Friday, October 02, 2009

SOCIETY WITHOUT GOD



Judul : Society Without God – What The Least Religious Nations Can Say About Contentment
Pengarang: Phil Zuckerman
Penerbit: NYU Press
Tahun : 2008
Tebal : 227 hal

Banyak yang berpendapat bahwa tanpa landasan agama, suatu masyarakat akan menjadi tidak bermoral, bahkan negara akan mengalami kemerosotan, sehingga hal ini sering menjadi alasan favorit bagi banyak pihak untuk memaksakan penerapan agama yang lebih keras. Benarkah demikian?

Buku ini mencoba untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar. Berdasarkan data-data statistik dan penelitian dengan metode in-depth interview terhadap sekitar 150 responden dari dua negara Skandinavia yaitu Denmark dan Swedia yang dilaksanakan penulis selama 14 bulan menetap di Denmark, sosiolog Zuckerman memperoleh kesimpulan bahwa negara-negara dengan tingkat kesejahteraan dan keamanan terbaik di dunia adalah negara-negara yang kadar keagamaan masyarakatnya paling rendah. Sebaliknya, dari data statistik tampak bahwa negara-negara yang paling religius adalah negara-negara yang paling tidak sejahtera dan tidak aman.

Membandingkan Swedia dan Denmark yang relatif kecil dengan negara besar seperti Amerika Serikat atau Indonesia mungkin kurang sesuai, namun Zuckerman juga memberikan data bahwa negara berpenduduk besar yang kurang religius seperti Jepang Korea atau Inggris juga relatif lebih baik kondisinya.

Tampaknya, hal yang mendorong penulis melakukan penelitiannya adalah keprihatinannya terhadap kondisi negerinya yaitu Amerika Serikat, yang masyarakatnya semakin religius hingga sering menjadi irasional. Dari sisi ini, maka keprihatinan Zuckerman relevan dengan kondisi yang terjadi di banyak negara, yang cenderung semakin religius, misalnya Indonesia. Namun, AS adalah satu-satunya negara maju demokratis yang religius.

Mencoba menemukan penyebab yang menjadikan AS berbeda dengan negara-negara Eropa, penulis mengemukakan bahwa faktor kurangnya keamanan karena tidak terjaminnya ketersediaan pekerjaan dan perumahan, pelayanan kesehatan yang terjangkau, pendidikan, dan lebarnya perbedaan antara kaum kaya dan miskin serta adanya berbagai jenis etnis dan agama dalam satu masyarakat membuat agama menjadi tempat berpaling untuk menghadapi ketiadaan kemananan tersebut dan “pemasaran” yang agresif dari masing-masing agama untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya. Selain itu, ada kemungkinan bahwa rakyat Skandinavia tidak pernah sungguh-sungguh religius, karena sejarah agama Kristen disana berasal dari tekanan raja kepada rakyatnya, namun hal ini tidak dapat diketahui dengan pasti karena tidak ada data.

Zuckerman membandingkan hal ini dengan dua negara Skandinavia yang ditelitinya, dimana negara kesejahteraan (welfare state) telah terwujud sehingga rakyat merasa aman karena kesejahteraannya terjamin, baik pekerjaan, perumahan maupun kesehatan, pendidikan rata-rata warganya cukup tinggi, suku bangsa sama, dan agama yang homogen, yaitu Kristen serta disubsidi oleh negara dengan pajak dari rakyat sehingga gereja tidak perlu melakukan berbagai “strategi pemasaran” untuk menarik pengikut guna memperoleh dana operasional. Sebagai akibatnya, rakyat kehilangan minat tidak saja terhadap gereja bahkan terhadap agama dan Tuhan itu sendiri. Namun sebagian besar warga Denmark dan Swedia menganggap diri mereka Kristen, meskipun mereka tidak percaya lagi akan adanya Tuhan, Yesus sang penyelamat maupun surga dan neraka. Bagi mereka, agama Kristen adalah suatu tradisi yang harus dipelihara, untuk acara pernikahan, pembaptisan bayi, pemakaman, serta nilai-nilai seperti menghargai orang lain dan perbuatan baik lainnya. Namun mereka tidak mempercayai sama sekali keajaiban-keajaiban yang terdapat dalam Injil. Mereka telah sangat rasional dan lebih mempercayai sains. Penyakit, kematian, kemalangan dianggap sesuatu yang alami, yang dapat dialami setiap makhluk hidup dan karenanya perlu dihadapi dengan baik tanpa perlu meminta pertolongan kepada atau menyalahkan Tuhan. Ketidak religiusan bangsa Skandinavia demikian ekstrim, hingga seseorang yang mengaku sebagai penganut Kristen dan percaya kepada keberadaan Tuhan, Yesus, surga dan neraka akan dianggap menyedihkan dan patut dikasihani. Seperti seseorang yang mengaku ateis di AS atau Indonesia.

