Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Monday, April 05, 2021

Black Wave






Judul                     :   Black Wave:  
Saudi Arabia, Iran, and the Forty Year Rivalry that Unraveled Culture, Religion, and Collective Memory in the Middle East
Pengarang            :   Kim Ghattas
Penerbit               :     Henry Holt and Company, NY
Tebal                     :   377 halaman
Tahun                    :   2020


Generasi masa kini mungkin tidak tahu bahwa negara-negara yang kini dikenal sebagai negara Islam dulunya adalah negara yang tergolong sekuler, termasuk Indonesia. Empat puluh tahun yang lalu, penerapan agama Islam di Arab Saudi, Iran, Irak, Lebanon, Mesir, Syria, Pakistan dan Afganistan tidaklah seperti saat ini, dengan penerapan syariah secara ketat dan  tingkat keamanan yang rendah karena maraknya terorisme berdasar agama. 

Memahami apa yang terjadi selama empat puluh tahun terakhir di wilayah Timur Tengah sangat penting, karena apa yang terjadi disana mempengaruhi wilayah sekitarnya, terutama negara-negara dengan penduduk beragama sama, seperti Sudan, Somalia, Indonesia, Malaysia, bahkan wilayah Asean. Hal ini disebabkan rivalitas yang terjadi di Timur Tengah disebarkan ke seluruh dunia.

Menurut penulis buku ini, kemunduran yang membawa kegelapan pada  negara-negara mayoritas muslim dapat ditelusuri dari dua peristiwa pada tahun 1979, yaitu revolusi Iran dan pemberontakan Juhayman di masjid Mekkah.

Revolusi Iran adalah ironi, karena munculnya diupayakan oleh kaum kiri Iran yang tinggal di Lebanon, negara Arab paling sekuler serta kebaikan Prancis sebagai  negara bebas, yang memungkinkan Khomeini menetap disana, memberi konferensi pers untuk disiarkan ke seluruh dunia,  untuk kemudian kembali ke Iran dibantu kaum kiri dan muslim modernis, yang berencana  menggunakan Khomeini untuk menarik rakyat namun dalam kenyataannya kemudian malah mereka disingkirkan oleh Khomeini dan mullah garis keras lainnya yang memiliki agenda sendiri, yaitu mendirikan negara Islam berdasarkan syariah. Selanjutnya keberhasilan revolusi Iran memunculkan ambisi dari penguasa yang baru untuk menyebarkan aliran Syiah ke seluruh dunia, sebagai tandingan dari Wahabi Arab Saudi, yang dipandang sebelah mata oleh kaum Syiah.

Sementara itu pemberontakan Juhayman di Mekkah sebagai protes atas modernisasi yang dilakukan Arab Saudi membuat negara tersebut menghentikan pembaruan yang baru dimulai, dengan kembali ke ajaran lama, yaitu menyingkirkan perempuan dari publik, segregasi gender lebih ketat, dan seterusnya. Tekanan ulama Wahabi yang menuntut penerapan syariah secara ketat mendominai kerajaan. Selanjutnya munculnya revolusi Iran mengakibatkan Arab Saudi berusaha menahan laju pengaruh Syiah dengan menyebarluaskan aliran Wahabi ke negara-negara Islam lainnya. Persaingan kedua aliran inilah yang menghancurkan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Perselisihan kedua aliran ini pertama muncul di Syria, dengan adanya serangan  kapten Sunni terhadap kadet beraliran Alawites (Shia). Presiden Assad yang berafiliasi dengan Shia, menghancurkan Muslim Broterhood, yang gagal memperoleh bantuan dari Khomeini.

Sementara itu di Irak, Saddam dengan partai Baath yang sekuler mmenindas Shia yang menjadi mayoritas, di lain pihak al-Muwahidoun yang beraliran seperti Wahabi berkembang di bawah tanah. Kemudian Saddam memerangi Iran tidak lama setelah kunjungan ke Arab Saudi pada 1980.


