Monday, November 20, 2017

Sang Muslim Ateis



Judul                 :   Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi
Pengarang         :   Ali A. Rizvi
Penerjemah       :   Nanang Sukandar, Sukron Hadi
Penerbit             :   LSM Indeks
Tahun                :   2017
Tebal                 :   302 halaman


Penyerangan terhadap kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan dipersulitnya pembangunan tempat ibadah penganut agama Kristen di berbagai daerah serta keberhasilan penggunaan isu agama untuk memenangkan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta baru-baru ini menunjukkan, bahwa kebebasan beragama baru menjadi milik mayoritas. Apabila kaum yang beragama minoritas saja belum mendapatkan kebebasan yang setara, bagaimana dengan mereka yang tidak beragama atau ateis?

Menurut Nanang Sukandar, Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) yang menulis pengantar buku ini, sekitar 1,5% penduduk Indonesia adalah ateis. Namun tentu saja mereka tidak bisa mengekspresikan diri mereka secara terbuka, karena adanya diskriminasi bahkan persekusi dari masyarakat.  Indeks kebebasan di Indonesia juga terus merosot, dari status negara “bebas” pada tahun 2013 menjadi “setengah bebas” pada 2014. Oleh karena itu sebagai upaya advokasi kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk tidak beragama, maka dilakukan penerjemahan buku dari penulis ateis eks muslim ini.
Suatu upaya yang patut dihargai, meskipun sayangnya buku ini diterbitkan sangat terbatas dan tidak tersedia di toko-toko buku. Tentu ini karena tidak adanya kebebasan beragama (dan tidak beragama) tadi, sehingga tidak ada toko buku yang berani menjual buku tentang pandangan ateisme atau bahkan sekedar kritik terhadap agama, sama dengan  terjemahan The God Delusion yang hanya dijual secara online  oleh penjual perorangan. Sayang sekali bahwa demokrasi kita hanya membawa kebebasan bagi kaum radikalis, sehingga buku mereka banyak  dijual di toko-toko buku besar, betapapun absurdnya, sementara buku-buku yang membawa pencerahan seperti ini tidak dapat diakses masyarakat luas.

Tulisan Ali A. Rizvi dianggap relevan untuk Indonesia, karena penulis adalah eks muslim. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat perlu mengetahui fenomena ateisme di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, serta hal-hal yang menyebabkan seorang muslim menjadi tidak percaya, dengan harapan muncul sifat lebih terbuka terhadap ateis eks muslim.  Hal ini menjadi penting karena sekarang masyarakat Indonesia telah menjadi sangat konservatif dalam beragama, berbeda dengan empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu dimana dimana masyarakat masih sangat moderat bahkan liberal.

Sang Muslim Ateis mengisahkan kehidupan Ali A. Rizvi sebagai seorang dokter dari Pakistan yang pernah dibesarkan di Libya dan Arab Saudi.  Sebagaimana kaum muslim di seluruh dunia, ketika kecil ia belajar membaca dan menghafal Al Quran meskipun tidak bisa berbahasa Arab, dan dibesarkan dengan nilai-nilai Islami, juga pendapat bahwa terorisme bukanlah disebabkan agama, namun disebabkan masalah ekonomi, politik dan lainnya. Ia mempercayai semua itu, hingga – seperti halnya Ayaan Hirsi Ali – terjadi peristiwa September 1999. Peristiwa tersebut membuatnya meneliti kembali agama yang dianutnya selama ini, termasuk mengingat masa kecilnya di Saudi. 
Disana sering terjadi hukuman pancung di alun-alun yang ditonton orang banyak dalam hysteria, terutama jika korbannya berlainan agama, selain hukuman potong lengan bagi pencuri, hukum cambuk bagi korban perkosaan, larangan menjalankan agama bagi kaum minoritas, dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan.  Ia merasa bahwa ada yang salah dengan lingkungan tersebut, namun keluarganya selalu mengatakan bahwa budaya Arab Saudi – tempat asal mula agamanya -  tidak ada sangkut pautnya dengan Islam yang sejati, negara tersebut memiliki Islam yang semuanya salah.
Peristiwa lain yang membuatnya meneliti keyakinannya adalah penikaman seorang tentara Inggris  pada 2013. Pelakunya menyebut bahwa tindakannya “terinspirasi oleh Al Quran..surat At Tawbah dan banyak ayat lain, yang memerintah kami memerangi mereka seperti mereka memerangi kami.” Dalam surat tersebut ayat 29,30, Rizvi menemukan perintah untuk memerangi umat Kristiani dan Yahudi sampai mereka masuk Islam dan membayar pajak jizyah – sebagaimana ISIS melakukannya di kota-kota seperti Mosul. Rizvi juga menemukan bahwa hukuman penyaliban bagi para penentang sebagaimana diklaim ISIS dapat ditemukan dalam surat Al Maaidah ayat 33 atau ayat 4 surat Muhammad untuk pemenggalan musuh. 

