnya sendiri. 

Buku Zaki dan Ridho memberi banyak informasi mutakhir secara cukup rinci mengenai gerakan Islamisme di kampus-kampus ternama Indonesia, meskipun tulisan Ridho dapat diedit lebih baik lagi, khususnya pada bagian tentang profil UGM dan UIN. Buku ini melengkapi literatur tentang penyebarab Islam radikal (lihar review buku Arus Baru Islam Radikal) pada mahasiswa. Entah apakah pemerintah cukup menyadari bahaya Islamisme? Sampai sekarang belum terdengar adanya upaya yang serius untuk mengcounter gerakan ini dengan memberi dukungan cukup kepada organisasi Islam lokal/ tradisional maupun nasionalis pembela Pancasila dan budaya lokal. Sementara kaum Islamis dengan bantuan Timur Tengah terus bekerja dengan kader-kader militan mereka berusaha mengubah rakyat Indonesia yang begitu memuja agama, sehingga begitu mudah ditaklukkan kaum Islamis.

Meskipun terlambat, masih ada yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Misalnya mengubah pelajaran agama di universitas menjadi pelajaran yang bersifat filosofis, agar tidak disalahgunakan untk penyusupan ideologi Islam radikal (selain mengawasi pengajaran agama tingkat SD hingga SMA yang juga telah disusupi Islamis melalui kegiatan rohis dan sekolah Islam terpadu), karena bukankah sejak TK sampai SMA  sudah diberikan pelajaran agama yang dianut? Pada tingkat universitas ada dua pilihan: menghapuskan pelajaran agama, atau memberikanpelajaran filsafat agama, yang membahas agama secara umum dengan kritis, dengan membandingkan agama satu sama lain, mempelajari sejarah munculnya agama secara rasional/ ilmiah, mengkritisi ajarannya, dan seterusnya. Selain itu juga membatasi kegiatan organisasi agama di kampus, khususnya dari pihak luar universitas. Kampus seharusnya menjadi tempat yang sekuler dan rasional, bukan sebaliknya, menjadi tempat pembibitan agama yang bersifat irasional dan dogmatis.Tapi siapa yang peduli bahaya yang terdapat pada kampus-kampus tersebut terhadap negara ini?
Kedua penulis buku ini lebih cinta tanah air daripada para pemimpin bangsa sekarang ini, sampai-sampai RIdho menulis,"Buku ini kupersembahkan untuk seluruh muslimin dan muslimat, yang masih sangat mencintai negeri ini."  
   




Thursday, June 04, 2020

Alpha God - The Psychology of Religious Violence and Oppresion



Judul                     :   Alpha God – The Psychology of Religious Violence and Oppression
Pengarang             :   Hector A. Gracia
Penerbit                 :   Prometheus Books, NY
Tebal                     :   287 halaman
Tahun                    :   2015


Gambaran mengenai Tuhan – terutama dalam agama Yudaisme, Kristen dan Islam – memunculkan dua sisi. Di satu sisi Tuhan digambarkan sebagai penuh kasih, pemaaf, sumber segala kebaikan, keindahan, dan tujuan utama hidup manusia. Di sisi lain, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab suci, Tuhan digambarkan memiliki sifat laki-laki agresif, tercermin dari kisah-kisah hukuman dan perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak percaya atau tidak mematuhi perintahnya, peraturan yang ketat terhadap kehidupan seksual penganut agama tersebut, dan obsesi berlebihan atas kesetiaan dan kepatuhan pihak yang dianggap subordinat yaitu perempuan. Dalam prakteknya, sejarah menunjukkan bahwa kekerasan berdasarkan agama mendominasi sebagian besar sejarah manusia, bahkan hingga saat ini. Penjajahan bangsa Eropa ke benua Asia, Afrika dan Amerika selain dimotivasi oleh kekayaan dan teritori juga oleh semangat untuk menyebarkan agama Kristen, demikian pula invasi agresif bangsa Arab untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah sekitarnya setelah kematian Nabi, dan tindakan perang, perebutan wilayah, perampasan sumber daya serta penaklukan rakyat di wilayah-wilayah tersebut dianggap sejalan dengan ajaran agama atau teks dalam kitab-kitab suci yang berisi kisah-kisah tentang keutamaan berperang untuk membela agama, janji akan wilayah baru, dan hukuman yang keras dari Tuhan apabila manusia tidak patuh total atau meragukan doktrin yang dibawa oleh nabi-nabinya, dari hukuman berupa pemusnahan kota, banjir, hingga pembakaran selama-lamanya di neraka. Ajaran agama juga menganjurkan perempuan patuh kepada laki-laki, yang diberi kelebihan dari perempuan dan memperoleh hak untuk menghukum perempuan yang tidak patuh.
Penafsiran literal terhadap isi kitab-kitab suci ini, sebagaimana dilakukan oleh para fundamentalis, radikalis dan ekstrimis, menghasilkan perang agama, penaklukan agama lain, pembunuhan perempuan penyihir, penindasan perempuan dalam bentuk antara lain mutilasi genital, pembunuhan atas nama kehormatan, dan akhirnya terorisme. Fanatisme dengan kontrol ideologi yang ketat juga melarang pemeluknya untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan maupun doktrin terkait, yang pada  akhirnya melahirkan takhayul dan kebodohan.

