Showing posts with label 1001 books.... Show all posts
Showing posts with label 1001 books.... Show all posts

Tuesday, November 05, 2013

The Bridge on the Drina




Judul : The Bridge on the Drina
Pengarang: Ivo Andric
Penerbit: The University of Chicago Press
Tahun : 1977
Tebal : 314 hal

Wilayah Balkan, yang terdiri dari Bosnia Herzegovina, Kroasia, Serbia, Macedonia, Montenegro, Albania, Hungaria dan Bulgaria terkenal sebagai wilayah yang penuh kekerasan: perang Bosnia baru terjadi sekitar 20 tahun yang lalu, dan pemicu Perang Dunia I terjadi disini. Menurut W.H. McNeill yang menulis pengantar buku ini, The Bridge on the Drina adalah pengantar terbaik untuk mengenal sejarah Bosnia, lebih daripada yang dapat disampaikan oleh uraian sejarah atau antropologi, karena pengarang dapat menggambarkan karakter, budaya dan perubahan sejarah yang terjadi pada bangsa yang mendiami wilayah tersebut, khususnya yang berada di sekitar jembatan Drina.


Berbeda dengan novel pada umumnya, yang menjadi tokoh utama novel ini sebenarnya adalah jembatan Drina, yang didirikan pada tahun 1516. Jembatan Drina berada di kota Visegrad, yang terletak di perbatasan antara Bosnia dan Serbia, dan menjadi saksi kehidupan masyarakat disana sampai dengan awal Perang Dunia I. Kehidupan penduduk disanalah yang dikisahkan dalam novel ini, sejak jembatan mulai didirikan sampai dengan tibanya Perang Dunia Pertama.

Wilayah Balkan khususnya Bosnia berbeda dengan bagian Eropa lainnya karena berbatasan dengan Asia dan antara tahun 1386-1463 ditaklukkan Turki. Sebelum masa tersebut, Bosnia memisahkan diri dari Kerajaan Serbia pada tahun 960, kemudian pada abad kedua belas menjadi Bogomil, yaitu suatu aliran agama yang terkait dengan Manichaeism, sehingga dianggap heretik di mata negara tetangganya yang menganut Kristen Ortodoks atau Latin. Setelah penaklukan Turki, terjadi konversi agama sehingga sebagian besar penduduk Bosnia menganut Islam. Selanjutnya sejak tahun 1500-an Turki merekrut penduduk Bosnia menjadi tentara untuk menyerang wilayah Kristen di utara dan barat. Selain sebagai Janissary, Turki juga merekrut petani-petani Kristen conscript untuk mengisi pekerjaan di rumah tangga sultan ataru pekerjaan manual lainnya. Rekrutan ini dianggap sebagai budak. Namun demikian beberapa orang dapat meningkatkan diri dan menjadi Grand Vizier, yang turut memerintah kerajaan. Salah satunya adalah Muhammad Sokollu (Sokolovic), dan pembangunan jembatan di atas sungai Drina merupakan satu gagasannya agar dikenang di tempat kelahirannya.
Keadaan di Bosnia menjadi rumit sejak terjadinya penaklukan oleh Turki, karena dalam masyarakat terdapat tiga keyakinan berbeda yaitu Islam, Katolik Roma dan Kristen Ortodoks. Islam dapat mendominasi selama Turki atau kesultanan Ottoman berkuasa, namun apabila Turki lemah, kerajaan-kerajaan Kristen tetangganya mendukung pemberontakan penganut Kristen di Bosnia, yaitu dari Rusia (Ortodoks) dan Austria (Katolik).

Pada awal abad 19, kaum Muslim Bosna melakukan pemberontakan terhadap Konstantinopel untuk membela hak-hak istimewanya. Setelah ditindas oleh tentara Turki pada tahun 1850, giiran petani Kristen yang melakukan pemberontakan, dibantu kekuatan Kristen Eropa, sehingga pada Kongres Berlin tahun 1878 Bosnia dan Herzegovina berada di bawah protektorat Austria, dan pada tahun 1908 Austria resmi menduduki kedua wilayah ini. Hal ini mempercepat krisis diplomatik, yang menjadi bagian pembuka Perang Dunia I, dengan terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand di Serajevo, ibukota Bosnia oleh pejuang Bosnia yang ingin wilayahnya menjadi bagian dari Serbia, Setelah tahun 1918 Bosnia akhirnya menjadi bagian dari kerajaan Slavia yang terdiri dari Serbia, Kroasia dan Slovenia. Selanjutnya setelah Perang Dunia II Bosnia menjadi bagian dari Yugoslavia.

Kelebihan dari novel ini dibandingkan uraian sejarah ialah adanya karakter dan kejadian-kejadian yang mampu menunjukkan konflik, pergeseran maupun perasaan ketiga golongan yang hidup bersama di Bosnia: yaitu kaum Muslim, Kristen Ortodoks dan Katolik, selama perubahan sejarah sejak pendudukan Turki, di bawah protektorat Austria-Hongaria, hingga pendudukan Austria secara resmi.

Jembatan Drina

Bagian pertama menggambarkan kondisi masyarakat Bosnia, khususnya kaum ibu yang merasa sedih setiap kali tentara Turki datang untuk mengambil anak-anak dari orang tua mereka guna dididik menjadi tentara Janissary dan penganut Islam. Kesedihan mereka sedikit berkurang setelah beberapa tahun kemudian anak-anak tersebut muncul kembali sebagai tentara kesultanan Ottoman.

Bagian berikutnya mengisahkan pembangunan jembatan Drina, yang melintasi sungai Drina. Pembangunan tersebut mula-mula tidak berjalan lancar, antara lain karena pimpinan proyek yang dikirim oleh Vizier melakukan korupsi, kemudian terdapat penduduk yang menentang pembangunan jembatan tersebut, sehingga pimpinan proyek diganti dan penentang pembangunan dihukum mati dengan siksaan sebagai contoh bagi penentang selanjutnya. Setelah jembatan berdiri, bangunan tersebut menjadi tempat favorit penduduk untuk bersantai, mengadakan janji pertemuan atau melakukan transaksi. Jembatan menjadi pusat berbagai kegiatan, baik untuk markas tentara di kala perang, tempat berjudi atau persinggahan sebelum acara pernikahan. Berbagai peristiwa yang terjadi pada penduduk kota Visagred yang terkait dengan jembatan tersebut dikisahkan oleh pengarang. Misalnya tentang tentara Austria yang terpedaya oleh seorang gadis pejuang Serbia yang melintasi jembatan, kisah seorang laki-laki yang biasa berjudi disana, dan kisah seorang wanita Yahudi yang mati usahanya setelah Austria membangun rel kereta dan jalan baru sehingga jembatan tersebut tidak lagi menjadi jalan utama dan ditinggalkan.