Rizvi mempelajari terjemahan Al Quran dan menemukan bahwa semua tindakan bangsa Saudi memiliki dasar di Quran: pemancungan terhadap disbelievers/ kafir (surat 8:12-13), pemotongan tangan bagi pencuri (surat 5:38), kekerasan dalam rumah tangga (surat 4:34), pembunuhan terhadap politeis (surat 9:5).  Hal tersebut cukup mengejutkan baginya; mengapa selama ini keluarganya tidak pernah menyebutkan bahwa hal-hal ini terdapat di Quran? Namun ketika ia bertanya kepada para ahli, mereka semua memberikan apologi, yaitu bahwa:
-     Ayat itu ditafsirkan dengan salah
-    Jika penafsiran benar, ayat itu berada dalam konteks yang spesifik pada saat itu, atau keluar dari          konteks
-  Jika kandungan ayat itu keliru, maka itu karena metafor, dan ia memaknainya terlalu literal
-  Jika banyak orang Saudi dan bangsa Arab lainnya menjelaskan dengan cara seperti Rizvi, maka ia diingatkan bahwa orang Saudi telah disuap Amerika sejak dulu dan orang Mesir membuat perjanjian  perjanjian  dengan Yahudi.
Apabila semua pembelaan di atas gagal, maka mereka akan mengatakan bahwa itu semua cuma kata-kata kecuali ditafsirkan dengan benar. Sama dengan pendapat para ustad atau ahli agama Indonesia bukan? Rizvi menyadari bahwa semua hal akan dilakukan untuk menyelamatkan Quran dari kritik, namun ia  terus meneliti untuk mendapatkan pembacaan yang obyektif. Baginya agak aneh bahwa pemeluk Islam yang moderat seperti keluarganya tidak bersedia mengikuti perintah Quran secara literal seperti Arab Saudi mengikutinya, namun hanya mengambil surat-surat yang sesuai dengan ukuran moralitas mereka sendiri. Jika demikian, bukankan hal itu berarti mereka telah memiliki ukuran moralitas sendiri, yang lebih baik dari Quran, namun mengapa mereka masih mempertahankan dan membela buku yang penuh kekejaman tersebut?

Hal lain yang disorot Rizvi adalah klaim Islam sebagai agama damai. Tidak mudah menjelaskan hal ini karena Quran penuh dengan kontradiksi. Selain surat-surat yang berisi kekerasan, terdapat pula yang menyerukan kebaikan seperti memberi sedekah, tidak mencuri. Namun sebenarnya anjuran berbuat baik ini biasa saja, karena telah ada sebelum Islam muncul, antara lain pada bangsa Yunani maupun ajaran Konfusius. Bagaimana menafsirkan kontradiksi ini? Menurut Rizvi, kontradiksi itu dapat dimengerti jika kita memahami bahwa ayat-ayat yang bersifat kebaikan – seperti memberi makan anak yatim – adalah untuk kaum muslim sendiri, sedangkan ayat yang bersifat kekerasan adalah untuk kaum di luar Islam.  