Apabila banyak aspek dalam agama yang mengandung kekerasan, seperti perang, penindasan terhadap perempuan, dan pembodohan serta prasangka, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penyebab hal tersebut, yaitu: mengapa demikian banyak unsur kekerasan di dalamnya?

Untuk menelusuri akar kekerasan yang terdapat dalam ajaran agama, Hector Gracia memulainya dari fakta bahwa pada umumnya pelaku kekerasan tersebut adalah pria, dan Tuhan yang digambarkan dalam ketiga agama di atas adalah Tuhan laki-laki (male God). Jadi Tuhan diciptakan dengan gambaran seorang laki-laki termasuk sifat-sifatnya.

Selanjutnya apabila kita meneliti sejarah peradaban manusia, penguasa atau raja selalu mengaitkan dirinya dengan Tuhan – misalnya sebagai keturunan Dewa atau wakil Tuhan di bumi – untuk meneguhkan kekuasaan dan penindasannya. Oleh karena itu cara untuk memahami sifat Tuhan yang bersifat opresif tersebut adalah dengan memahami jiwa laki-laki. Dan mengingat manusia berkembang melalui proses evolusi, maka pemahaman mengenai hal tersebut dapat diperoleh dari sains evolusi, yang berarti bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dilepaskan dari asal mula manusia yang berasal dari primata non manusia, dan bisa kita lihat jejaknya pada primata yang masih ada sekarang dimana manusia berbagi 99% DNA.

Mengapa kita dapat memahami kekerasan dan penindasan agama dari pemahaman mengenai leluhur primata non manusia? Penulis menjelaskan bahwa terdapat kejanggalan dari sifat yang dilekatkan pada Tuhan, yaitu meskipun Tuhan digambarkan sebagai maha kuasa, maha mengetahui, berada dimana saja, tanpa wujud fisik (immaterial) dan abadi, namun masih mementingkan hal-hal yang bersifat fisik berupa kebutuhan mendasar dari  manusia bahkan primata, yaitu makanan, seks dan teritori. Mengapa dalam kitab suci Tuhan meminta persembahan makanan dan memerintahkan penaklukan wilayah? Hal tersebut adalah kebutuhan dasar manusia bahkan ape sebagai makhluk organik.
Penulis menjelaskan, bahwa terdapat beberapa sifat yang dilekatkan pada Tuhan yang nyatanya merupakan pantulan dari sifat laki-laki, yang pada dasarnya dapat ditelusuri ke leluhur manusia pada awal evolusinya, yaitu:
1.    Dominasi seksual atau penindasan dan kekerasan terhadap perempuan
2.    Pembunuhan yang dilakukan bersama dan identitas in-goup
3.    Berlutut sebagai simbol pengakuan terhadap alpha male
4.    Penyerahan maladaptive kepada dewa
5.    Pentingnya reputasi
6.    Wilayah Tuhan
7.    Membenarkan diri sendiri

Bagi pembaca yang pernah membaca atau mempelajari  psikologi  evolusioner, ketujuh hal di atas bukanlah hal baru. Desmond Morris dalam The Naked Ape, Robert Wright dalam The Moral Animal, Frans de Waal, dan banyak evolusionis lainnya telah menulis buku-buku yang menjelaskan sifat-sifat primata yang jejaknya masih melekat pada manusia modern. Gracia menambahkan bahwa sifat-sifat tersebut melekat pula pada Tuhan yang disembah oleh mayoritas manusia, pada Tuhan dari tiga agama yang paling sukses memperoleh pengikut.
Perebutan sumber daya yang terbatas, perang terkait perebutan teritori, dan persaingan ketat antar jantan untuk menjadi alpha male, yang mendapat keistimewaan memperoleh akses lebih besar terhadap sumber daya baik makanan maupun betina, merupakan perilaku yang telah terdapat pada primata non manusia. Oleh karena itu berdasarkan sejarah evolusi, maka sifat dan perilaku manusia yang penuh kekerasan tersebut dapat ditelusuri asalnya dari leluhurnya jutaan tahun lalu, yang kini dapat dilihat pada sepupu manusia yaitu primata,  dan tercermin dalam agama yang diciptakannya. Tidak mengherankan apabila Tuhan dalam agama-agama tersebut memiliki sifat tidak jauh berbeda dengan manusia yang menciptakannya, dalam hal ini adalah kaum laki-laki.

Tesis Gracia bersandar pada keyakinan bahwa agama adalah hasil dari akal budi manusia untuk bertahan hidup. Agama bukanlah sesuatu yang suci yang benar-benar diturunkan Tuhan dari langit, sebagaimana dianut oleh orang-orang beriman penganut ketiga agama yang dibahas dalam buku ini.
Teori evolusi bisa menerangkan banyak hal dengan baik sekali, hingga ada yang mengatakan bahwa saking banyak dan luasnya hal  yang dapat diterangkan berdasarkan teori tersebut maka jadinya sampai seperti buku Just So Stories Rudyard Kipling: apa saja bisa dijelaskan asal mula atau sebabnya.