Sedikit dari tokoh sentral dalam novel ini adalah Hodja, yang mewakili karakter masyarakat Turki yang pasif, religius, fanatik, statis dan santai. Hal ini kontras dengan bangsa Austria yang kemudian menduduki wilayah mereka, yang digambarkan selalu aktif, rajin, dinamis dan tidak terlalu religius.. Mungkin hal paling berhasil yang ditunjukkan oleh novel ini adalah penggambaran karakter bangsa Turki yang dianggap mewakili Timur dengan bangsa Austria sebagai bangsa Barat, yang sangat jauh berbeda. Ketika tentara Austria datang, mereka memperbaiki jembatan, membangun jalan, rel kereta api, gedung-gedung. Sementara itu penduduk bangsa Turki masih tetap bersantai setiap sore memandangi sungai dari atas jembatan, mencari nafkah dengan membuka toko kecil atau bertani, serta beribadah dengan rajin, dan merasa heran dengan keaktifan bangsa Austria. Ketika kesultanan Turki akhirnya benar-benar mundur dari wilayah tersebut, mereka merasa kehilangan,sedih dan ditinggalkan begitu saja. Mereka tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sejak pendudukan Austria, yang mengubah wilayah tersebut menjadi semakin terbuka dan komersial, sampai tiba-tiba menyadari bahwa kehidupan semakin sulit karena biaya hidup semakin tinggi sedangan usaha mereka menjadi kuno dan tidak dapat bersaing. Kemudian datanglah perang dunia pertama.

Tidak mengherankan apabila buku ini berhasil menggambarkan karakter masing-masing bangsa yang berdiam di wilayah jembatan Drina, karena penulisnya dibesarkan disana. Ivo Andric tinggal di kota Visegrad, sebelah timur Bosnia dimana terdapat jembatan Drina. Ia berkebangsaan Kroasia-Bosnia namun semasa kecil biasa bergaul dengan penduduk yang berbeda-beda agama maupun bangsanya disana, sebelum melanjutkan pendidikan tingginya di Austria kemudian menjadi Menteri dan diplomat Yugoslavia, dan akhirnya menulis novel ini, yang membuatnya menjadi pemenang Nobel sastra.

Membaca novel ini membuat saya mempelajari sejarah Balkan yang panjang, rumit dan menyedihkan. Buku terbaik dan terlengkap tentang sejarah Balkan (sampai dengan tahun 1947) adalah The Balkans Since 1453 oleh L.S. Stravianos, yang dapat dilengkapi dengan sejarah Turki The Ottoman Empire oleh Lord Kinross, serta kisah perjalanan Rebecca West di Balkan sebelum Perang Dunia II, Black Lamb and Grey Falcon. Mempelajari sejarahnya akan membuat kita mengerti mengapa wilayah tersebut tertinggal dari Eropa lainnya dan penuh konflik berdarah.

Wednesday, March 27, 2013

Silk



Judul : Silk
Pengarang: Alessandro Baricco
Penerjemah: Guido Waldman
Penerbit: Vintage
Tahun : 1998
Tebal : 91 hal



Membaca Silk adalah seperti membaca cerita rakyat, karena dikisahkan dengan ringkas dan bahasa yang sederhana. Namun di dalamnya terdapat sejarah, kisah cinta, sensualitas yang halus, dan perasaan manusia yang bisa terjadi pada siapa saja.

Silk mengisahkan kehidupan Herve Joncour, seorang pedagang ulat sutera di sebuah kota kecil di Prancis pada tahun 1861, sampai kematiannya berpuluh tahun kemudian. ”..He was one of those men who like to be observers at their own lives….It will have been noted that such people observe their destiny much as most people tend to observe a rainy day,” demikian pengarang menggambarkan tokohnya di awal buku.

Setiap tahun Joncour membeli telur-telur ulat sutera, menetaskannya pada setiap awal bulan Mei dan menunggunya hingga terbentuk kepompong dan benang sutera dua minggu sesudahnya, kemudian menjualnya.

Ketika terjadi epidemik di Eropa, Joncour bepergian hingga ke Afrika Utara untuk membeli telur ulat sutera. Namun suatu hari, hampir seluruh dunia terkena epidemik kecuali Jepang. Maka sesuai saran Baldabiou, sang ahli ulat sutera, yaitu orang yang pertama mengajarkan usaha tersebut di kotanya, Joncour pergi ke Jepang untuk membeli ulat sutera dari seorang laki-laki berada bernama Hara Kei di Shirakawa. Suatu perjalanan yang sangat jauh di zaman tersebut, oleh karena itu biayanya ditanggung oleh banyak orang di kotanya.

Ketika bersama Hara Kei, Joncour melihat seorang gadis di sampingnya. Kelak, gadis tersebut menyampaikan sebuah kertas kecil bertulisan aksara Jepang kepadanya. Joncour menyimpan kertas tersebut dan membawanya pulang.

Setelah tiba kembali di Prancis, Joncour mencoba mencari orang yang bisa menerjemahkan tulisan tersebut. Ia menemui wanita Jepang bernama Madame Blanche. Tulisan tersebut, dan pertemuan pertamanya di Jepang, membuatnya terobsesi akan si gadis.

Joncour beberapa kali ke Jepang. Pada kepergiannya yang terakhir, perang telah terjadi di Jepang, dan orang-orang tidak menyarankannya pergi. Namun Joncour tetap pergi. Ia teringat akan si gadis. Ia melupakan bahaya perang, kerugian biaya apabila perjalanannya sia-sia… Ada seseorang yang seolah memanggilnya.
Apakah yang terjadi pada perjalanannya yang terakhir? Ia pulang tanpa membawa telur ulat sutera.

Joncour memiliki seorang istri yang baik bernama Helene dan tampaknya bahagia. Namun perjalanannya yang terakhir membuatnya berubah, meskipun ia tetap baik kepada Helene.

Ada kesedihan yang mempengaruhi hatinya. Helene bertanya kepada Baldabiou. Kepada Baldabiou, Joncour berkata,

“I never even heard her voice.
It is a strange sort of pain.
To die of yearning for something you’ll never experience.”

Meskipun demikian, pada akhirnya Joncour tampak dapat melupakan kesedihannya dan menjalani kehidupan selanjutnya seperti biasa. setelah menerima sebuah surat bertulisan Jepang. Namun pembaca baru mengetahui keseluruhan cerita sebenarnya pada akhir buku.