Mesir
Kondisi di Mesir mungkin mirip dengan di Indonesia. Sebagai upaya menghapuskan pengaruh presiden sebelumnya yaitu Nasser, Anwar Sadat mengizinkan kelompok islamis melakukan aktivitas dan mengikuti pemilihan ketua mahasiswa. Setelah disusupi Muslim Broterhood selama bertahun-tahun, kampus-kampus Mesir semakin Islami dengan dikuasainya kepemimpinan mahasiswa oleh kelompok Islamis Gama'a, yang lebih radikal. Seperti di Indonesia, mereka mendekati dan membantu para mahasiswa baru khususnya dari kelas bawah dan menengah bawah, terutama dari fakultas teknik dan kedokteran dan membina mereka menjadi kader-kader untuk menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Masyarakat Mesir yang semakin konservatif dalam beragama ini membuat kebijakan Sadat melakukan modernisasi - yang dibaca sebagai westernisasi - dan perjanjian perdamaian dengan Israel tidak mendapat dukungan rakyatnya. Puncaknya adalah penembakan terhadap Sadat pada tahun 1981 oleh pengikut Gama'a. Meskipun banyak yang menginginkan revolusi seperti di iran, namun hal itu tidak bisa terjadi di Mesir, karena institusi resmi yang mewadahi ulama yaitu Al Azhar berada dalam kontrol pemerintah. Namun pembunuhan ini menandai perubahan situasi di Mesir, karena mencerminkan tingginya dukungan terhadap Islam garis keras, yang sejak saat itu pengaruhnya makin menguasai negara tersebut, meskipun saat itu hanya sedikit orang yang yang menyadarinya.  Di kemudian hari banyak aktivis Gama'a yang setelah keluar dari penjara meneruskan perjuangannya, antara lain Ayman al-Zawahiri yang kelak menjadi tangan kanan Bin Laden.

Saudi terus berupaya menanamkan pengaruhnya di Mesir, dan pada 2017 diketahui bahwa  setiap mesjid menerima dana dari Saudi. Sebagai akibatnya, kondisi Mesir semakin seperti di Saudi: kehidupan sosial dan budaya berpusat pada ritual agama, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan semakin lumrah.


Pakistan
Sementara itu di Pakistan terjadi kudeta oleh Zia ul Haq, yang mengangkat diri menjadi presiden pada 1978, dan menyebur dirinya 'soldier of Islam'. Pakistan yang berdiri pada 1947 dari pemisahan dengan India, didirikan oleh Muhamad Ali Jinnah, seorang Shia sekuler dan seperti Indonesia, konsep negara Pakistan adalah sekuler, memperlakukan semua agama sama dan bersifat terbuka. Namun dalam perkembangannya kemudian, pemimpin yang lemah sering menggunakan agama untuk menarik dukungan guna  mempertahankan kedudukannya, antara lain Bhutto melarang alkohol dan mengganti hari libur menjadi Jumat. Sebagaimana di tempat-tempat lainnya, pemberian kesempatan sedikit saja segera dimanfaatkan oleh Islamis militan yang bekerja selama puluhan tahun, di Pakistan hal ini dimotori oleh Mawdudi, pendiri Jamaat-e Islami, yang bercita-cita menjadikan Pakistan negara Islam dengan jalan Islamisasi masyarakat dari bawah. Selanjutnya penerapan syariah mendapat kesempatan setelah Zia menjadi presiden, yang mengangkat Mawdudi sebagai penasehat. Zia juga meminta bantuan Arab Saudi, yang mengirimkan Dawalibi untuk menuliskan hukum bagi Pakistan yang kini menjadi negara berdasarkan syariah Islam. Hal yang dilakukan Arab Saudi merupakan upaya untuk menyaingi Iran, dengan menancapkan aliran Sunni Wahabi ke Pakistan setelah sukses di Mesir. Di masa-masa selanjutnya dengan persetujuan Zia, Saudi membangun ratusan madrasah dan seminari agama di sepanjang perbatasan Pakistan Afghanistan, yang pengajarannya berupa indoktrinasi untuk perang atau Islamisasi negara. Sekolah ini menghasilkan pendiri Taliban, dan dukungan Saudi kepada pejuang Arab untuk Afghan menjadi awal mula Al Qaeda.