Buku ini menarik karena pembaca yang terbuka dan pernah membaca atau mempelajari psikologi evolusioner akan melihat banyak kebenaran dari hal-hal yang diuraikan oleh penulis. Namun demikian pembahasan masih terbatas pada Tuhan tiga agama, yang mungkin dianggap telah mewakili agama atau kepercayaan lain yang dominan dianut manusia sepanjang sejarah. Mungkin ada Tuhan atau agama yang sifat dominannya tidak mencerminkan kekerasan, namun hal tersebut tidak dibahas dalam buku ini. Fakta bahwa yang mendominasi kepercayaan mayoritas manusia di dunia adalah Tuhan dan agama yang bersifat agresif dan penuh kekerasan mungkin telah cukup untuk membuktikan bahwa sifat seperti itulah yang disukai oleh manusia, karena mencerminkan dirinya sendiri.   


Monday, November 20, 2017

Sang Muslim Ateis



Judul                 :   Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi
Pengarang         :   Ali A. Rizvi
Penerjemah       :   Nanang Sukandar, Sukron Hadi
Penerbit             :   LSM Indeks
Tahun                :   2017
Tebal                 :   302 halaman


Penyerangan terhadap kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan dipersulitnya pembangunan tempat ibadah penganut agama Kristen di berbagai daerah serta keberhasilan penggunaan isu agama untuk memenangkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta baru-baru ini menunjukkan, bahwa kebebasan beragama baru menjadi milik mayoritas. Apabila kaum yang beragama minoritas saja belum mendapatkan kebebasan yang setara, bagaimana dengan mereka yang tidak beragama atau ateis?

Menurut Nanang Sukandar, Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) yang menulis pengantar buku ini, sekitar 1,5% penduduk Indonesia adalah ateis. Namun tentu saja mereka tidak bisa mengekspresikan diri mereka secara terbuka, karena adanya diskriminasi bahkan persekusi dari masyarakat.  Indeks kebebasan di Indonesia juga terus merosot, dari status negara “bebas” pada tahun 2013 menjadi “setengah bebas” pada 2014. Oleh karena itu sebagai upaya advokasi kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk tidak beragama, maka dilakukan penerjemahan buku dari penulis ateis eks muslim ini.
Suatu upaya yang patut dihargai, meskipun sayangnya buku ini diterbitkan sangat terbatas dan tidak tersedia di toko-toko buku. Tentu ini karena tidak adanya kebebasan beragama (dan tidak beragama) tadi, sehingga tidak ada toko buku yang berani menjual buku tentang pandangan ateisme atau bahkan sekedar kritik terhadap agama, sama dengan  terjemahan The God Delusion yang hanya dijual secara online  oleh penjual perorangan. Sayang sekali bahwa demokrasi kita hanya membawa kebebasan bagi kaum radikalis, sehingga buku mereka banyak  dijual di toko-toko buku besar, betapapun absurdnya, sementara buku-buku yang membawa pencerahan seperti ini tidak dapat diakses masyarakat luas.

Tulisan Ali A. Rizvi dianggap relevan untuk Indonesia, karena penulis adalah eks muslim. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat perlu mengetahui fenomena ateisme di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, serta hal-hal yang menyebabkan seorang muslim menjadi tidak percaya, dengan harapan muncul sifat lebih terbuka terhadap ateis eks muslim.  Hal ini menjadi penting karena sekarang masyarakat Indonesia telah menjadi sangat konservatif dalam beragama, berbeda dengan empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu dimana dimana masyarakat masih sangat moderat bahkan liberal.

Sang Muslim Ateis mengisahkan kehidupan Ali A. Rizvi sebagai seorang dokter dari Pakistan yang pernah dibesarkan di Libya dan Arab Saudi.  Sebagaimana kaum muslim di seluruh dunia, ketika kecil ia belajar membaca dan menghafal Al Quran meskipun tidak bisa berbahasa Arab, dan dibesarkan dengan nilai-nilai Islami, juga pendapat bahwa terorisme bukanlah disebabkan agama, namun disebabkan masalah ekonomi, politik dan lainnya. Ia mempercayai semua itu, hingga – seperti halnya Ayaan Hirsi Ali – terjadi peristiwa September 1999. Peristiwa tersebut membuatnya meneliti kembali agama yang dianutnya selama ini, termasuk mengingat masa kecilnya di Saudi. 
Disana sering terjadi hukuman pancung di alun-alun yang ditonton orang banyak dalam hysteria, terutama jika korbannya berlainan agama, selain hukuman potong lengan bagi pencuri, hukum cambuk bagi korban perkosaan, larangan menjalankan agama bagi kaum minoritas, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan.  Ia merasa bahwa ada yang salah dengan lingkungan tersebut, namun keluarganya selalu mengatakan bahwa budaya Arab Saudi – tempat asal mula agamanya -  tidak ada sangkut pautnya dengan Islam yang sejati, negara tersebut memiliki Islam yang semuanya salah.
Peristiwa lain yang membuatnya meneliti keyakinannya adalah penikaman seorang tentara Inggris  pada 2013. Pelakunya menyebut bahwa tindakannya “terinspirasi oleh Al Quran..surat At Tawbah dan banyak ayat lain, yang memerintah kami memerangi mereka seperti mereka memerangi kami.” Dalam surat tersebut ayat 29,30, Rizvi menemukan perintah untuk memerangi umat Kristiani dan Yahudi sampai mereka masuk Islam dan membayar pajak jizyah – sebagaimana ISIS melakukannya di kota-kota seperti Mosul. Rizvi juga menemukan bahwa hukuman penyaliban bagi para penentang sebagaimana diklaim ISIS dapat ditemukan dalam surat Al Maaidah ayat 33 atau ayat 4 surat Muhammad untuk pemenggalan musuh. 