Novel ini seperti sebuah puisi.. Saya pernah berpikir, mungkinkah seorang lelaki terobsesi demikian dalam akan seseorang yang sekilas saja ditemuinya, sehingga ia akan kembali ke tempat yang sama untuk seseorang tersebut, walau demikian jauh? Alessandro menjawabnya dalam novel ini. Dan betapa benarnya kata-kata Joncour kepada Baldabiaou,” It is a strange sort of pain…” Dengan kalimat ini pengarang menggambarkan perasaan dan hati manusia, yang seringkali tidak tahu apa yang diinginkannya atau yang membuatnya merasa kosong, yang selama itu tidak ia sadari, sampai sesuatu terjadi dan membuatnya berada dalam kesedihan yang dalam. Dengan novel ini pengarang melukiskan, betapa kesedihan dapat datang begitu saja hampir tanpa alasan cukup…

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1996 dan telah diterjemahkan dalam 27 bahasa.

Monday, January 28, 2013

In Cold Blood



Judul : In Cold Blood\
Pengarang: Truman Capote
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2011
Tebal : 367 hal



Saya masih ingat, salah satu hobi saya sewaktu kecil adalah membaca cerita kriminal (pembunuhan) di majalah Intisari, kemudian membaca buku cerita detektif. Kini, semua itu sudah berlalu. Selain bosan, juga sudah tidak ada waktu. Namun membaca In Cold Blood ternyata sangat menarik.
Sebagai karya klasik modern, In Cold Blood mengisahkan pembunuhan satu keluarga di sebuah kota kecil di Amerika pada tahun 1959 dengan bentuk baru, yaitu seperti novel. Menurut pengarang, dengan bentuk ini ia hendak mengungkapkan tidak saja sebuah peristiwa, tetapi juga cerita tentang sebuah kota, dan latar belakang kehidupan korban maupun pembunuhnya secara rinci.
Keluarga Clutter – yang menjadi korban pembunuhan - adalah pemilik tanah pertanian yang cukup berada dan aktivis gereja. Clutter dikenal sebagai orang yang saleh, pekerja keras, dan murah hati. Kedua anak mereka yang berusia tujuh belas dan empat belas tahun merupakan anak-anak yang ramah, berprestasi, dan tidak segan membantu orang lain.

Sebagai keluarga teladan yang terpandang, pembunuhan keempatnya secara kejam pada suatu malam menimbulkan shock berat bagi penduduk di kota kecil tersebut. Tidak saja hal tersebut menumbuhkan rasa takut dan ketidak-percayaan diantara warga, karena mereka berpikir bahwa pembunuhnya adalah salah satu diantara mereka sendiri, namun juga depresi, sebagaimana diungkapkan salah satu warga kota tersebut, “…well. it’s like being told there is no God. It make life seem pointless. I don’t think people are so much frightened as they are deeply depressed.”
Memang, kekejaman dan penderitaan yang sangat atau bencana dahsyat yang membuat usaha dan hidup manusia tampak jelas kesia-siannya selalu mengundang pertanyaan akan ada tidaknya eksistensi Tuhan. Benarkah Ia ada?

Penyelidikan terhadap kasus tersebut akhirnya menemukan bahwa pembunuhnya adalah dua orang pemuda miskin yang memiliki masa kecil yang suram. Penulis mencurahkan banyak perhatian pada kehidupan kedua pembunuh ini, khususnya Perry, yang melakukan semua pembuhunah tersebut. Membaca kisah Perry, yang berasal dari keluarga miskin dan berantakan, mengalami kekerasan di panti penitipan anak, dan memendam marah karena ayahnya tidak mengizinkannya bersekolah, pembaca akan merasakan simpati penulis terhadapnya, dan memikirkan, mungkinkah jika ia memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut? Pembunuhan tersebut sangat kejam, dan pelaku tidak menampakkan penyesalan, namun uraian mengenai masa kecil Perry sangat menyentuh dan mampu membuat pembaca merasa sedih pula.

Kisah ini ditulis seperti novel detektif, dengan uraian yang berganti-ganti antara kegiatan warga kota maupun upaya para detektif dengan kisah masa lalu serta kegiatan kedua pembunuh selama melakukan kejahatan dan sesudahnya. Suasana tanah pertanian, keadaan kota kecil, dan karakter semua yang terlibat di dalamnya digambarkan dengan rinci agar pembaca mendapatkan suasana kota tersebut.
Diuraikan pula, bahwa setelah berita pembunuhan ini, terdapat beberapa pembunuhan lain terhadap satu keluarga, namun para pelakunya tidak pernah terungkap. Tampaknya sejak dulu berita kejahatan seperti menjadi contoh untuk melakukan hal yang sama.

Jika penulis ingin membuat kisah nyata ini seperti sebuah novel, maka hal itu telah tercapai, karena membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang bagus.

Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia.oleh penerrbit Bentang pada tahun 2007.Truman Capote adalah juga penulis buku Breakfast at Tiffany, dan penulisan buku ini dibantu oleh Harper Lee, pengarang To Kill a Mockingbird.

Tuesday, December 25, 2012

The End of The Affair



Judul : The End of The Affair (Akhir Satu Cinta)
Pengarang: Graham Greene
Alih bahasa: Mala Suhendra & Rosi L. Simamora
Penerbit: GPU
Tahun : 2004, Sept
Tebal : 376 hal



Sudah lama saya memiliki buku ini, tapi belum sempat membacanya. Baru-baru ini, setelah tidak sengaja menonton filmnya, timbul keinginan untuk membandingkannya dengan bukunya, karena buku biasanya lebih lengkap dan lebih bagus. Benarkah?

The End Of The Affair adalah kisah seorang penulis novel yang menjalin hubungan cinta dengan istri seorang pegawai negeri yang memiliki jabatan cukup tinggi pada masa perang dunia kedua di London. Bendrix, seorang penulis yang kurang sukses, ingin menulis novel tentang kehidupan pegawai negeri, sehingga ia mewawancarai Sarah, yang kemudian menjadi hubungan cinta. Hubungan ini pada akhirnya putus karena tiba-tiba Sarah tidak ingin menemuinya lagi setelah terjadi sebuah peristiwa.
Setelah dua tahun tidak bertemu, Bendrix merasa marah dan cemburu, mengira Sarah memiliki kekasih lain, sehingga ia menawarkan Henry, suami Sarah, untuk menyewa detektif guna menyelidiki Sarah. Henry menolak tawarannya, sehingga kemudian ia menghubungi sendiri detektif tersebut.
Apa yang ditemukannya kemudian justru membuat Bendrix menyadari besarnya cinta Sarah – Sarah tidak meninggalkannya untuk orang lain tetapi untuk menepati janjinya kepada Tuhan, yang telah mengabulkan doanya.

Bagi Bendrix, tidak mungkin Sarah begitu mudah berubah, karena mereka berdua tidak percaya, dan tidak ada mujizat atau apapun yang cukup untuk membuat seseorang harus percaya pada Tuhan, oleh karena itu kebencian dan kecemburuannya demikian dalam kepada Tuhan, yang telah merenggut Sarah dari sisinya. Ketika semakin banyak mujizat yang ditemuinya, ia tetap tidak bersedia mengakuinya, sehingga berkata, ”Oh Tuhan, cukup sudah yang Engkau lakukan. Cukup sudah Engkau merampas dariku, aku terlalu lelah dan tua untuk belajar mencintai, jangan ganggu aku. Selamanya.”

