Monday, October 20, 2014

Mengislamkan Jawa



Judul          :  Mengislamkan Jawa – Sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang  
Pengarang  :  M.C. Ricklefs
Penerjemah:  F.X. Dono Sunardi dan Satrio Wahono
Penerbit      : Serambi
Tahun         :   2013, November
Tebal          :   872 hal

Mereka yang meninggalkan Indonesia dua puluh hingga tiga puluh tahun yang lalu dan kembali ke Indonesia pada hari-hari ini akan pangling melihat penduduk Indonesia, karena penampilannya telah menjadi kearab-araban, sangat taat menjalankan ritual agama serta berpandangan konservatif. 
Kemana para abangan dan priayi yang dulu merupakan mayoritas penduduk itu? Bagaimana mungkin penduduk Indonesia, Jawa khususnya, begitu mudah ditaklukkan sehingga makin mirip penduduk Timur Tengah hanya dalam waktu tiga puluh tahun?

Mengislamkan Jawa merupakan buku yang sangat menarik karena mencoba menjawab semua pertanyaan itu dengan cukup mendalam.  Dalam buku ini Ricklefs membagi sejarah  Islamisasi Jawa dalam beberapa periode, yaitu: periode sampai dengan tahun 1930-an, periode tahun 1942-1949, periode 1950-1966, dan periode 1966-1980 serta 1980-1998 yang disebutnya Eksperimen Totalitarian I dan II, serta periode 1998 sampai dengan saat ini. Periode tahun-tahun sebelumnya yaitu sejak Islam masuk ke nusantara telah ditulisnya pada dua buku lainnya.

Pada mulanya Islam di Jawa bersifat sintesis mistik, artinya Islam diterima berdampingan dengan kekuatan spiritual Jawa, yang mempercayai Ratu Kidul, Sunan Lawu dan lain-lain.  Sementara itu, meningkatnya kelas menengah pada masa itu meningkatkan jumlah haji, yang membawa pulang faham reformis atau pemurnian Islam. Bagi kalangan bangsawan, hal ini dianggap tidak sesuai bagi orang Jawa, sebagaimana tampak antara lain dari tulisan Mangkunegaran IV dalam Serat Wedhatama, yaitu karena orang Jawa memiliki filsafat dan kebudayaan sendiri.

Sekitar tahun 1880-an masyarakat telah terbagi atas kaum putihan (santri), abangan dan priayi. Perjalanan haji meningkatkan modernisme atau pemurnian Islam, sehingga muncul organisasi-organisasi Islam pada awal abad 20, antara lain Muhammadiyah dan Syarikat Islam (1912). Namun hal ini diimbangi dengan munculnya partai komunis (1924) dan nasionalis (1927), yang pendukungnya merupakan abangan. Sampai dengan tahun 1930-an Islam masih banyak dipengaruhi oleh mistisme.

Periode 1942-1949 terjadi polarisasi karena adanya pemberontakan komunis pada tahun 1948, yang membelah kaum abangan dengan santri.  Selain itu terjadi pemberontakan Darul Islam, yang semuanya menimbulkan pertumpahan darah. Hal ini membuat militer tidak lagi mempercayai baik komunis maupun Islam, sehingga polarisasi dipolitisir.


Periode 1950-1965 terjadi gerakan 30 September 1965, yang berlanjut dengan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap berhaluan komunis. Setelah masa ini maka tidak ada lagi yang menghalangi Islamisasi. Dibubarkannya partai komunis dan stigma negatif terhadap partai nasionalis sebagai dekat dengan komunis mengakhiri politik aliran dan menghilangkan sandaran kaum abangan. 

Ricklefs mencatat bahwa penumpasan komunisme yang disertai dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk satu dari lima agama yang diakui negara, pendirian mesjid-mesjid hingga ke daerah terpencil, ditetapkannya agama sebagai pelajaran wajib di sekolah, dan “pembinaan” agama kepada penduduk desa-desa abangan oleh para santri, yang dilakukan secara intensif sejak Orba berkuasa, serta tidak adanya alternatif lain yaitu partai atau ideologi yang menentangnya, memberi jalan bagi Islamisasi dari bawah, yang mulai berlangsung sejak tahun 1966.  Selanjutnya meskipun pada masa ini terdapat perpindahan ke agama Kristen yang cukup besar sebagai akibat pembantaian terhadap pengikut atau simpatisan PKI atau gerakan kiri oleh ormas Islam dan kepercayaan terhadap kebatinan Jawa masih cukup kuat, termasuk oleh pimpinan tertinggi negara, namun penghancuran PKI, partai nasionalis dan depolitisasi (massa mengambang) mengakibatkan Islamisasi semakin mudah sementara kaum abangan semakin sedikit pengaruhnya karena tidak memiliki institusi yang mendukung.