Rizvi mempelajari terjemahan Al Quran dan menemukan bahwa semua tindakan bangsa Saudi memiliki dasar di Quran: pemancungan terhadap disbelievers/ kafir (surat 8:12-13), pemotongan tangan bagi pencuri (surat 5:38), kekerasan dalam rumah tangga (surat 4:34), pembunuhan terhadap politeis (surat 9:5).  Hal tersebut cukup mengejutkan baginya; mengapa selama ini keluarganya tidak pernah menyebutkan bahwa hal-hal ini terdapat di Quran? Namun ketika ia bertanya kepada para ahli, mereka semua memberikan apologi, yaitu bahwa:
-     Ayat itu ditafsirkan dengan salah
-    Jika penafsiran benar, ayat itu berada dalam konteks yang spesifik pada saat itu, atau keluar dari          konteks
-  Jika kandungan ayat itu keliru, maka itu karena metafor, dan ia memaknainya terlalu literal
-  Jika banyak orang Saudi dan bangsa Arab lainnya menjelaskan dengan cara seperti Rizvi, maka ia diingatkan bahwa orang Saudi telah disuap Amerika sejak dulu dan orang Mesir membuat perjanjian  perjanjian  dengan Yahudi.
Apabila semua pembelaan di atas gagal, maka mereka akan mengatakan bahwa itu semua cuma kata-kata kecuali ditafsirkan dengan benar. Sama dengan pendapat para ustad atau ahli agama Indonesia bukan? Rizvi menyadari bahwa semua hal akan dilakukan untuk menyelamatkan Quran dari kritik, namun ia  terus meneliti untuk mendapatkan pembacaan yang obyektif. Baginya agak aneh bahwa pemeluk Islam yang moderat seperti keluarganya tidak bersedia mengikuti perintah Quran secara literal seperti Arab Saudi mengikutinya, namun hanya mengambil surat-surat yang sesuai dengan ukuran moralitas mereka sendiri. Jika demikian, bukankan hal itu berarti mereka telah memiliki ukuran moralitas sendiri, yang lebih baik dari Quran, namun mengapa mereka masih mempertahankan dan membela buku yang penuh kekejaman tersebut?

Hal lain yang disorot Rizvi adalah klaim Islam sebagai agama damai. Tidak mudah menjelaskan hal ini karena Quran penuh dengan kontradiksi. Selain surat-surat yang berisi kekerasan, terdapat pula yang menyerukan kebaikan seperti memberi sedekah, tidak mencuri. Namun sebenarnya anjuran berbuat baik ini biasa saja, karena telah ada sebelum Islam muncul, antara lain pada bangsa Yunani maupun ajaran Konfusius. Bagaimana menafsirkan kontradiksi ini? Menurut Rizvi, kontradiksi itu dapat dimengerti jika kita memahami bahwa ayat-ayat yang bersifat kebaikan – seperti memberi makan anak yatim – adalah untuk kaum muslim sendiri, sedangkan ayat yang bersifat kekerasan adalah untuk kaum di luar Islam.  

Selanjutnya, Rizvi menunjukkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik, itu sebabnya Palestina mendapat dukungan kaum muslim dan para jihadis selalu meneriakkan Allahu Akbar dan ISIS memperbudak gadis-gadis Yahudi. Agama juga bukan budaya, meskipun kaum Islam moderat mengatakan demikian. Sebagai contoh, Rizvi menunjuk banyaknya hadis yang menyebutkan bahwa Nabi menikahi Aisyah pada umur 6 tahun dan menggaulinya pada umur 9 tahun, sesuatu yang mengerikan bagi muslim liberal namun di Saudi hal tersebut masih dilakukan dan mendapat dukungan dari otoritas. Hal ini didukung oleh Quran surat 65:4 mengenai petunjuk menceraikan perempuan-perempuan tertentu, termasuk “mereka yang belum menstruasi”, sehingga ditafsirkan menikahi perempuan di bawah umur diperbolehkan. Oleh karena itu Khomeini menurunkan batas minimum perkawinan menjadi 9 tahun bagi perempuan, sementara Saudi tidak memiliki batas minimum.
Rizvi juga mengkritik kaum muslim moderal atau liberal yang selalu menyangkal adanya kaitan antara agama dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh teroris, dengan mengatakan bahwa tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, atau bahwa Islam yang sebenarnya tidak seperti itu. Hal itu tidak benar, karena para teroris atau jihadis tersebut jelas-jelas mengutip ayat-ayat Quran sebagai hal yang memotivasi mereka melakukan tindakan tersebut. Masalah yang dihadapi kaum muslim adalah bahwa “keyakinan agama begitu mendarah daging dalam identitas personal, social, dan kultural dari berbagai mmasyarakat di dunia muslim, sehingga kritik apapun terhadap agama langsung dianggap sebagai serangan personal.”