Lebanon
Negara Arab paling modern dan sekuler, Lebanon terpecah menjadi Lebanon Kristen dan islam pada 1982. Masuknya tentara Israel ke Lebanon memberi kesempatan pada Shia Iran untuk masuk ke kota Baalbek yang multi etnis dan agama, dan seketika mengubahnya menjadi serupa kota di Iran: perempuan wajib berhijab, bahkan dibayar untuk mengenakannya, alkohol, musik dan perayaan pernikahan dilarang, kegiatan agama dan upacara Shia digelar. Mereka merekrut kaum Shia Lebanon dari kota-kota miskin untuk menjadi tentara di Lembah Beqaa dengan dakwah agama dari klerik Iran. Inilah asal mula Hezbollah, Partai Tuhan, yang bermaksud mendirikan negara islam di Lebanon. Kondisi di Lebanon merupakan yang diharapkan Iran untuk menyebarkan revolusinya. Dari Lembah Beqaa, Hezbollah meluas ke selatan beirut, selatan Lebanon, dan daerah kumuh Beirut.
Hezbollah adalah yang pertama menggunakan bom bunuh diri untuk menyerang musuhnya. idenya berasal dari Mughniyeh, eks anggota tentara elit Arafat (Pemimpin Palestina). Bom bunuh diri pertama dilakukan seorang Shia di Lebanon pada November 1982 dan April 1983 untuk menyerang tentara Israel dan Kedubes AS di Beirut. pada 1984 pembagian Beirut semakin jelas, sebelah barat menjadi wilayah Islam atau Hezbollah. Semula penduduk Beirut yang sekuler tidak peduli, namun Hezbollah semakin menunjukkan dominasinya. mereka meledakkan bar-bar dan cafe yang menjual minuman keras, menyerang perempuan tidak berhijab, dan seterusnya. Beirut yang sekuler dan modern hancur, menjadi kota kaum Islamis yang memuja martirdom dengan bom-bom bunuh dirinya.

Afghanistan
Arab Saudi merupakann satu dari tiga negara yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan pada 1996, selain memberi dukungan dengan pelatihan dan dana.  Saudi memberikan bantuan melalui 300 charity pribadi yang menyalurkan dana sebesar USD 6 miliar ke seluruh dunia untuk menyebarkan ideologi Wahabi.

Irak
Pada 1990, Irak yang diembargo mengalami masa sulit setelah berakhirnya perang Teluk, dengan  kesulitan pangan, memburuknya infrastruktur dan fasilitas kesehatan, mendorong banyak pengungsian. Mereka yang tinggal dan mengalami kesulitan hidup mencari pelarian pada agama, dan Saddam mencoba tampak lebih religius. Di sekolah pelajaran agama diwajibkan, Quran dicetak massal dan mesjid-mesjid dibangun. Sementara itu Arab Saudi mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut dengan menyebarkan ajaran Salafi Wahabi, yang kemudian menyusupi personel militer. Di lain pihak, Iran tidak ingin melihat Irak menjadi negara Sunni Salafi, sehingga mereka menyerang mesjid-mesjid di Iran dengan bom bunuh diri. Perang antara Sunni dan Shia terus berlanjut hingga setelah kejatuhan Saddam. Arab Saudi membantu Sunni Irak memerangi Shia dengan meledakkan mesjid-mesjid mereka, dan puncaknya di Karbala, pusat Shia terbesar di Irak, yang pernah diserang Wahabi pada 1801. Serangan ini diarahkan oleh Zarqawi, seorang Yordania yang memerangi kafir Amerika, dengan dukungan Syria. Banyak tentara  Irak yang telah menganut Salafi tidak ingin negaranya dikuasai Shia setelah jatuhnya Saddam pada 2003, dan melihat kesempatan untuk mendirikan negara Islam Sunni. Peledakan mesjid di Karbala memicu peledakan mesjid-mesjid Sunni dan perang saudara bersifat sektarian antara Sunni dan Shia, yang masing-masing mendapat intervensi dari Saudi dan Iran.