Setelah adanya rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah pada tahun 1980-an, Islamisasi semakin meluas karena NU bersifat moderat, melebihi Islam modernis. Masyarakat menjadi semakin islami.

Setengah dari buku ini menguraikan Islamisasi sejak tahun 1998 sampai dengan buku ini ditulis (2012) secara rinci. Reformasi pada tahun 1998 membawa banyak kebebasan, termasuk penerapan syariat Islam di beberapa daerah, penerbitan majalah dan buku-buku dakwah yang bersifat ekstrim/fundamentalis, munculnya tokoh-tokoh Islam fundamentalis dalam MUI, dan masyarakat yang semakin konservatif, sehingga agama semakin menentukan kehidupan bernegara. Selanjutnya, karena menjelang keruntuhannya Orba mendukung Islamisasi dan selama sepuluh tahun terakhir pemimpin negara atau pemerintah tidak berani bersikap tegas menghadapi tindakan maupun pendapat kaum konservatif dan Islamisasi yang mereka lakukan dengan dakwah yang semakin intensif ke masyarakat (termasuk ke kampus-kampus sejak tahun 1980-an), maka jadilah masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) semakin Islami dan konservatif. Sebagai akibat dari pemerintah yang semakin tunduk kepada kemauan kaum agama adalah semakin lemahnya kekuatan tawar pihak-pihak yang berusaha mengimbangi kaum konservatif, antara lain Islam yang lebih liberal, sehingga yang mendominasi adalah Islam konservatif ala Timur Tengah.
Jika lima puluh tahun yang lalu orang Jawa merasa bangga dengan kejawaannya (filsafat dan pandangan hidup Jawa, mengikuti ritual agama sekedarnya serta bersifat sangat toleran terhadap agama lain, atau bersikap rasional, seperti penganut Kristen liberal di barat), maka kini sebagian besar dari mereka tidak tahu lagi filsafat Jawa, merasa berdosa jika bersikap sangat rasional, dan merasa malu jika tidak melaksanakan ritual agama secara ketat.

Upaya mengislamkan Jawa telah dimulai beratus tahun yang lalu, namun selama itu selalu terdapat pihak yang cukup kuat untuk mengimbanginya. Pemerintah kolonial, bangsawan keraton dan para priayinya, kemudian kaum nasionalis, sosialis dan komunis menjadi penyeimbang sehingga Islam di Jawa bersifat sinkretis dan toleran. Namun penghancuran partai komunis dan nasionalis serta sistem totalitarian yang menyeragamkan ideologi selama berpuluh tahun dengan membatasi dan mengharamkan kebebasan berpikir (termasuk sensor buku dan pengetahuan secara ketat) kaum mudanya serta menyerahkan pendidikan hanya kepada kaum agama membuat orang Jawa (dan Indonesia) semakin kehilangan kepribadiannya, menjadi semakin mirip dengan muslim Timur Tengah.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup sampai disini? Ataukah orang Jawa akan semakin konservatif lagi di masa depan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar bagi pihak-pihak yang menginginkan berdirinya atau ditegakkannya syariat Islam?  Apakah konsekuensi dari masyarakat yang semakin Islami, semakin buruk atau baikkah?

Ricklefs tidak yakin apakah Islamisasi dapat dihentikan, karena ia telah menginfiltrasi semua bidang kehidupan di Indonesia saat ini selain terus melakukan upaya dari akar rumput. Namun ia mengingatkan, bahwa secara filosofis, suatu negara dalam mencapai tujuannya  terdapat dua pilihan, yaitu berlandaskan kebebasan atau keadilan (yang merupakan alasan agama). Pilihan terakhir besar kemungkinan mengorbankan yang pertama, karena itu perlu berhadi-hati dalam melakukan pilihan.

Telah banyak contoh bahwa negara-negara yang masyarakat atau pemerintahnya terlalu religius bukanlah negara yang ideal. Konservatisme agama pada umumnya diikuti dengan pembatasan kebebasan berpikir dan bertindak, pengaturan yang terlalu jauh atas kehidupan pribadi,  diskriminasi gender, intoleransi dan lainnya. Berdasarkan penelitian, negara-negara yang paling baik perlakuannya terhadap warga negaranya dan maju di segala bidang adalah negara yang bersifat sekuler (lihat review buku Society without God). 