Selain hal di atas, Risvi mengungkapkan hal-hal yang membuatnya meninggalkan Islam. Mungkin banyak orang lain mengalaminya juga, namun karena ajaran agama dari kecil yang begitu kuat, tidak berani mempertanyakannya. Hal-hal tersebut yaitu:
a.    The problem of evil: jika Tuhan maha penyayang, mengapa ia memberi penyakit kanker pada orang-orang baik? Mengapa doa meminta kesembuhan tidak ada gunanya, namun pengobatan – yang berasal dari sains – dapat menyembuhkan secara efektif? Mengapa keharusan mencintai Tuhan disertai dengan ancaman neraka?  
b.   Sains: pemahaman akan luasnya alam semesta yang didapat antara lain dari Carl Sagan, membuat ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan alam terasa tidak berarti, karena banyak hal tidak dijelaskan disana yang kini dapat kita ketahui dari sains.
c. Moralitas: kisah Nabi Ibrahim yang bersedia membunuh anaknya demi Tuhan menimbulkan pertanyaan: apakah cinta kepada Tuhan berarti membolehkan apapun, termasuk membunuh anak sendiri?
d. Sebagai seorang dokter, maka Rizvi membandingkan klaim Quran mengenai perkembangan pertumbuhan janin dengan ilmu kedokteran. Diantaranya surat 23:13-14 yang menyebutkan bahwa perkembangan janin dimulai dari telinga, mata, lalu hati. Hal tersebut tidak benar, karena seharusnya dimulai dari jantung, kemudian telinga dan mata bersamaan. Yang paling fatal adalah bahwa Quran tidak pernah menyebutkan ovum atau sel telur - penyumbang lebih dari setengah materi genetik - sebagai sumber embrio. Selain itu masih banyak  kesalahan klaim Quran terkait embriologi yang membuktikan bahwa Quran hanya mengulangi penemuan sebelumnya oleh Hippocrates, Aristoteles, Galen, dan lainnya. Hal ini  menunjukkan bahwa sains dapat lebih diandalkan sementara agama mengaburkan segala sesuatu.

Dalam buku ini penulis juga menceritakan kehidupan kaum muslim di Amerika Utara – tempat ia tinggal – yang relatif liberal dan tidak berbeda jauh dengan penduduk Amerika pada umumnya. Agama lebih merupakan suatu tradisi, namun nilai-nilai yang dianut bersifat liberal. Kaum perempuan juga jarang yang berhijab. Baginya, hal itu lebih baik, karena kaum radikal dan teroris sangat berbahaya; mereka tidak menghargai kehidupan, karena bagi mereka yang berharga hanyalah akhirat. Dasar yang mereka ajukan adalah ayat-ayat Quran, antara lain surat 3:169-170, 2:154.  Rizvi bertanya, bagaimana ia melawan pendapat mereka tanpa menentang Quran?

Banyak lagi hal lain yang disampaikan Rizvi yang menurut saya perlu dibaca oleh kaum muslim Indonesia yang semakin lama semakin fanatik pandangan agamanya, agar pikiran mereka sedikit terbuka. Rizvi menulis dengan baik dan sopan, tidak seperti para penulis hard atheist, sehingga tidak akan menimbulkan kemarahan kaum muslim. Terbukti bahwa ia tidak dikejar-kejar para Islamis.

Buku ini menjadi harapan saya karena saat ini saya sudah semakin lelah menghadapi teman-teman yang demikian relijius hingga taraf absurd. Grup media sosial setiap saat ditaburi dakwah atau ayat-ayat Quran, seolah-olah tidak ada teman yang beragama Kristen atau yang tidak percaya, seolah-olah mereka berbuat baik dengan berdakwah tiap hari. Selama ini tulisan-tulisan itu saya hapus begitu saja tanpa kritik atau balasan berupa tulisan yang “mencerahkan”. Di kantor, semua rajin sembahyang lima waktu dan 90% telah berhijab, satu demi satu teman-teman dan pegawai baru mengenakannya, seolah takut berbeda, dan setiap kali ada yang “berhijrah”, sambutannya demikian hangat: “selamat”, “semakin cantik,” dan yang baru mengenakan menjawab dengan malu-malu, “ah, baru belajar, masih berantakan…”. Sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena agama adalah urusan pribadi.  Sudah untung di kantor tidak ada yang berani menyuruh saya sembahyang, berhijab atau belajar membaca Quran huruf Arab. Di lingkungan rumah, ibu saya sering disindir untuk mengenakan hijab dan mengikuti pengajian. Dengan tekanan sosial seperti ini, hanya segelintir perempuan yang sanggup bersikap liberal, dan tidak seorang pun berani meninggalkan agamanya. Teman saya yang paling liberal pun  melakukan ibadah haji. Ya, masyarakat Indonesia telah berubah, begitu mudahnya menjadi konservatif. Mengapa? Sebagaimana ditulis juga dalam buku ini, meninggalkan agama yang memberi makna, perlindungan dan lingkungan tidaklah mudah. Sebelum itu, seseorang harus memiliki pikiran kritis dan curiousity atau rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran berbeda, dengan membandingkan ajaran agamanya dengan penemuan dari ilmu pengetahuan, sejarah, dan mungkin sedikit filsafat…dengan sifat orang Indonesia yang malas membaca buku dan bersifat komunal, siapa yang mau peduli melakukan semua itu?  Sementara setiap saat khotbah-khotbah di masjid dan televise terus memborbardir setiap orang dengan ancaman neraka apabila tidak percaya  dan mengikuti ajaran mereka. Berapa orang yang masih mau meluangkan waktu untuk berpikir dan membaca buku?