Novel ini ditulis dari sisi Bendrix, sang penulis novel yang cemburu, pertama kepada suami Sarah, kemudian kepada Tuhan. Tidak hanya kisah cinta biasa, ada renungan mengenai perkawinan, kepercayaan kepada Tuhan, pergolakan jiwa seorang ateis, dan jiwa seorang perempuan yang terbelah antara cinta kepada kekasih, suami, dan perasaan berdosa kepada Tuhan.
Apakah perkawinan - yang membuat seseorang merasa aman – meskipun sangat membosankan atau mengecewakan jauh lebih baik daripada hubungan cinta yang membara namun penuh kecemburuan dan kekhawatiran karena tidak ada pengikat apapun selain cinta itu sendiri? Dapatkah perkawinan seperti itu membuat seseorang bahagia?

Membaca buku ini memang memberi kesan bahwa pengarang adalah seorang yang religius, yang percaya bahwa setiap orang akan memiliki perasaan berdosa jika melakukan hal-hal yang terlarang, dan pada saat krisis pasti akan kembali kepada Tuhan – disini adalah agama Katolik – dan bahwa Tuhan akan mengabulkan doa yang sungguh-sungguh, termasuk memberi mujizat. Namun hal ini mungkin akan terlalu sulit bagi seorang ateis, karena hidup tidak selalu memberikan hal-hal yang baik atau kita inginkan.
Ketegangan antara kedua hal di atas digambarkan dalam karakter Sarah dan Bendrix, sedangkan Henry digambarkan sebagai orang yang pasrah, namun tidak religius.

Kecenderungan pengarang yang membela pentingnya keyakinan agama sebenarnya tidak menarik bagi saya, kalau saja tidak ada tokoh Bendrix, yang konsisten pada keyakinannya apapun yang terjadi.
Bahasa Indonesia mungkin kurang bagus dalam mengungkapkan perasaan Bendrix dalam buku ini, namun dalam film, aktor Ralph Fiennes dapat menampilkan perasaan cinta, kecemburuan, kemarahan dan kepedihan dengan sangat baik, sebagaimana penampilannya dalam The English Patient.

Ralph Fiennes
Buku ini sebagian mungkin berasal dari pengalaman pengarang sendiri, karena tokoh Bendrix adalah pengarang novel dan penulis review. Graham Greene adalah juga penulis novel dan review, yang semula agnostic kemudian menjadi Katolik setelah menikah, mengikuti keyakinan istrinya, Vivian. Ia juga pernah memiliki affair dengan seseorang yang tidak bersedia meninggalkan suaminya.

Novel ini tampaknya mewakili pandangan pengarang yang berpendapat bahwa kehidupan manusia hanya dapat berarti dengan adanya keyakinan kepada Tuhan, meskipun perjuangan untuk percaya adalah sesuatu yang berat.

Sebagian novel ini membuat saya teringat pada The English Patient: kekasih yang kehidupannya tampak agak menyedihkan namun sangat memikat, perempuan pelaku affair yang seolah mendapat hukuman dengan kematiannya, dan kekasih yang diliputi kesedihan dan kekecewaan.

Graham Greene yang berasal dari Inggris (1904-1990) dikenal dengan buku-bukunya yang banyak dijadikan film, antara lain Brighton Rock, The Quiet American, A Gun for Sale dan The Fallen Idol. Setelah pada awal karirnya ia banyak menulis mengenai hal yang berkaitan dengan keyakinan Katolik, tulisannya kemudian lebih bersifat humanis, dengan kisah berlatar negara-negara jajahan di daerah tropis.


Sang Guru Piano



Judul : Sang Guru Piano (Die Klavierspielerin)
Pengarang: Elfriede Jelinek
Penerjemah/Penyunting: Arpani Harun/ Ayu Utami
Penerbit: KPG
Tahun : 2006, Jan
Tebal : 293 hal



Banyak yang menganggap Sang Guru Piano adalah novel yang vulgar. Namun pengarang berhasil mengungkapkan keadaan jiwa-jiwa yang sakit, sehingga membaca novel ini seperti mengalami suatu penderitaan.

Novel ini mengisahkan Erika, seorang profesor di konservatori Wina, yang menjadi guru karena gagal menjadi pemain piano konser. Hidupnya dikendalikan oleh ibunya, meskipun ia telah berusia tiga puluh delapan tahun. Musik bukanlah kesenangan, tetapi kerja keras dan kewajiban, yang ditanamkan oleh ibunya sejak ia kecil. Dominasi ibu yang berlebihan membuat jiwa Erika tertekan dan sakit; ia menunjukkan kekuasaannya di kelas, ia terus membeli baju-baju baru hanya untuk dilihat-lihat, karena ibunya tidak mengizinkan ia memakainya, dan kerap mengunjungi tempat-tempat dimana seks dikomoditikan dan dilakukan secara brutal dan rendah. Erika adalah seorang perempuan yang malang; kesepian, sedih, dan tertindas, namun tidak mampu mengeluarkan diri dari situasi tersebut selain melakukan hal-hal yang semakin menjerumuskan dirinya: menyayat tubuhnya sendiri, menjalin hubungan dengan murid yang jauh lebih muda, dan menginginkan kesadisan dalam hubungan tersebut.

Semua hal di atas digambarkan pengarang secara rinci, tanpa perasaan, tanpa batas, membuat pembaca ikut merasa tertekan hingga jijik dan ingin melempar buku tersebut - terutama pada sepertiga bagian terakhir - karena bahasa yang digunakan tidak ada yang diperhalus, benar-benar seperti uraian tentang bagaimana suatu kegiatan dilakukan belaka dan tindakan para tokoh semakin berlebihan. Pembaca juga sulit untuk bersimpati kepada karakter di dalamnya: baik Erika, ibunya maupun murid Erika tidak memiliki cukup hal-hal baik yang mengundang simpati. Pembaca mungkin merasa kasihan pada nasib Erika yang tertindas, namun caranya mengatasi penindasan tersebut membuat pembaca sulit untuk memahaminya.

Hal menarik dari novel ini adalah tentang akibat kejiwaan dari dominasi ibu terhadap anak perempuannya, dan kontras antara keanggunan musik klasik dan kota Wina dengan kekelaman jiwa Erika sebagai pengajar konservatori serta sisi gelap kota Wina, yang menyimpan kemiskinan para pekerja imigran Turki beserta segala eksesnya yang menyedihkan.