Penulis juga mencatat keberatan bahwa rakyat di negara sekuler cenderung lebih kesepian dan mudah bunuh diri, namun ia menemukan bahwa di negara yang ditelitinya tingkat kejadiannya tidak melebihi kejadian di negara-negara yang lebih religius.

Penelitian Zuckerman sungguh menarik, karena membuktikan bahwa ada masyarakat yang tidak terobsesi oleh agama bahkan tidak pernah memikirkan/ tidak mengenal agama atau Tuhan dan dapat berfungsi lebih baik dari masyarakat yang religius.
Jadi, benarkah teori bahwa agama diperlukan oleh masyarakat yang berada di lingkungan yang tidak aman atau karena rasa takut dan khawatir serta kurang ilmu pengetahuan?

Bila kesimpulan Zuckerman benar, maka sulit mengharapkan negara-negara lain dapat berkurang religiusitasnya, karena tidak mudah mewujudkan negara sejatera yang masyarakatnya sadar sains dan mencegah “pemasaran” agresif kaum religius garis keras yang justru mendapatkan kesempatan besar di negara demokrasi, kecuali ada kemauan politik dari pemerintah negara tersebut.



GOD AGAINST THE GODS



Judul : God Against the Gods - The History of the War between Monotheism and Polytheism
Pengarang : Jonathan Kirschtof
Penerbit : Viking Compass
Tahun : 2004
Tebal : 336 hal

Darimanakah asalnya intoleransi dan perang agama? Monoteisme.
Melalui penelitian terhadap sejarah Mesir, penulis mengemukakan bahwa monoteisme bukanlah dimulai dari munculnya agama yahudi-kristen-islam. Firaun Anekhaton adalah orang pertama yang menganut monoteis, dengan menyingkirkan dewa-dewa lain dan hanya menyembah satu dewa yaitu Aton, dewa matahari. Bahkan ia memindahkan istananya ke tempat baru dan mengajak rakyatnya menyembah satu dewa saja. Namun Anekhaton tidak berhasil. Setelah kematiannya, istananya ditinggalkan dan rakyatnya kembali menyembah banyak dewa.


Hal yang menarik, meskipun polytheisme selalu diasosiasikan dengan kekejaman, pengurbanan manusia, dan kurangnya moralitas, namun prinsip dasarnya adalah toleransi. Merujuk pada kekaisaran Romawi sebelum berkuasanya Constantine, penulis menunjukkan, prinsip dasar dari kekaisaran tersebut adalah setiap orang bebas untuk menjadi pemuja dewa manapun atau tidak sama sekali. Semua kepercayaan dianggap benar, oleh karena itu semua dewa dihargai dan dipuja – dibuatkan patungnya dan diberi persembahan. Menghormati dewa-dewa juga dianggap merupakan kewajiban sosial sebagai warga negara. Masyarakat Romawi juga memiliki standar moral tertentu yang tidak jauh berbeda dengan moralitas yang kita anggap wajar, dan ritual yang berlebihan dan bersifat menyimpang juga dikendalikan pelaksanaannya oleh kaisar.

Keadaan di atas berubah setelah muncul agama Kristen yang bersifat monoteis. Penganut Kristen yang pertama menganggap politeisme salah dan sama sekali tidak menghormati kepercayaan tersebut, sehingga bagi Romawi mereka dianggap tidak memiliki kepatutan sebagai warga negara yang baik dan karenanya merupakan ancaman bagi negara.

Sifat monoteis yang merasa paling benar dan menganggap lainnya salah berkaitan dengan sifat totaliarisme, yang hanya mengakui satu Tuhan, satu raja, disertai dengan kehendak untuk memaksakan keyakinan kepada orang lain, jika perlu dengan menunjukkan diri sebagai martir, dan selanjutnya dengan kekerasan. Semua ini sesuatu yang baru dan asing bagi politeis dan masyarakat Romawi.
Keadaan di atas semakin memburuk ketika Constantine dan keturunannya menjadikan Kristen sebagai agama negara dan berusaha melenyapkan politeisme dengan menutup dan menghancurkan patung dan kuil-kuil serta melarang pengajaran sastra Yunani seperti karya-karya Homer yang menurut mereka bersifat politeis.