Membaca buku ini semakin meyakinkan kekhawatiran saya selama ini. Saya hanya bisa berharap bahwa demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang  tidak hanya membawa konservatisme agama, namun juga penyeimbangnya, agar kalau pun tidak dapat dibalikkan, paling tidak cukup sampai disini saja.  (Mungkinkah? Di jalan yang baru saya lewati masih ada spanduk bertulisan "Waspadai bangkitnya bahaya laten komunis", meskipun komunisme telah dihancurkan sampai ke akar-akarnya, dan di sekeliling saya adalah rekan-rekan kerja yang seluruhnya telah berkerudung, ada yang baru seminggu yang lalu – dan mendapatkan banyak ucapan selamat dan pujian, ada yang karena terpaksa disebabkan menyesuaikan diri dengan lingkungan…ah…tidak banyak yang sanggup menghadapi tekanan Islamisasi…hanya teman-teman lama yang berkepribadian kuat…)      

 

Sunday, May 11, 2014

Mengapa Negara Gagal

Judul    :      Mengapa Negara Gagal – Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran,dan Kemiskinan
Pengarang:  Daron Acemoglu dan James A. Robinson
Penerjemah: Arif Subianto
Pengantar :   Komarudin Hidayat
Penerbit:      Elex Media Komputindo
Tahun   :       2014
Tebal    :       582 hal


Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis geografi, kebudayaan dan kebodohan. Hipotesis geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan adalah kondisi geografis, antara lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas, penguasanya zalim, dan merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas rendah, atau mempengaruhi keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang dapat mendorong kemajuan. Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut, sedangkan hipotesis kebodohan mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara-negara tersebut..
Acemoglu dan Robinson berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama kesenjangan adalah institusi politik di masing-masing negara, karena institusi politik itulah yang akan menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya mempengaruhi kemajuan perekonomiannya..
Tesis dari buku ini sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong kreativitas dan kemajuan ekonomi suatu bangsa, sebaliknya, institusi ekonomi ekstraktif akan memiskinkan. Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia ini memiliki institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran, khususnya tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri.. Sementara itu Inggris dapat menjadi pelopor revolusi industri karena telah memiliki institusi politik yang inklusif, yang telah dimulai dengan adanya Magna Charta pada tahun 1490. 

Penulis mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang memungkinkan adanya jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya peluang ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat..Hal ini hanya dapat terjadi apabila terdapat kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat kontrak. Oleh karena itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan institusi politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem yang bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya, serta mencegah terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari  negara yang memiliki institusi ekonomi ekstraktif

Menurut penulis, revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani jauh berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena para petani mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal lenyap. Wabah pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja,  namun tuan tanah disana melakukan penindasan lebih kejam sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus bertahan selama berabad-abad.  
Inggris dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan struktur ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.
Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik  masih bersifat ekstraktif, karena para tuan tanah masih menerapkan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para petani.  Perbedaan kecil pada abad 14 – yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur – mengakibatkan persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17, 18 dan 19: yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.

Sepanjang sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara. Sistem ini juga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun bersifat sementara, asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan negara menegakkan ketertiban umum. Dalam sistem ini  penguasa menentukan alokasi sumber daya dengan menindas rakyat yang hasilnya digunakan untuk memicu pertumbuhan serta memakmurkan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan. Misalnya, di Karibia para elite mendorong produksi gula dengan menindas budak, sedangkan di Uni Soviet pemerintah mendorong pertumbuhan industri dengan merelokasi sumber daya agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut akan terbatas masanya, karena tanpa adanya penghancuran kreatif – munculnya kelompok baru yang mampu  meraih kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi kemakmuran dan hak-hak istimewa kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan terhenti, sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Selain itu, terkonsentrasinya kemakmuran hanya pada segelintir elite penguasa menimbulkan keinginan pihak lain melakukan kekerasan untuk merebut kekayaan tersebut. Hal ini banyak terjadi pada negara-negara Afrika, dimana sebagian besar para pemimpinnya melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan melebihi kaum penjajah, sehingga sering terjadi perang saudara untuk memperebutkan sumber daya sementara rakyat semakin miskin.

Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi baru, sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim dan ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan menerbitkan hanya 24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%. Sementara itu di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak melindungi hak rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian pula kekaisaran Habsburg  dan Rusia, keduanya melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun 1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.

Kedua penulis juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni Eropa di Amerika dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di kedua wilayah tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di wilayah lain tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal tersebut karena jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit, sehingga tidak dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni kedua koloni tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang inklusif. Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.

Kesimpulannya, bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak memiliki institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya, sehingga institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat, menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan pengurasan sumber daya (alam) suatu negara.
Memang, apabila kita meneliti sejarah bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas, di Afrika misalnya, dimana hampir seluruh pemerintahnya bersifat korup dan menindas rakyat, demikian pula pada banyak negara Asia. Di negara-negara ini tingkat kepercayaan antar warga sangat rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak beda jauh dengan Indonesia, dimana sangat sulit menemukan orang yang dapat dipercaya atau memiliki integritas. Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu dan Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: mengapa begitu banyak bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi yang inklusif? Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian lemah, atau pada dasarnya juga memiliki sifat korup, yang tercermin dari para pemimpin/pemerintahnya? Mengapa sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika jauh lebih ekstraktif dari pada Asia? Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah dari Asia? Mengapa kudeta dan perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari pada di Asia?  Mengapa bangsa Eropa Barat dapat mencapai revolusi yang memungkinkan tahap dimilikinya institusi politk ekonomi inklusif, sedangkan banyak bangsa lain tidak, bahkan meskipun telah didorong dengan adanya tekanan internasional?