Mudah-mudahan buku ini dicetak kembali kelak, agar dapat memberi dampak lebih besar bagi sikap beragama yang lebih liberal dan toleran di Indonesia. Golongan ateis dan agnostik Indonesia tetap tidak akan dapat bersikap terbuka di masyarakat, namun paling tidak mereka dapat menyebarkan buku ini kepada sekelilingnya agar tidak terlalu fanatik.


    

Sunday, February 27, 2011

GOD THE FAILED HYPOTHESIS



Judul : God: The Failed Hypothesis – How Science Shows that God Does Not Exist
Pengarang : Victor J. Stenger
Penerbit : Promotheus Books
Tahun : 2008, cet. kedua
Tebal : 300 hal

Banyak yang berpendapat bahwa sains dan agama merupakan area yang berbeda, dan memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Antara lain bahwa agama adalah mengenai moralitas dan hal-hal supernatural, sedangkan sains mengenai hal yang bersifat natural. Sains tidak dapat membuktikan kebenaran hal-hal yang bersifat supernatural, seperti ada tidaknya Tuhan. Namun sejumlah ilmuwan, antara lain Stenger berpendapat, bahwa ada tidaknya Tuhan dapat dibuktikan, khususnya Tuhan menurut agama Yahudi, Kristen dan Islam, karena Tuhan ketiga agama tersebut digambarkan aktif menciptakan alam semesta, manusia, memelihara ciptaannya, berfirman melalui nabi dan kitab suci, dan mengabulkan doa-doa. Oleh karena itu tentu bukti-buktinya dapat dilihat secara obyektif.

Penulis membagi pembahasannya dalam 10 bab. Bab pertama menjelaskan tentang metode ilmiah dan metode yang digunakannya dalam membuktikan ketiadaan Tuhan. Pertama harus dibuat model ilmiah tentang Tuhan, yang memiliki sejumlah atribut. Disini digunakan atribut Tuhan sebagaimana dipahami pemeluk tiga agama monoteis, sehingga dapat disusun hipotesis bahwa Tuhan adalah:
1. Pencipta dan pemelihara alam semesta
2. Penyusun struktur dan pembuat hukum alam semesta
3. Terlibat dalam urusan dunia bila perlu, misalnya mengabulkan doa manusia
4. Pencipta dan pemelihara manusia, yang memiliki kedudukan istimewa dibandingkan makhluk lainnya
5. Pemberi jiwa yang abadi kepada manusia
6. Sumber moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, keadilan, demokrasi
7. Menunjukkan kebenaran melalui kitab suci dan nabi-nabi, dan
8. Tuhan yang tidak menyembunyikan diri bagi mereka yang membuka diri terhadapnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka ketiadaan bukti-bukti obyektif atribut di atas dapat menjadi bukti ketidakberadaannya.

Bab dua membahas kebenaran atribut pertama. Merujuk pada teori evolusi, maka hipotesis bahwa alam semesta merupakan hasil rancangan tidak dapat dibuktikan.
Mengenai kekekalan jiwa manusia dan kemanjuran doa manusia dibahas dalam bab tiga. Berdasarkan ilmu syaraf (otak) dan penelitian mengenai keampuhan doa yang dilakukan beberapa universitas selama hampir sepuluh tahun, tidak terdapat bukti bahwa jiwa terpisah dari otak dan doa memiliki pengaruh terhadap kesembuhan pasien yang didoakan.