Mengenal sastra Yunani bagi masyarakat Romawi merupakan ukuran keberadaban seseorang dan salah satu sumber pelajaran untuk pembentukan karakter. Bagaimana mungkin penguasa Kristen melarang peradaban tinggi mereka sendiri? Masyarakat Romawi tidak percaya kitab suci saja dapat menghasilkan masyarakat yang baik sebagaimana telah berhasil dilakukan karya sastra dan filsafat mereka.
Konflik antara kedua hal di atas mencapai puncaknya dengan pembunuhan terhadap Hypathia – filsuf pagan terakhir – dan pembakaran perpustakaan Alexandria. Setelah itu mulailah pemaksaan dengan kekerasan untuk menganut satu agama tertentu dan lenyapnya pemikiran Yunani serta toleransi yang menjadi dasar budaya Romawi, yang kemudian dikenal dengan abad kegelapan.
Barat baru kembali bangkit setelah mempelajari kembali pemikiran Yunani dari buku-buku yang dipelihara oleh peradaban Islam setelah perang salib.

Membaca sejarah ini mengingatkan saya pada keadaan di Jawa. Mengapa Islam di Indonesia, khususnya Jawa, sangat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, yaitu sangat toleran? Mungkin karena ia tidak disebarkan hanya dengan kekerasan. Sebelum Islam masuk, masyarakat yang beragama Hindu – seperti halnya masyarakat Romawi dengan mitologinya – telah memiliki mitologi sendiri (yang tercermin dalam budaya wayang) yang berfungsi sebagai pembentuk karakter dan moralitas, dan tidak seperti di Romawi, mitologi ini tidak dilarang atau dilenyapkan ketika muncul agama baru. Dengan demikian sifat monoteis yang keras dan tanpa kompromi masih didampingi oleh budaya lama, dalam hal ini sastra dan filsafat yang bersifat politeis, sehingga yang muncul adalah penganut agama yang toleran dan berbudaya.
Bandingkanlah hal ini dengan daerah lain di Indonesia yang tidak memiliki dasar budaya ini, tampak bahwa sifat beragamanya cenderung lebih keras atau fanatik.

Mungkinkah ini dapat menjelaskan mengapa kini fanatisme tampak lebih mudah bangkit? Apakah semakin jauhnya generasi masa kini dari budaya Jawa yang dididik dengan kearifan dari mitologi lama (misalnya wayang) tanpa ada pengganti – misalnya sastra Yunani – membuat mereka kehilangan kearifan, kebijaksanaan dan toleransi sehingga mudah menjadi fanatik?




Saturday, May 09, 2009

POSREALITAS



Judul : Posrealitas – Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika
Pengarang : Yasraf Amir Piliang
Penerbit : Jalasutra
Tahun : 2009, Maret, cet. kedua
Tebal : 483 hal

Buku ini terdiri dari 17 bab yang dibagi dalam 4 bagian:
1. Pososial, terdiri dari :
- Pososial: Menuju Kematian Sosial,
- Posekonomi:Berpacu dalam Konsumerisme
- Posmedia: Simbiosis Realitas dan Fantasi,-
- Posestetik: Antara Realitas dan Seni.

2. Poshorosisme - Poskriminalitas: Ketika Kejahatan Begitu Sempurna,
- Posrealitas Perang: Simbiosis Realitas dan Fantasi Perang
- Posteror: Theatrum Simulacrum-
- Poshororisme: Ketika Horor Menjadi Hiburan.

3. Posdemokrasi
- Posdemokrasi:Bersatunya Demokrasi dan Anarki
- Posotonomi: Egopolitik dan Mikrofasisme
- Posrealitas Hukum: Fatamorgana Hukum dan Ilusi Kebenaran

4. Posmoralitas.
- Pospiritualitas: Simbiosis Hasrat dan Kesucian
- Posmoralitas: Simbiosis Kebenaran dan Kepalsuan
- Poseksualitas
- Pospornografi: Melampaui Batas-batas Hasrat
- Poshumanitas: Homo Sapiens Electronicus
- Posfeminitas: Teknopolitik dan Masa Depan Relasi.