Elfriede Jelinek memperoleh hadiah Nobel pada tahun 2004 untuk “suara dan kontrasuara di dalam novel dan dramanya yang mengalun bak musik, yang dengan semangat penjelajahan bahasanya yang luar biasa menyingkap kehampaan tata krama masyarakat beserta daya cengkeramnya.”
Berdasarkan penjelasan panitia Nobel, maka Sang Guru Piano, yang ditulis pada tahun 1983, dapat dipandang sebagai sebuah kritik terhadap kondisi masyarakat pengarang.
Buku ini juga telah difilmkan dan memperoleh tiga penghargaan dalam Festival Film Cannes 2001.

Thursday, August 30, 2012

Keep the Aspidistra Flying


Judul : Keep the Aspidistra Flying
Pengarang: George Orwell
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2001
Tebal : 272 hal


Dapatkah seseorang mempertahankan prinsip atau cita-cita jika hal itu membuatnya harus hidup miskin? Apakah pilihan tersebut bersifat mutlak ataukah dapat diambil jalan tengah?
Gordon Comstock,seorang laki-laki muda berumur tiga puluh tahun, bercita-cita menjadi penulis besar dan membenci pekerjaan yang hanya mengejar uang. Ia tidak mau bekerja di bank atau perusahaan periklanan, karena keduanya mendukung pemujaan terhadap uang, dunia Money-God. Sayangnya, ia miskin, dan keluarganya telah berkorban banyak untuk membiayai sekolahnya, sehingga Gordon terpaksa menerima tawaran bekerja di perusahaan periklanan. Namun setelah ibunya meninggal, ia bertekad meninggalkan dunia tersebut, sehingga menjadi penjaga toko buku kecil dan menulis puisi, meskipun akhirnya menjadi sangat miskin.
Buku puisi pertama Gordon berhasil terbit berkat bantuan Ravelston, sahabatnya yang kaya dan beraliran sosialis, dan kekasihnya, Rosemary tetap setia meskipun Gordon tidak mampu mengajaknya bepergian atau makan malam. Untuk mengajak Rosemary bepergian ia harus meminjam uang kepada kakak perempuannya yang juga pekerja miskin, untuk mentraktir Ravelston minuman murahan ia mengorbankan makan malamnya.



aspidistra

Gordon terus menerus berpikir bahwa ketiadaan uang tidak saja membuatnya kelaparan, namun juga tidak memungkinkan adanya cinta, persahabatan, kemampuan menulis, dan kehidupan sosial yang wajar.. Tanaman aspidistra, yang dapat ditemui di semua rumah kelas menengah, termasuk kamar kosnya, menjadi sasaran kebenciannya.

Namun Gordon tetap tidak mau bekerja di bidang yang menurutnya bersifat Money God, bahkan setelah jatuh lebih miskin lagi karena hanya menjadi penjaga penyewaan buku-buku picisan, sehingga Rosemary membujuknya untuk kembali bekerja di perusahaan periklanan. Berhasilkah upayanya membujuk Gordon?


Membaca novel ini tidak membosankan, meskipun tindakan dan pikiran tokoh utama ditulis dengan rinci,karena membuat pembaca mengetahui bagaimana rasanya hidup miskin membela suatu prinsip, selain suasana tahun tiga puluhan, dimana perang dunia pertama masih terasa dan bayang-bayang perang dunia kedua tengah menggantung. Bagian akhir novel juga akan membuat pembaca berpikir, apakah uang memang segala-galanya? Bagi yang telah lama bekerja, bagian ini mungkin akan mengingatkan akan masa lalunya: apakah pekerjaan yang dipilihnya memang benar-benar sesuai cita-cita atau minat ataukah karena bersifat realistis – artinya lebih mempertimbangkan sisi keuangan, atau tercapai keduanya?

Tidak mengherankan bahwa pengarang dapat menggambarkan tokohnya dengan baik, karena pengarang sendiri pernah mengalami kemiskinan parah ketika menjadi penulis lepas, yaitu setelah berhenti menjadi pegawai Indian Imperial Police selama 5 tahun di Burma (1922-1927), sehingga terpaksa menjadi pencuci piring di Paris dan tuna wisma di London, sebagaimana dikisahkan dalam Down and Out in Paris and London (1933). Dalam buku tersebut ia menceritakan, betapa rumit dan membosankannya menjadi orang miskin. Misalnya ketika di jalan mendadak bertemu seorang teman yang berada, ia terpaksa menghindar dengan memasuki sebuah kafe dan mengorbankan uang makannya untuk membeli kopi yang tidak dapat diminum karena dimasuki lalat, dan kejadian-kejadian kecil sejenis yang berakibat fatal jika seseorang miskin. Semua itu tampaknya menjadi dasar dari kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel ini serta pikiran tokoh utama, yang kebencian sekaligus kebutuhannya akan uang diungkapkan secara berlebihan sehingga kadang terasa komikal.

Menceritakan pengalamannya, ia menulis,  You thought it (poverty) would be quite simple;it is extraordinary complicated. You thought it would be terrible; it is merely squalid and boring. It is the peculiar lowness of poverty that you discover first; the shifts that it puts to you, the complicated meanness, the crust-wiping.”    Pengalaman tersebut membuatnya lebih besimpati kepada para pekerja miskin dan tuna wisma. Orwell sendiri adalah seorang sosialis, mungkin itu sebabnya satu tokoh dalam novel ini juga seorang sosialis. Namun tidak seperti Gordon, ia menjadi penulis yang sukses.

Tampaknya empat novel yang ditulis sebelum dua novelnya yang terkenal semua berdasarkan pengalaman pribadinya, dimulai dari Burmese Days, yang ditulis berdasarkan pengalamannya sewaktu bekerja di Burma, kemudian Keep the Aspidistra Flying dan Coming Up for Air, yang keduanya tentang hidup dalam kesulitan keuangan, serta A Clergyman’s Daughter. Diantara keempat novel tersebut, yang terbaik adalah Burmese Days.
 




Friday, January 27, 2012

The Handmaid's Tale

Judul : The Handmaid’s Tale
Pengarang: Margaret Atwood
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2012
Tebal : 318 hal


The Handmaid’s Tale adalah kisah tentang masyarakat teokrasi di masa depan, dimana kebebasan tidak ada lagi, teknologi dan ilmu pengetahuan lenyap digantikan ayat-ayat dari kitab suci, dan perempuan kembali tidak memiliki hak apapun di masyarakat.
Terinspirasi oleh novel-novel dystopia seperti 1984, Fahrenheit 451 dan Brave New World, sebagian keadaan yang digambarkan dalam novel telah terjadi di beberapa bagian dunia.