Syria
Kediktatoran Assad menimbulkan pemberontakan, salah satu yang paling sukses adalah Jabhat al-Nusra, teman Zarqawi dan Bahgdadi. Ia membawa misi Zarqawi untuk menanamkan basis kekuatan di Syria. Untuk mengatasi hal tersebut, Assad menggunakan Hezbollah. Al Busra menerapkan hukum sharia di Raqqa, mengundang milisi dari Irak, dan menghabisi para pemimpin pemberontak lainnya, dan akhirnya pada 2013 Baghdadi mendirikan Islamic State in Iraq and Syria (ISI). Pada Maret 2014 ISI meledakkan pos Iran di Raqqa, yang menyulut kemarahan kaum Shia Iran dan Hezbollah. Sunni di wilayah Teluk mengumpulkan dana untuk melawan Iran dan Assad, sedangkan Iran mengumpulkan pejuang dari Shia Pakistan dan Afghanistan ke Irak dan Syria. Baghdadi menyerang kota--kota di Irak, dari Samarra hingga Mosul, sambil menghancurkan peninggalan-peniggalan bersejarah yang tak ternilai. ISIS adalah bentuk murni dari Wahabi, hasil didikan Saudi.

Sebagaimana halnya Indonesia pada 1970-1980an, negara-negara yang diuraikan dalam buku ini dulunya relatif sekuler: para perempuan bebas berpakaian bahkan rok mini, tidak ada pemisahan gender di tempat umum, perempuan bebas mengikuti pendidikan tinggi, bekerja di ruang publik, dan dilindungi dari kekerasan atau pelecehan, seni musik, sastra, tari, dan arsitektur dapat diekspresikan secara bebas, bahkan alkohol nukan sesuatu yang sangat tabu. Namun sejalan dengan meningkatnya ketaatan pada agama, dalam hal ini Salafi Wahabi, nilai perempuan dilihat dari pakaiannya, kemudian disingkirkan dari ruang publik, tidak terlindungi dari kekerasan, seni dibatasi sebelum akhirnya dilarang, tradisi dianggap bid'ah dan dihancurkan. Kehidupan sosial dan budaya yang wajar digantikan dengan kehidupan agama yang berisi ritual serta pemahaman dangkal dan literal kitab suci yang hanya berkisar halal haram serta intoleransi dan kebencian yang meningkat terhadap yang berbeda, bahkan terhadap Shia atau Ahmadiyah. 
Tidakkah kita telah melihat hal-hal ini semakin sering dan biasa dalam masyaraka kita? Tidakkah sebagian besar  masyarakat tidak merasa khawatir dan biasa-biasa saja bahkan mungkin merasa senang karena kehidupan semakin Islami? Namun itulah yang terjadi pada negara-negara Timur Tengah yang telah mengalami kehancuran dan diuraikan dalam buku ini! Mereka baru menyadarinya ketika semua telah terlambat!

Kim Ghattas menulis buku ini dengan sangat menarik, karena selalu disertai kisah individu-individu yang mengalami masa-masa perubahan dari kondisi negara-negara tersebut ketika masih normal atau relatif sekuler ke masa sesudahnya dimana hukum sharia telah menjerat dengan kuat, sehingga pembaca mendapat gambaran jelas bagaimana fundamentalisme Islam atau Wahabisme (dan pemerintahan Shia oleh ulama di Iran) tidak saja menghancurkan kehidupan sosial budaya seluruh negara yang didominasinya namun juga kehidupan pribadi para penduduknya. Semua itu dilakukan oleh militan Salafi Wahabi selama beberapa dekade dengan kucuran dana miliaran dolar dari Saudi, dan seringkali masyarakat tidak menyadari atau menganggap remeh perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakatnya yang telah disusupi ideologi ini karena bertopeng agama.