Sebagai kajian kebudayaan, penulis berusaha melakukan tinjauan kritis terhadap berbagai aspek budaya kini, terutama berdasarkan filsafat posmodern, sehingga banyak mengutip Jean Baudriliard, Michel Foucault, J. Lacan, P. Virilio dan lainnya.
Pembahasan pada bagian pertama, yaitu pososial cukup menarik, dimana penulis melakukan analisa terhadap beralihnya ruang sosial dari ruang fisik ke ruang maya, yang mengakibatkan keterbukaan dan kebebasan namun menurunkan kontrol, sehingga dapat mengarah pada anarki; konsumerisme dan kapitalisme yang menimbulkan halusinasi ruang, yaitu tercabutnya kebudayaan dari ruangnya; terlalu banyaknya informasi sampah, sementara masyarakat tidak memiliki daya kritis, sehingga menjadi massa yang diam; dan meluasnya ekspresi seni dalam cyberspace.
Bagian kedua membahas bagaimana kejahatan menjadi sempurna jika dilakukan oleh negara, dan realitas dibentuk oleh simulasi yang dibuat oleh pemerintah/negara tertenu beserta media yang dikuasai, untuk membentuk opini publik sesuai yang dikehendaki penguasa, melalui simulasi, sehingga kejahatan tersebut tersembunyi dari masyarakat, apalagi jika masyarakatnya kurang kritis.
Bagian ketiga menganalisa bagaimana demokrasi dan otonomi menimbulkan anarki dan fasisme di daerah-daerah, sehingga bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Posrealitas cukup menarik untuk dibaca pada awalnya, karena dapat membuat pembaca lebih menyadari dan memahami fenomena budaya yang ada di sekitarnya dengan lebih kritis. Namun struktur buku ini yang membahas setiap topik dengan cara yang sama sebanyak 17 bab, membuat pembaca seperti mengulang hal-hal yang mirip sepanjang sekitar 400 halaman, apalagi hampir pada setiap bab terdapat kutipan dari Baudriliard.
Selain itu meskipun di setiap akhir bab penulis menguraikan sedikit saran mengenai cara mengatasi permasalahan yang diungkapkan di depan, namun tidak mendalam, mungkin karena tekanannya adalah pada kritik atau analisis budayanya. Disamping itu, sudut pandang yang hanya berdasarkan pemikiran postmodern, kurang memberikan tempat untuk sudut pandang lainnya, seperti rasionalisme atau humanisme.
Setelah menguraikan panjang lebar tentang berbagai hal, bagaimanakah kesimpulan dan saran penulis? Tanpa analisis mendalam, penulis hanya menyarankan untuk kembali kepada nilai-nilai ketuhanan atau agama, tanpa uraian mengapa dan bagaimana caranya.
Suatu kesimpulan dan saran yang terasa klise dan cukup mengecewakan setelah membaca analisis dan tinjauan penulis sepanjang lebih dari 400 halaman.

Wednesday, April 08, 2009

Books and Me

I always love books since I was very young. When I was nine, we lived in a small town in Kalimantan close to the beach. It was a great time. The world was not as busy as now. After school, I spent my time looking for small fish and shell, trying the the fisherman’s boat, and enjoying the beach view from the bedroom window in the evening. In the small road beside the house, Dayak’s women with long big earrings and traditional hats used to walk to the market... There was only one channel tv in the night, but we found life was wonderful around the beach, wide grass yard, pinus trees, and in the way to the market were oil pipes, tanker ships, beautiful houses and trees in the hill … The town was quiet, only be broken by some cars or children carnavals in the main street several times a year.


There are many questions I always ask to myself. What is the meaning of this life ? School never gives me the answer. I turn to books.

When I was a child, I used to see butterflies, grasshoppers around the house and caught them to see their response. I made them a house from pieces of small branches, put them in the water, and released them, wondering .. would they tell their friends about the experience ? How did they feel about it ?

Then, in the quietness of nature, the endless life cycle, I found emptiness. What is life; is that only to repeat life endlessly, without clear purpose ? Why is everybody happy and never ask this question ?

Some people said that 90% of our life are boring things. We do almost the same things every day; working in the same building, passing the same street, seeing the same person, even in the week end shopping only in certain plaza or shopping center. Let’s count how many times in a month we spend time in new places that we never visit before, and what a really new experience we have. Our life is full of routine and routine. That’s why we often shocked to realize that one more year has passed, ‘though it seems yesterday that we celebrate a new year..

Book is the only escape from routinity. We get new experience and new thought from good book. It renews our life. Because reading is like having a journey. It opens your mind, your places, your time, without leaving your home.

Several years ago, I had a good friend. He was so friendly and helpful. He asked me, ”how many friends do you have ?” I count my friends, but he said, ”I don’t have friends. I don’t trust other person,” then he told his experience of having been betrayed by many whom he thought was his friends. I didn’t believe that would happen to everyone. My friends are different, they can be trusted.