Cerita dituturkan oleh Offred, seorang handmaid, yaitu perempuan yang tugasnya memberi keturunan pada pasangan suami istri elit penguasa. Penguasa baru, yaitu pendiri republik Gilead mengambil-alih pemerintahan demokratis Amerika setelah ada serangan besar dari teroris Islam, dengan mendasarkan pemerintahan pada keyakinan Kristen fundamentalis. Sejak masa pemerintahan ini, maka semua perempuan dilarang bekerja, dilarang memiliki rekening dan property, membaca, menulis, dan tidak dapat bepergian ke luar rumah sendiri. Setiap orang wajib mengenakan pakaian yang sesuai dengan kelasnya dalam masyarakat, yang dibedakan warnanya, dan semua perempuan wajib mengenakan gaun panjang yang tertutup penutup kepala, sepatu tanpa hak, serta berjalan menunduk. Film, majalah, musik, buku selain kitab suci dan barang-barang lain yang kurang berguna dilarang, dan ilmuwan serta dokter kehilangan pekerjaan karena univesitas dan rumah sakit ditutup.

Negara masih terus menghadapi perang dan pertumbuhan populasi sejak beberapa waktu sebelumnya telah negatif. Kondisi ini dan banyaknya radiasi kimia akibat perang mengakibatkan kemampuan reproduksi merupakan barang langka. Oleh karena itu pemerintahan baru membuat peraturan yang memaksa perempuan yang menikah untuk kedua kalinya atau tidak terikat pernikahan namun pernah memiliki anak menjadi handmaid, dengan membunuh pasangan mereka dan mengambil anak mereka sendiri untuk dididik negara, serta menempatkan mereka dalam rumah para pasangan penguasa yang tidak dapat memiliki anak. Offred adalah salah satu diantara perempuan tersebut. Suaminya mungkin dibunuh dan anak perempuannya diambil oleh negara. Sementara itu, perempuan lanjut usia, dan mereka yang tidak dapat bereproduksi dibuang ke koloni, untuk membersihkan bahan-bahan berbahaya sisa perang yang terkena radiasi, sedangkan perempuan penurut yang tidak menjadi istri penguasa atau Commander bertugas mengindoktrinasi perempuan-perempuan muda untuk patuh pada ideologi baru negara.

Novel ini menggambarkan kehidupan Offred yang membosankan di rumah Commander. Dari seorang perempuan bekerja yang mandiri dan memiliki keluarga menjadi perempuan yang setiap hari tidak melakukan apa-apa kecuali pergi berbelanja makanan di pagi hari bersama Offglen, seorang handmaid lain, menyerahkan barang belanjaan kepada dua pembantu perempuan, dan berdoa bersama keluarga Commander di sore hari, di dekat istri yang tidak menyukai kehadirannya. Hiburan satu-satunya adalah melewati Dinding, yang memajang orang-orang yang baru dihukum gantung, untuk melihat siapa yang dihukum hari itu.


Selain keluarga Commander dan dua pembantu, terdapat pula penjaga merangkap pengemudi bernama Nick yang masih muda. Perlahan-lahan Offred mengenal siapa sebenarnya Offglen, Commander dan Nick. Commander tidaklah demikian kaku, Offglen tidaklah sesoleh penampilannya, dan Nick tampaknya bersedia menolongnya.

 Apakah akhirnya ia memang bisa keluar dari negeri tersebut ke negara lain yang masih demokratis? Inggris misalnya, atau Jepang, yang digambarkan warganya berkunjung sebagai turis dan terheran-heran melihat Offred memakai gaun merah panjang tertutup di musim panas sehingga meminta pemandu menanyakan,”Apakah engkau bahagia?” Sementara Offred dengan iri melihat kebebasan dan pakaian turis tersebut sambil terkenang akan masa-masa ia sendiri memiliki kebebasan seperti itu. Ia juga mengingat dengan sedih kebenaran kata-kata ibunya – yang telah dibuang ke koloni – yang selalu memperingatkan dirinya akan ancaman tibanya masa rezim tersebut, dan kekecewaan ibunya karena ia tidak pernah menganggapnya dengan serius, sehingga tidak membantu perjuangan ibunya mempertahankan kebebasan yang mereka miliki saat itu. Offred mengira gerakan keagamaan tersebut tidak akan bisa menguasai negerinya, bahwa jumlah mereka kecil sehingga tidak akan dapat mempengaruhi atau mengubah kondisi negerinya secara drastis. Tapi ia tidak memperhatikan, bahwa segalanya berjalan secara perlahan-lahan, tanpa ia sadari semua berubah secara perlahan, dan ketika ia menyadarinya, semua sudah terlambat. Tidak hanya dia, tapi banyak orang yang menganggap remeh gerakan tersebut terlambat menyadarinya, sehingga rezim tersebut dapat menguasai mereka. Hanya orang-orang seperti ibunya, yang mengetahui keadaan di zaman yang lebih lama, yang bisa menyadari ancaman tersebut.

Sebagian orang berpendapat bahwa kejadian di atas tidak mungkin dapat terjadi di Amerika. Mungkin tidak disana. Tapi bagaimana dengan di tempat lain? Bagaimana dengan di Iran, Afghanistan, Sudan? Indonesia? Atwood menulis novelnya pada tahun 1985. Pada tahun tersebut telah terjadi revolusi Iran, namun belum muncul pemerintahan Taliban (1996-2001), belum terjadi peristiwa 9/11, 2001, belum terlalu banyak terjadi terorisme dan radikalisme.

Revolusi Iran mewajibkan kembali pemakaian hijaab, Taliban menghapus semua hak perempuan, teknologi dan seni, gerakan keagamaan sekelompok kecil orang di Indonesia mengubah pikiran dan pakaian yang dikenakan perempuan muda hanya dalam dua puluh tahun – yang tak dapat dipahami atau terbayangkan oleh dua generasi di atasnya…
Apakah The Handmaid’s Tale berlebihan, ataukah ia ramalan buruk yang perlahan menjadi kenyataan?

Mungkin itu sebabnya, novel ini terus diterbitkan dan dibaca. Ia mengingatkan kita, terutama perempuan, apa yang akan terjadi jika pemerintahan teokrasi berkuasa – dari agama monoteis apapun. Dan bahwa perubahan dapat terjadi perlahan-lahan tanpa kita sadari jika kita selalu menganggap segalanya kecil dan tidak mungkin, sampai tiba-tiba segala sesuatunya sudah terlambat. Namun masih ada sedikit harapan – tidak semua tempat mengalami hal itu. Masih ada tempat-tempat, negara, dimana hal tersebut tidak terjadi. Paling tidak demikian pesan novel ini: jika di suatu tempat ada pemerintahan diktator teokrasi yang menindas perempuan, tidak berarti di semua tempat seperti itu, masih ada negara lain yang bersifat liberal.


Edisi baru novel ini yang diterbitkan oleh Folio Society dilengkapi dengan pengantar baru dari pengarang, dan ilustrasi yang sangat bagus dan sesuai dari Anna dan Elena Balbusso. Dalam pengantarnya, Atwood menyatakan, bahwa ia tidak mengarang sesuatu yang belum pernah dilakukan manusia. Semua yang ditulisnya pernah dilakukan manusia di masa yang lalu di dunia Barat, sehingga dalam novelnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Namun demikian, ia sendiri tidak mengira bahwa ciptaannya akan sedemikian populer dan di beberapa wilayah mendekati kenyataan.