Selanjutnya, Rizvi menunjukkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari politik, itu sebabnya Palestina mendapat dukungan kaum muslim dan para jihadis selalu meneriakkan Allahu Akbar dan ISIS memperbudak gadis-gadis Yahudi. Agama juga bukan budaya, meskipun kaum Islam moderat mengatakan demikian. Sebagai contoh, Rizvi menunjuk banyaknya hadis yang menyebutkan bahwa Nabi menikahi Aisyah pada umur 6 tahun dan menggaulinya pada umur 9 tahun, sesuatu yang mengerikan bagi muslim liberal namun di Saudi hal tersebut masih dilakukan dan mendapat dukungan dari otoritas. Hal ini didukung oleh Quran surat 65:4 mengenai petunjuk menceraikan perempuan-perempuan tertentu, termasuk “mereka yang belum menstruasi”, sehingga ditafsirkan menikahi perempuan di bawah umur diperbolehkan. Oleh karena itu Khomeini menurunkan batas minimum perkawinan menjadi 9 tahun bagi perempuan, sementara Saudi tidak memiliki batas minimum.
Rizvi juga mengkritik kaum muslim moderal atau liberal yang selalu menyangkal adanya kaitan antara agama dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh teroris, dengan mengatakan bahwa tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan Islam, atau bahwa Islam yang sebenarnya tidak seperti itu. Hal itu tidak benar, karena para teroris atau jihadis tersebut jelas-jelas mengutip ayat-ayat Quran sebagai hal yang memotivasi mereka melakukan tindakan tersebut. Masalah yang dihadapi kaum muslim adalah bahwa “keyakinan agama begitu mendarah daging dalam identitas personal, social, dan kultural dari berbagai mmasyarakat di dunia muslim, sehingga kritik apapun terhadap agama langsung dianggap sebagai serangan personal.”

Selain hal di atas, Risvi mengungkapkan hal-hal yang membuatnya meninggalkan Islam. Mungkin banyak orang lain mengalaminya juga, namun karena ajaran agama dari kecil yang begitu kuat, tidak berani mempertanyakannya. Hal-hal tersebut yaitu:
a.    The problem of evil: jika Tuhan maha penyayang, mengapa ia memberi penyakit kanker pada orang-orang baik? Mengapa doa meminta kesembuhan tidak ada gunanya, namun pengobatan – yang berasal dari sains – dapat menyembuhkan secara efektif? Mengapa keharusan mencintai Tuhan disertai dengan ancaman neraka?  
b.   Sains: pemahaman akan luasnya alam semesta yang didapat antara lain dari Carl Sagan, membuat ayat-ayat yang menjelaskan tentang penciptaan alam terasa tidak berarti, karena banyak hal tidak dijelaskan disana yang kini dapat kita ketahui dari sains.
c. Moralitas: kisah Nabi Ibrahim yang bersedia membunuh anaknya demi Tuhan menimbulkan pertanyaan: apakah cinta kepada Tuhan berarti membolehkan apapun, termasuk membunuh anak sendiri?
d. Sebagai seorang dokter, maka Rizvi membandingkan klaim Quran mengenai perkembangan pertumbuhan janin dengan ilmu kedokteran. Diantaranya surat 23:13-14 yang menyebutkan bahwa perkembangan janin dimulai dari telinga, mata, lalu hati. Hal tersebut tidak benar, karena seharusnya dimulai dari jantung, kemudian telinga dan mata bersamaan. Yang paling fatal adalah bahwa Quran tidak pernah menyebutkan ovum atau sel telur - penyumbang lebih dari setengah materi genetik - sebagai sumber embrio. Selain itu masih banyak  kesalahan klaim Quran terkait embriologi yang membuktikan bahwa Quran hanya mengulangi penemuan sebelumnya oleh Hippocrates, Aristoteles, Galen, dan lainnya. Hal ini  menunjukkan bahwa sains dapat lebih diandalkan sementara agama mengaburkan segala sesuatu.