Mengapa Negara Gagal memberikan cukup banyak informasi dan sejarah yang menarik untuk direnungkan. Guns, Germs and Steel - yang banyak dikritik kedua penulis – memberikan teori tentang asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa yang terjadi di masa awal peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba menerangkan kondisi di masa kini. Namun, masih ada banyak hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan.

Kopi, Kretek, Cinta


Judul    :      Kopi, Kretek, Cinta
Pengarang:  Agus R. Sarjono
Penerbit:      Komodo Books, Depok
Tahun   :       2013, Juni
Tebal    :       91 hal


Entah kenapa, banyak pengarang Indonesia menghasilkan karya yang bagus justru ketika berada di luar negeri, seperti Umar Kayam (Kunang-kunang di Manhattan),Sitor Situmorang (Salju di Paris), Budi Darma (Orang-orang Bloomington). Mungkin suasana yang berbeda dan kesendirian, memberikan  kemampuan mengambil jarak dan ekspresi yang berbeda.
Kumpulan puisi Kopi, Kretek, dan Cinta termasuk karya yang menurut penulisnya sebagian besar ditulis di luar negeri. Mungkin karena itu, ada rasa kerinduan yang murung terhadap tanah air dalam puisi-puisinya, misalnya pada puisi berjudul Kopi Jawa:

Bijih-bijih legenda
Ada dan tiada
Seperti mutiara hitam
tersulam di jubah malam

berlayar ke manca negara
menjelma lagu dan seduhan rindu
mengikat kenangan puitis
akan ladang-ladang tropis
yang subur dibasuh air mata

Atau pada puisi berjudul Bisakah Kutulis Puisi tentang Paris?

Bukankah bait-bait tadi
hampir jadi sajak yang manis
dan mungkin ingin abadi. Ditulis di Paris
kota segala puisi. Tapi asap knalpot
dan riuh klakson Jakarta
membuatku tersedak selalu
Di bibirku masih tersisa
masam jeruk limau
yang kuperas di atas geliat tiram
yang nikmat dan klasik di Lib Brasserie
Namun tercecap pula masam keringat nasib
yang dijejalkan negeri kami ke mulut rakyatnya
maka tak kunjung dapat kutulis
puisi yang indah tentang Paris

Atau puisi berjudul Wardeilaand

Di sunyi malam, apa yang mesti kulakukan
kukenang kembali malam-malam riuh
berkabut di negeriku yang besar
dan tak putus-putus mengusir orang
dari rumah-rumah mereka yang kecil
seperti ingin memaksa seluruh warga
abadi sebagai pengembara,
hingga sebagian mereka
menghambur menjadi hamba
di berbagai negara, sebagian lainnya melata
di sekujur tanahair luka yang menganga
hanya penguasa dengan dasi berwarna-warni
menjulang tinggi di atas sana

sambil menyembunyikan air mata
akupun belajar berpuasa dari erang luka
negeriku. Biarlah kucoba melukis matahari putih
yang berpendar pada putih reranting pohonan
maka hatiku yang putih memanen kembali
butir-butir cinta dari tubuhmu

puisi lainnya yang sejenis yaitu Lagu Musim Panas

Di sunyi nasib
dekapan musim panasmu cuma
yang bisa menyuburkan kembali
kerontang padang, gersang kata-kata
yang menggantung di udara
bagai kabut gelap
yang menyergap penyair tua
dari sebuah negeri
yang nyaris terlelap
dalam derita dan lupa

Ada 42 puisi dalam buku ini, yang selain berkisah tentang kopi, cinta dan kretek juga berkisah tentang tempat-tempat yang tampaknya pernah dikunjungi penulis, misalnya ada puisi tentang pulau Komodo, Kelimutu, Hanoi, Kedah, Berlin, Koln, dan beberapa kota lain di Eropa. Namun dari puisi-puisi tersebut, terasa betapa di mana pun ia berada, penulis tidak pernah lupa memikirkan kondisi negerinya.

Puisi-puisi Sarjono sederhana dan mudah dimengerti, menunjukkan kecintaan penulisnya pada tanah air, kopi, kretek, dan cinta itu sendiri.

Agus R. Sarjono adalah pemred Jurnal Kritik dan pemimpin umum Jurnal Sajak serta pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) serta redaktur majalah Horison (1997-2013), selain itu pernah mendapat Hadiah Sastera Mastera dari Malaysia (2012) dan Sunthom Phu Award untuk lifetime achievement dalam sastra dari Thailand (2013).