Sunday, January 22, 2012

Never Let Me Go


Judul : Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerjemah: Gita Yuliani
Penerbit: GPU
Tahun : 2011, Sept
Tebal : 358 hal




Ketika sebagian orang masih memperdebatkan, apakah jika manusia dapat menciptakan klon dirinya sendiri, klon tersebut memiliki jiwa, Ishiguro mencoba menjawabnya dalam novel ini.

Kisahnya sendiri bersetting pada akhir 1990-an di Inggris.
Kathy, yang berusia tiga puluh satu tahun dan telah belasan tahun menjadi perawat, mengenang teman-teman dekatnya semasa kecil di sebuah sekolah berasrama bernama Hailslam, khususnya dua teman yang terakhir dirawatnya.

Cerita kembali ke masa kanak-kanaknya di Haislam, tempat terpencil yang cukup menyenangkan namun agak aneh. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak mereka ketahui jawabnya tentang diri mereka sendiri. Kathy mengenang para guru sekaligus pengasuh mereka, antara lain Miss Emily, kepala Hailslam yang tegas, Miss Geraldine yang lembut, Miss Lucy yang suka berterus terang, dan Madame yang angkuh, yang sekali-sekali datang untuk mengambil karya seni terbaik mereka.

Mereka belajar dan wajib membuat karya seni – puisi, essay, gambar, patung – untuk dijual dalam acara Exchange, agar bisa mendapat kupon, yang nilainya sesuai dengan mutu karya yang dihasilkan. Kupon tersebut digunakan untuk membeli barang-barang pribadi ketika ada Sale, yang diadakan beberapa kali dalam setahun di asrama, Sale merupakan acara paling ditunggu-tunggu di Hailslam.
Oleh karena Exchange merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan barang pribadi dan terpilihnya karya oleh Madame berarti akan masuk dalam galeri, maka siswa yang karya-karyanya bagus akan lebih dihargai daripada yang tidak. Hal ini menyulitkan Tommy, yang tidak berbakat seni dan pemarah, meskipun ia kemudian berubah dan bisa menerima keadaannya. Kathy menaruh perhatian pada Tommy, demikian pula Ruth, sahabat Kathy yang berjiwa pemimpin. Mereka bertiga bersahabat, meskipun tidak tanpa konflik.

Mereka tidak tahu banyak tentang diri sendiri, kecuali bahwa kelak harus memberi donasi. Tapi mengapa mereka harus membuat karya untuk galeri? Apakah hasil penjualan karya mereka di galeri digunakan untuk membiayai hidup mereka? Tapi apa yang mereka buat hanyalah karya kanak-kanak. Tommy memiliki teori sendiri, bahwa karya itu digunakan untuk melihat jiwa mereka, agar Madame bisa menilai dengan baik pernyataan mereka, karena katanya jika terdapat dua orang yang benar-benar saling mencintai, masa donor mereka bisa ditangguhkan. Benarkah?

Semakin besar, para siswa tersebut tahu bahwa mereka adalah klon dan kelak akan menjadi donor, bahwa ada orang-orang di luar sana yang menjadi model bagi mereka, bahwa bercita-cita tinggi adalah sia-sia. Pilihan hidup bagi mereka hanyalah menjadi perawat, sampai tiba masanya menjadi donor. Tapi semuanya tidak benar-benar jelas, karena para guru dan pengasuh tidak pernah benar-benar menjelaskannya pada mereka, dan asrama mereka terisolasi sehingga tidak dapat bergaul dengan orang-orang normal lain.
Hanya keberanian dan tekad Tommy serta Kathy di saat-saat terakhir Tommy yang dapat menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, yaitu ketika mereka bertanya langsung kepada Madame di rumahnya, lama setelah asrama Haislam dibubarkan, dan ketika semuanya sudah terlambat…

Novel ini ditulis dari sudut pandang Kathy. Di bagian pertama yang cukup panjang adalah kenangan Kathy akan masa kanak-kanaknya di Hailslam dengan Ruth dan Tommy sebagai teman terdekatnya. Kemudian masa ia pindah dari Hailslam ke asrama lain di Cottage lalu menjalani pelatihan sebagai perawat. Terakhir adalah masa Kathy sebagai perawat para donor selama bertahun-tahun, mengapa ia memilih merawat para donor dari tempat yang sama dengannya,.termasuk Ruth dan Tommy setelah mereka menjadi donor, serta mencoba menerima hidupnya sebagaimana adanya.

Hampir setengah bagian novel merupakan uraian masa kanak-kanak Kathy di Hailslam, yang ditulis dengan rinci dari sudut pandang anak-anak dan memerlukan kesabaran pembaca – yang menurut saya dapat diperpendek. Namun bagian ini mempersiapkan pembaca pada bagian-bagian berikutnya yang menggambarkan perasaan dan akhir hidup mereka yang menyedihkan. Pada bagian ini penulis berhasil menggambarkannya dengan sangat baik sehingga menimbulkan kesedihan yang sangat bagi pembaca: perasaan kesepian, kehidupan yang keras dan melelahkan, tiadanya keinginan, cita-cita pribadi, maupun rasa marah sebagai klon yang diciptakan untuk kepentingan orang lain.

Memang agak mengherankan juga, mengapa mereka, khususnya Kathy yang tegar, tidak marah menjadi klon yang diciptakan hanya untuk mendonorkan organnya berkali-kali sampai mati, dan tidak ingin mempertahankan hidupnya seperti manusia normal, dengan melarikan diri sebelum menjadi donor, misalnya. Apa yang menyebabkan mereka demikian pasrah? Hal ini tidak diungkapkan secara eksplisit oleh pengarang. Mungkinkah pelajaran atau brainwashing selama di asrama, ketidaktahuan akan kehidupan di dunia luar, dan pandangan rendah terhadap mereka oleh orang-orang normal, sudah cukup untuk membuat mereka patuh sehingga tidak menginginkan apapun untuk diri sendiri?

Ketika Kathy bertanya, mengapa Miss Lucy keluar dari Hailslam, Miss Emily menjawab, bahwa Miss Lucy berpendapat anak-anak harus diberitahu hal sebenarnya yang akan mereka hadapi, namun ia tidak setuju, karena ia ingin melindungi anak-anak, jika perlu dengan berbohong untuk menyembunyikan beberapa hal, sehingga mereka dapat menikmati seni dan pelajaran mereka. “Untuk apa kalian mau melakukannya, seandainya tahu apa yang ada di masa depan kalian? Kalian akan bilang semua tidak ada gunanya, dan bagaimana kami bisa berdebat dengan kalian? Maka dia harus pergi.”