Buku ini sangatlah bagus karena darinya masyarakat Indonesia bisa belajar banyak. Hal-hal yang terjadi pada negara-negara yang diuraikan penulis saat ini sedang terjadi di Indonesia. Mungkin ada yang masih ingat kasus pemaksaan hijab pada murid-murid perempuan di sekolah negeri baru-baru ini? Pengusiran, pembakaran dan pembunuhan terhadap penganut Ahmadiyah? Bom bunuh diri di gereja? Perebutan mesjid oleh penganut Salafi? Berhenti jadi musisi setelah hijrah? Pelarangan atau penyerangan terhadap tradisi lokal - tradisi larungan ke laut, pementasan kesenian? Dan coba cek mesjid di sekitar anda. Bahkan mesjid baru di dekat rumah saya yang dibangun paksa (karena sebenarnya lokasinya untuk taman) ternyata setengahnya didanai Saudi! Masih banyak tanda-tanda yang bisa kita lihat apabila kita cukup waspada terhadap bahaya aliran ini. Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menyadari hal ini bahkan menyambutnya dengan suka cita. Mereka tidak menyadari bahwa apabila hal tersebut dibiarkan kita tidak akan mampu lagi mengatasinya, sebagaimana negara-negara di atas.

Buku ini perlu diterjemahkan dan diberi pengantar yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan bahaya ajaran Salafi Wahabi serta dana dari Saudi. Mungkin sudah agak terlambat karena kampus-kampus dan saudara serta teman-teman kita sudah banyak yang menganut aliran ini serta membuang budayanya sendiri, namun tidak ada salahnya kita berusaha.     

Buku bisa diperoleh di Periplus dengan harga Rp284 ribu.

Sunday, November 03, 2019

Upheaval - Bagaimana Negara Mengatasi Krisis





Judul                     :   Upheaval – Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan
Pengarang            :   Jared Diamond
Penerjemah          :   M. Iqbal Sukma
Penerbit                :   CV Global Indo Kreatif, Manado
Tebal                     :   410 halaman
Tahun                    :   2019


Apa yang dapat kita pelajari dari sejarah, berdasarkan pengalaman negara-negara yang berhasil mengatasi krisis yang dialaminya dan kemudian menjadi lebih baik atau lebih kuat? Dapatkah kita belajar dari cara mereka menangani krisis tersebut?
Menurut Jared Diamond, kita bahkan dapat menerapkan cara penanganan krisis individual untuk meneliti krisis yang terjadi dalam suatu negara. Demikianlah, maka tahapan dalam penyelesaian krisis individual diterapkan untuk melihat penyelesaian krisis pada enam negara dalam buku ini, yaitu FInlandia, Jepang, Chili, Indonesia, Jerman, dan Australia. Pemilihan terhadap enam negara ini berdasarkan pada pengalaman pribadi Diamond yang pernah bekerja atau tinggal di negara-negara tersebut.

Apakah sebenarnya yang dimaksud krisis disini? Pada tingkat individu, seseorang mengalami krisis apabila terjadi hal-hal yang membuatnya harus meninjau kembali atau mengubah nilai-nilai yang dianutnya, tujuan, atau cara hidup. Faktor pemicu krisis misalnya kematian anggota keluarga, penyakit akut, kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam studi, terjebak dalam perang, dan lain-lain. Hasil dari upaya mengatasi krisis dapat menjadikan seseorang lebih baik dan lebih kuat, atau sebaliknya mengarah pada keputusasaan seperti bunuh diri. Meminjam dari terapis klinis, penulis menjelaskan bahwa terdapat selusin faktor untuk berhasilnya penyelesaian krisis, antara lain pengakuan bahwa seseorang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab pribadi untuk melakukan sesuatu, menggunakan individu lain sebagai model dalam menyelesaikan masalah, adanya pagar, yaitu batas-batas yang dapat dan tidak dapat dinegosiasikan dalam penyelesaian masalah, sabar, nilai-nilai inti, dan mendapatkan bantuan dari individu lain. Diletakkan dalam perspektif negara, hal itu menjadi: konsensus bahwa negara sedang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab nasional untuk melakukan sesuatu, menggunakan negara lain sebagai model, berurusan dengan kegagalan nasional, nilai-nilai inti nasional, dan mendapatkan bantuan dari negara lain. Selain itu, krisis dapat terjadi secara tiba-tiba atau secara bertahap. Krisis yang tiba-tiba misalnya negara mengalami serangan militer, kudeta, krisis bertahap yaitu apabila negara mengabaikan bahwa terdapat masalah, sampai suatu ketika terdapat kejadian yang membuat negara tersebut harus segera melakukan tindakan tertentu atau perubahan strategi.