Dalam buku ini penulis juga menceritakan kehidupan kaum muslim di Amerika Utara – tempat ia tinggal – yang relatif liberal dan tidak berbeda jauh dengan penduduk Amerika pada umumnya. Agama lebih merupakan suatu tradisi, namun nilai-nilai yang dianut bersifat liberal. Kaum perempuan juga jarang yang berhijab. Baginya, hal itu lebih baik, karena kaum radikal dan teroris sangat berbahaya; mereka tidak menghargai kehidupan, karena bagi mereka yang berharga hanyalah akhirat. Dasar yang mereka ajukan adalah ayat-ayat Quran, antara lain surat 3:169-170, 2:154.  Rizvi bertanya, bagaimana ia melawan pendapat mereka tanpa menentang Quran?

Banyak lagi hal lain yang disampaikan Rizvi yang menurut saya perlu dibaca oleh kaum muslim Indonesia yang semakin lama semakin fanatik pandangan agamanya, agar pikiran mereka sedikit terbuka. Rizvi menulis dengan baik dan sopan, tidak seperti para penulis hard atheist, sehingga tidak akan menimbulkan kemarahan kaum muslim. Terbukti bahwa ia tidak dikejar-kejar para Islamis.

Buku ini menjadi harapan saya karena saat ini saya sudah semakin lelah menghadapi teman-teman yang demikian relijius hingga taraf absurd. Grup media sosial setiap saat ditaburi dakwah atau ayat-ayat Quran, seolah-olah tidak ada teman yang beragama Kristen atau yang tidak percaya, seolah-olah mereka berbuat baik dengan berdakwah tiap hari. Selama ini tulisan-tulisan itu saya hapus begitu saja tanpa kritik atau balasan berupa tulisan yang “mencerahkan”. Di kantor, semua rajin sembahyang lima waktu dan 90% telah berhijab, satu demi satu teman-teman dan pegawai baru mengenakannya, seolah takut berbeda, dan setiap kali ada yang “berhijrah”, sambutannya demikian hangat: “selamat”, “semakin cantik,” dan yang baru mengenakan menjawab dengan malu-malu, “ah, baru belajar, masih berantakan…”. Sementara saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena agama adalah urusan pribadi.  Sudah untung di kantor tidak ada yang berani menyuruh saya sembahyang, berhijab atau belajar membaca Quran huruf Arab. Di lingkungan rumah, ibu saya sering disindir untuk mengenakan hijab dan mengikuti pengajian. Dengan tekanan sosial seperti ini, hanya segelintir perempuan yang sanggup bersikap liberal, dan tidak seorang pun berani meninggalkan agamanya. Teman saya yang paling liberal pun  melakukan ibadah haji. Ya, masyarakat Indonesia telah berubah, begitu mudahnya menjadi konservatif. Mengapa? Sebagaimana ditulis juga dalam buku ini, meninggalkan agama yang memberi makna, perlindungan dan lingkungan tidaklah mudah. Sebelum itu, seseorang harus memiliki pikiran kritis dan curiousity atau rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran berbeda, dengan membandingkan ajaran agamanya dengan penemuan dari ilmu pengetahuan, sejarah, dan mungkin sedikit filsafat…dengan sifat orang Indonesia yang malas membaca buku dan bersifat komunal, siapa yang mau peduli melakukan semua itu?  Sementara setiap saat khotbah-khotbah di masjid dan televise terus memborbardir setiap orang dengan ancaman neraka apabila tidak percaya  dan mengikuti ajaran mereka. Berapa orang yang masih mau meluangkan waktu untuk berpikir dan membaca buku?

Mudah-mudahan buku ini dicetak kembali kelak, agar dapat memberi dampak lebih besar bagi sikap beragama yang lebih liberal dan toleran di Indonesia. Golongan ateis dan agnostik Indonesia tetap tidak akan dapat bersikap terbuka di masyarakat, namun paling tidak mereka dapat menyebarkan buku ini kepada sekelilingnya agar tidak terlalu fanatik.