Sebagian besar dari kita juga tidak tahu apa yang ada di masa depan, dan seandainya kita tahu, mungkin juga akan merasakan kesia-siaan itu. Karena kita tidak tahu, maka setiap orang menikmati hidupnya dan berusaha melampaui mortalitas dengan meninggalkan sesuatu: karya seni, tulisan, anak, kekayaan, pelajaran, atau apapun, untuk mengurangi rasa sia-sia. Dan sebagian besar merasa hidupnya memiliki tujuan yang berarti, meskipun hanya menjadi orang-orang biasa yang tidak meninggalkan sesuatu yang besar…apakah hal tersebut juga karena brainwashing sejak kecil dalam masyarakat yang juga tidak mempertanyakan sesuatu pun lagi? Bukankah dalam masyarakat juga tidak ada tempat untuk mereka yang terlalu jujur mengemukakan kesia-siaan hidup manusia?
Banyak pengarang mengungkapkan kesepian dan kesia-siaan hidup manusia dengan caranya masing-masing. Yang jelas, novel ini tidak menceritakan tentang proses penciptaan manusia klon, dasar sainsnya, proses penggunaannya, siapa penggunanya, dan hal-hal teknis sejenis sebagaimana seharusnya dalam kisah fiksi ilmiah.

Bagi yang pernah membaca karya Kazuo Ishiguro sebelumnya, seperti The Remains of the Day, pemenang Man Booker Prize tahun 1989, mungkin gaya tulisan Ishiguro di novel ini akan tidak asing lagi, meskipun kisahnya sama sekali berbeda. Novel ini aslinya diterbitkan pada tahun 2005 dan telah difilmkan pada tahun 2011.

Tuesday, September 27, 2011

PENGUASA LALAT

Judul : Penguasa Lalat (Lord of the Flies)
Pengarang: William Golding

Penerjemah: Dhewi Harjono
Penerbit: Pustaka Baca, Yogya
Tahun : 2011
Tebal : 315 hal


Sebuah pesawat terbang yang mengevakuasi anak-anak dari wilayah berlangsungnya perang dunia jatuh di sebuah pulau koral di Pasifik Selatan. Tidak ada orang dewasa yang selamat. Pulau tersebut tidak berpenghuni, namun memiliki air, buah-buahan, dan babi.

Ralph, seorang anak berumur 12 tahun yang berpikiran jernih, berkenalan dengan Piggy yang cerdas, seorang anak berkaca mata yang tidak menarik. Dengan petunjuk Piggy, Ralph mengumpulkan anak-anak lain menggunakan kerang yang ditiup, yang ditemukannya ketika berenang di laguna. Setelah semua berkumpul, Ralph berusaha menerapkan aturan seperti yang diajarkan selama ini di sekolah: mengadakan pemilihan ketua, membuat rencana dan pembagian kerja untuk bertahan hidup dan penyelamatan diri keluar dari pulau. Namun Jack, ketua grup paduan suara merasa marah tidak terpilih menjadi pemimpin, sehingga Ralph memberinya jabatan sebagai pemburu bersama kelompoknya.

Usaha Ralph untuk menjalankan rencana penyelamatan dengan membuat asap pemberi sinyal di atas gunung, membuat tempat berteduh, menjaga sanitasi serta anak-anak yang lebih kecil tidak berjalan dengan baik karena tidak adanya kerja sama dari Jack, yang hanya memikirkan daging sehingga tidak menjaga api sinyal dan sibuk berburu babi bersama kelompoknya. Sementara itu anak-anak kecil mengutarakan ketakutannya karena di kegelapan melihat si buas, atau hantu, yang membuat semua resah.
Konflik terus meningkat antara Ralph yang berusaha menegakkan aturan dan Jack yang semakin terobsesi untuk menjadi pemimpin dan pemburu, sebab untuk memasak hasil buruannya Jack mencuri api dari Ralph dan Piggy, karena hanya kelompok Ralph yang bisa membuat api dari kacamata Piggy. Kekerasan yang dilakukan Jack akhirnya membawa korban beberapa anak, bahkan Ralph sendiri diburu. Hanya kedatangan kapal yang akan dapat menyelamatkan Ralph dan anak-anak lainnya dari kekejaman Jack.

Meskipun seperti sebuah petualangan anak-anak biasa, namun novel ini menyimpan pesan yang dalam, karena kehidupan anak-anak dalam pulau tersebut mencerminkan kehidupan di dunia dan kekelaman jiwa manusia. Ralph yang selalu berusaha bertindak sesuai aturan untuk kebaikan dan Piggy yang dengan ilmu pengetahuannya berusaha membantu Ralph, harus menghadapi Jack yang hanya dilandasi emosi dan sifat-sifat dasar manusia untuk survive: pemenuhan kebutuhan dasar (makanan), keserakahan, keinginan berkuasa, pemaksaan kehendak dengan kekerasan,atau hilangnya rasionalitas dan pengetahuan digantikan oleh emosi. Bukankah pertentangan antara kedua hal ini yang selalu dihadapi manusia sepanjang zaman dan mengakibatkan konflik, kerusakan dan peperangan yang tak terhitung jumlahnya hingga saat ini?

Novel ini memang bersifat simbolis. Judul novel merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, baal-zevuv, yang artinya chief devil – Setan. Sedangkan dalam bahasa Inggris - yang diambil dari bahasa Yunani yaitu beelzebub, artinya Setan. Dalam novel hal ini ditunjukkan dengan kerumunan lalat di atas kepala babi yang ditancapkan kelompok Jack di atas tongkat yang ditanam di tanah.

William Golding sendiri menjelaskan novel ini sebagai berikut,”Tema adalah usaha untuk menelusuri jejak kerusakan masyarakat kembali kepada kerusakan masyarakat kembali ke kerusakan alam manusia. Moral adalah saat bentuk suatu masyarakat harus bergantung pada sifat etis individu dan bukan pada system politis apapun, bagaimanapun tampak logis dan dapat dihargai. Keseluruhan buku bersifat simbolis secara alami kecuali penyelamatan di akhir cerita ketika ketika kehidupan orang dewasa muncul, bermartabat dan cakap, namun pada kenyataannya terperangkap dalam jaring kejahatan yang sama seperti kehidupan simbolis anak-anak di pulau. …”

Terjemahan novel ini dalam bahasa Indonesia cukup baik, namun ada beberapa kesalahan cetak di beberapa halaman (pengulangan cetak).

Buku ini merupakan novel pertama (1954) William Golding, yang mendapat hadiah nobel sastra pada tahun 1983. Konon kisahnya diilhami novel The Coral Island oleh R.M. Ballantyne yang mengisahkan terdamparnya tiga anak laki-laki di sebuah pulau hingga diselamatkan, serta pengalaman Golding selama bertugas di angkatan laut.