Two years ago, I found that he was right. Of course, I do not lose all my close friends, but I really could not predict whom I would lose. My closest friend. And I never really know what made her went away.. Was it jealousy ? Am I so lucky that could make my best friend so jealous ? Because we are almost the same, I think.
It is not easy to find the right friends. Friends who really understand you, person you could spend time for hours even with no news or topic to talk about.. But I have lost one. That reminds me to my other friend. He is right. We will never know what other person’s heart, how close our relationship is. And other person could hurt us so deeply.

Books always make me happy. When I remember my life, much of its time was cheered up by books. I always turn to books when I was in sadness or depression. It seems like having many wise friends, but they will not hurt you or leave you in sadness. You can always reach them every time you need …

Monday, January 26, 2009

PARALLEL WORLDS



Judul : Parallel Worlds - A Journey Through Creation, Higher Dimensions, and the Future of the Cosmos
Pengarang : Michio Kaku
Penerbit : Anchor Books
Tahun : 2006, Agustus
Tebal : 401 hal.

Kisah mengenai asal mula alam semesta atau penciptaan merupakan pertanyaan dasar manusia sejak ribuan tahun yang lalu, dan menjadi tema sentral ribuan mitologi dan agama.

Kosmologi (dan fisika) menjadi menarik, karena berusaha menjawab pertanyaan mendasar tersebut. Jawaban pertanyaan tersebut bagi banyak orang juga dianggap dapat menentukan arti hidup ini.

Menurut penulis, adanya satelit baru yaitu WAMP (Wilkinson microwave anisotropy probe) dan peralatan ilmiah lainnya semakin meyakinkan para ilmuwan akan adanya dunia paralel (parallel universe). WAMP berhasil merekam kondisi alam semesta pada waktu berumur 380 ribu tahun (usia alam semesta kini 13,7 miliar tahun) setelah ledakan besar (big bang) atau penciptaan. Gambar yang dihasilkan WAMP sesuai dengan teori selama ini karena menampilkan fluktuasi kuantum atau irregularity yang muncul tidak lama setelah big bang yang tampak berupa titik-titik yang menyebar. Titik-titik ini merupakan asal mula dari galaksi dan kluster galaktika yang ada saat ini.
Satelit WAMP juga mengungkapkan bahwa material yang tampak hanya menyusun 4% dari alam semesta (sebagian besar berupa hidrogen dan helium), sisanya terdiri dari material yang tidak tampak dan tidak kita ketahui, namun 73% berupa dark matter.
Selain itu, WAMP juga mengkonfirmasi teori inflationary, yaitu bahwa alam semesta terus menerus melahirkan alam semesta baru. Ada banyak big bang yang lahir dari alam semesta yang abadi, sehingga ada banyak dunia parallel (multiverse), yang terpisah dan tidak dapat bertemu. Dengan demikian, alam semesta kita mungkin lahir dari alam semesta lain yang lebih lama atau bahkan abadi.
Hal di atas kemudian membuat para fisikawan semakin menekuni teori string dan teori M, yang diharapkan dapat mengungkap sifat/nature multiverse.
Temuan penting lain dari WAMP adalah bahwa dark matter mendorong percepatan mengembangnya alam semesta, sehingga diperkirakan dalam 150 miliar tahun yad, dari sekitar 100 miliar galaksi hanya beberapa yang dapat terlihat, dan jika ini terus berlanjut alam semesta akan mati dalam kebekuan besar. Jika manusia masih eksis dan ingin tetap mempertahankan keberadaannya, maka jalan satu-satunya adalah pindah ke alam semesta lain, yaitu melalui wormhole.

Buku ini dibagi dalam tiga bagian besar: The Universe, The Multiverse, dan Escape into Hyperspace, yang menjelaskan rincian hal-hal di atas. Agar lebih jelas, penulis juga menguraikan sedikit mengenai sejarah kosmologi.

Bagi pembaca awam, uraian Michio Kaku relatif lebih mudah diikuti daripada buku sejenis lainnya (misalnya buku Brian Greene yang uraiannya lumayan rinci), namun dapat memberikan gambaran yang lebih luas.

Di akhir buku dibahas, apa yang dapat diberikan pengetahuan kosmologi yang kita miliki saat ini mengenai arti hidup ini? Hal ini dijelaskan dalam uraian tentang anthropic principle dan Copernican principle, dikaitkan dengan kuantum dan multiverse. Menurut penulis, masing-masing memiliki kebenaran, dan kita belum tahu persis hal yang sebenarnya. Kosmologi atau fisika tak dapat memberi petunjuk. Maka manusia harus memberi arti sendiri bagi hidupnya, yaitu dengan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, dengan memberi manfaat bagi orang lain atau masyarakat.