Dua bab selanjutnya berkaitan dengan kosmologi dan fisika membahas mengenai apakah alam semesta memiliki asal mula (yang berarti diciptakan) atau tidak (abadi). Disini penulis merujuk pada penemuan terakhir kosmologi antara lain inflationary universe dan keahliannya dalam fisika partikel, yaitu bahwa alam semesta tidak memerlukan pencipta karena tidak ada asal mulanya (infnitively old).
Selanjutnya mengenai keistimewaan manusia di alam semesta, penulis menguraikan tentang kaidah antropik (anthropic principle) yang sering digunakan untuk membuktikan bahwa alam semesta diciptakan sedemikian agar manusia dapat eksis, yang menyebutkan, bila salah satu dari parameter-parameter fisika diubah sedikit saja, kehidupan yang memungkinkan munculnya manusia tidak akan ada. Namun penulis mengingatkan, hal tersebut karena parameter yang diubah hanya satu, sedangkan lainnya tetap.
Merujuk pada penelitian fisikawan Anthony Aguire, maka jika enam parameter diubah, bintang-bintang, planet dan kehidupan cerdas kemungkinan muncul. Sebaliknya, penulis menguraikan kondisi alam semesta yang tidak ramah, dan dengan demikian tidak sesuai dengan gambaran akan pentingnya manusia di alam sebagaimana tertulis dalam kitab suci, sebagaimana ditulis Stenger,”If God created a universe with at least one major purposes being the development of human life, then it is reasonable to expect that the universe should be congenial to human life. Now, you might say that God may have had other purposes besides humanity. …One certainly can imagine a god for whom humanity is not very high on the agenda and who put off in a minuscule, obscure corner of the universe. However, this is not the God of Judaism, Christianity, and Islam, who places great value on the human being and supposedly created us in his image.” (hal 154)
Fakta menunjukkan bahwa luas alam semesta tidak terbayangkan oleh manusia; jarak antar bintang sangat jauh, kekosongan merupakan sesuatu yang dominan, keberadaannya telah demikian lama, dan triliunan bintang-bintang memancarkan energi yang sedemikian besar, yang kesemuanya menampakkan kesia-siaan, waste.
”On the distance scale of human experience, the solar system is immense. Earth is one hundred and fifty million kilometers from the sun. Pluto is some six billion kilometers away. The Oort cloud of comets, which marks the edge of the solar system, extends to thirty trillion kilometers from the sun. Although the space between the planets contains smaller asteroids, comets, and dust, the solar system consists mainly of empty space that seems to serve no purpose…. On this distance place, the planets are tiny points.”
Selanjutnya mengenai luas alam semesta, Stenger menulis,” The next closest star (after the sun), Proxima Centauri, is 40 trillion kilometers. This is part of the triple-star system called Alpha Centauri. The Alpha Centauri system is 4.22 light-years away (one light-year is 9.45 trillion kilometers). …Our sun and its planetary systems are…of a galaxy containing an estimated 200 – 400 billion other stars. Called the Milky Way…is but one of perhaps a 100 billion galaxies in the visible universe. The next galaxy nearest to us, Andromeda is 2.44 million light-years away….. How big is the universe? The farthest observed galaxy at this writing, Abell... this galaxy is now about 40 billion light years away. The farthest distance we can ever hope to see, our horizon, is 13,7 billion years away.”
Selain luas yang tak terkira, umur alam semesta juga demikian lama, “Instead of six days, He took nine billion years to make earth, another biilion years or so to make life, and then another four billion years to make humanity.”
Dibandingkan semua itu, maka manusia menjadi tampak tidak berarti,”Humans have walked for less than one hundredth of one percent of earth history. ….0,0002 the mass of the universe is carbon (the main element of life). Yet we are supposed that God specially designed the universe so it would have the ability to manufacture carbon in its stars, the carbon needed for life?” (hal 157).
Demikian luas dan kerasnya alam semesta sehingga mustahil pula bagi manusia untuk menjelajahinya,”Suppose we were able to build a spaceship that could accelerate at a constant g, that is, at the acceleration of gravity on earth…..In eleven years’ ship-time it coud reach the center of our galaxy. But during that time, almost 27.000 years would have passed on earth. … Even if they traveled to the center of the Milky Way and back, aging forty-four years in the process, they would return to an Earth 104,000 years in the future as measured on Earth clocks…..space travelers would have to travel tens of thousands of light years, at the minimum, before finding a planet they coud live without a massive life support. …Our species is probably marooned in space, on spaceship Earth, and likely to go extinct before the sun burns its last hydrogen atom.”
Kesimpulannya,”It seems inconceivable that a creator exist who has a special love for humanity, and then just relegated it to a tiny point in space and time. … the universe looks very much like it was produced with no attention whatsoever paid to humanity.”

Gambaran ini memang sangat berbeda dengan kitab suci. Dalam Qur’an misalnya, tertulis,”Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. (6:97).... Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya (15:16). Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya (16:12). Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk (16:16).
Mengenai kebenaran nabi-nabi dan isi kitab suci serta sumber moralitas, yang semuanya dinyatakan berasal langsung dari Tuhan, dibahas dalam dua bab selanjutnya dengan mencocokkannya dengan tulisan sejarah yang dibuat pada masa itu serta bukti-bukti fisik yang dapat ditemukan dari penggalian arkeologi, yang kesemuanya ternyata tidak ada.

Selain membahas dari sisi sains dan sejarah, penulis juga membahas mengenai problem of evil. Dalam bab tersendiri juga diuraikan bukti atau fakta-fakta apa yang harus diperoleh untuk membuktikan bahwa kesimpulannya salah, atau bahwa Tuhan itu eksis.
Secara keseluruhan, buku ini adalah yang terlengkap dalam mencoba membuktikan ada tidaknya Tuhan, karena dibahas dari sisi biologi, kosmologi, fisika, sejarah dan filsafat dalam bab-bab ringkas dan dengan bahasa yang cukup mudah, tidak seperti buku Stenger lainnya yang cenderung teknis. Namun karena cukup ringkas, akan lebih mudah dimengerti bagi pembaca yang telah memiliki pengetahuan dasar tentang teori-teori yang dibahas. Meskipun demikian bagi pembaca yang belum mengenal sedikitpun teori evolusi atau kosmologi akan menimbulkan keinginan untuk mempelajari lebih dalam hal-hal yang disebutkan penulis.

Friday, October 02, 2009

SOCIETY WITHOUT GOD



Judul : Society Without God – What The Least Religious Nations Can Say About Contentment
Pengarang: Phil Zuckerman
Penerbit: NYU Press
Tahun : 2008
Tebal : 227 hal

Banyak yang berpendapat bahwa tanpa landasan agama, suatu masyarakat akan menjadi tidak bermoral, bahkan negara akan mengalami kemerosotan, sehingga hal ini sering menjadi alasan favorit bagi banyak pihak untuk memaksakan penerapan agama yang lebih keras. Benarkah demikian?

Buku ini mencoba untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar. Berdasarkan data-data statistik dan penelitian dengan metode in-depth interview terhadap sekitar 150 responden dari dua negara Skandinavia yaitu Denmark dan Swedia yang dilaksanakan penulis selama 14 bulan menetap di Denmark, sosiolog Zuckerman memperoleh kesimpulan bahwa negara-negara dengan tingkat kesejahteraan dan keamanan terbaik di dunia adalah negara-negara yang kadar keagamaan masyarakatnya paling rendah. Sebaliknya, dari data statistik tampak bahwa negara-negara yang paling religius adalah negara-negara yang paling tidak sejahtera dan tidak aman.

Membandingkan Swedia dan Denmark yang relatif kecil dengan negara besar seperti Amerika Serikat atau Indonesia mungkin kurang sesuai, namun Zuckerman juga memberikan data bahwa negara berpenduduk besar yang kurang religius seperti Jepang Korea atau Inggris juga relatif lebih baik kondisinya.

Tampaknya, hal yang mendorong penulis melakukan penelitiannya adalah keprihatinannya terhadap kondisi negerinya yaitu Amerika Serikat, yang masyarakatnya semakin religius hingga sering menjadi irasional. Dari sisi ini, maka keprihatinan Zuckerman relevan dengan kondisi yang terjadi di banyak negara, yang cenderung semakin religius, misalnya Indonesia. Namun, AS adalah satu-satunya negara maju demokratis yang religius.

Mencoba menemukan penyebab yang menjadikan AS berbeda dengan negara-negara Eropa, penulis mengemukakan bahwa faktor kurangnya keamanan karena tidak terjaminnya ketersediaan pekerjaan dan perumahan, pelayanan kesehatan yang terjangkau, pendidikan, dan lebarnya perbedaan antara kaum kaya dan miskin serta adanya berbagai jenis etnis dan agama dalam satu masyarakat membuat agama menjadi tempat berpaling untuk menghadapi ketiadaan kemananan tersebut dan “pemasaran” yang agresif dari masing-masing agama untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya. Selain itu, ada kemungkinan bahwa rakyat Skandinavia tidak pernah sungguh-sungguh religius, karena sejarah agama Kristen disana berasal dari tekanan raja kepada rakyatnya, namun hal ini tidak dapat diketahui dengan pasti karena tidak ada data.

Zuckerman membandingkan hal ini dengan dua negara Skandinavia yang ditelitinya, dimana negara kesejahteraan (welfare state) telah terwujud sehingga rakyat merasa aman karena kesejahteraannya terjamin, baik pekerjaan, perumahan maupun kesehatan, pendidikan rata-rata warganya cukup tinggi, suku bangsa sama, dan agama yang homogen, yaitu Kristen serta disubsidi oleh negara dengan pajak dari rakyat sehingga gereja tidak perlu melakukan berbagai “strategi pemasaran” untuk menarik pengikut guna memperoleh dana operasional. Sebagai akibatnya, rakyat kehilangan minat tidak saja terhadap gereja bahkan terhadap agama dan Tuhan itu sendiri. Namun sebagian besar warga Denmark dan Swedia menganggap diri mereka Kristen, meskipun mereka tidak percaya lagi akan adanya Tuhan, Yesus sang penyelamat maupun surga dan neraka. Bagi mereka, agama Kristen adalah suatu tradisi yang harus dipelihara, untuk acara pernikahan, pembaptisan bayi, pemakaman, serta nilai-nilai seperti menghargai orang lain dan perbuatan baik lainnya. Namun mereka tidak mempercayai sama sekali keajaiban-keajaiban yang terdapat dalam Injil. Mereka telah sangat rasional dan lebih mempercayai sains. Penyakit, kematian, kemalangan dianggap sesuatu yang alami, yang dapat dialami setiap makhluk hidup dan karenanya perlu dihadapi dengan baik tanpa perlu meminta pertolongan kepada atau menyalahkan Tuhan. Ketidak religiusan bangsa Skandinavia demikian ekstrim, hingga seseorang yang mengaku sebagai penganut Kristen dan percaya kepada keberadaan Tuhan, Yesus, surga dan neraka akan dianggap menyedihkan dan patut dikasihani. Seperti seseorang yang mengaku ateis di AS atau Indonesia.

Penulis juga mencatat keberatan bahwa rakyat di negara sekuler cenderung lebih kesepian dan mudah bunuh diri, namun ia menemukan bahwa di negara yang ditelitinya tingkat kejadiannya tidak melebihi kejadian di negara-negara yang lebih religius.

Penelitian Zuckerman sungguh menarik, karena membuktikan bahwa ada masyarakat yang tidak terobsesi oleh agama bahkan tidak pernah memikirkan/ tidak mengenal agama atau Tuhan dan dapat berfungsi lebih baik dari masyarakat yang religius.
Jadi, benarkah teori bahwa agama diperlukan oleh masyarakat yang berada di lingkungan yang tidak aman atau karena rasa takut dan khawatir serta kurang ilmu pengetahuan?

Bila kesimpulan Zuckerman benar, maka sulit mengharapkan negara-negara lain dapat berkurang religiusitasnya, karena tidak mudah mewujudkan negara sejatera yang masyarakatnya sadar sains dan mencegah “pemasaran” agresif kaum religius garis keras yang justru mendapatkan kesempatan besar di negara demokrasi, kecuali ada kemauan politik dari pemerintah negara tersebut.