Uraian mengenai penyelesaian krisis dibuat dalam bentuk perbandingan, yaitu Finlandia dibandingkan dengan Jepang, Chili dengan Indonesia, dan Jerman dengan Australia. Perbandingan didasarkan pada kesamaan krisis yang dialami.

Finlandia dan Jepang sama-sama mengalami krisis yang disebabkan oleh guncangan eksternal, yaitu Finlandia mengalami serangan Soviet yang agresif secara tiba-tiba, dan Jepang mengalami kedatangan kapal perang Amerika yang berteknologi jauh lebih tinggi yang memaksa Jepang membuka isolasinya. Finlandia berperang mati-matian melawan Soviet yang besar, namun  jumlah penduduk Finlandia yang sangat kecil (6 juta) dan tidak adanya bantuan dari negara lain membuatnya berhati-hati, dalam beberapa hal mengalah, dan selalu membuka komunikasi yang transparan dalam menghadapi Soviet yang berpenduduk jauh lebih besar dan berbatasan langsung dengan negara tersebut. Sebaliknya, krisis tersebut membuat Jepang segera melakukan restorasi Meiji untuk mengejar ketertinggalannya dalam teknologi dari Barat, namun dengan tetap mempertahankan tradisinya.

Chili dan Indonesia keduanya mengalami pemerintahan diktator militer yang kejam setelah sebelumnya menumbangkan presiden lama yang cenderung kiri. Presiden Allende yang menerapkan kebijakan bersifat sosialis dikudeta oleh Pinochet pada tahun 1973. Bahkan pendukung Allende mengantisipasi ancaman pembantaian oleh sayap kanan dengan poster bertulisan “Yakarta viene” atau Jakarta akan datang, merujuk pada persitiwa pembantaian tahun 1965 di Indonesia. Pinochet berkuasa hingga tahun 1990 dan 100.000 orang Chili mengungsi ke luar negeri. Namun perbedaan dengan Indonesia ialah, setelah masa pemerintahan Pinochet berakhir, para jendral yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan diadili dan dihukum, dan pemerintah baru mendirikan museum yang menunjukkan penyiksaan dan pembunuhan selama masa pemerintahan militer, sedangkan di Indonesia hal itu tidak pernah terjadi bahkan hingga saat ini. Persamaannya, keduanya merupakan krisis internal yang berasal dari polarisasi politik, adanya revolusi kekerasan, dan adanya peran satu pemimpin yang luar biasa, yaitu Pinochet dan Soeharto. Chili mengatasi krisis dengan  kepercayaan diri  rakyatnya bahwa mereka mampu mengatur diri sendiri serta berbeda dengan negara Amerika Latin lainnya dan adanya bantuan dari luar negeri  untuk pemulihan ekonomi setelah kudeta. Indonesia juga mendapat bantuan dari negara lain, dan dapat bertahan dari krisis karena memiliki kebanggaan bersama yaitu perjuangan bersama selama revolusi kemerdekaan 1945-1949, kebanggaan akan wilayah yang luas, dan dimilikinya bahasa Indonesia sebagai persatuan serta Pancasila. Penulis juga menyebutkan bahwa di luar perubahan-perubahan yang dilakukan untuk penyelesaian masalah, seperti perubahan kebijakan ekonomi, kepemimpinan oleh diktator militer, terdapat hal-hal di luar pagar yang tidak dapat diubah atau dinegosiasikan dalam kasus Indonesia, yaitu integritas wilayah, toleransi beragama yang besar, dan pemerintahan non komunis.  Namun berbeda dengan Chili, Indonesia kurang memiliki kepercayaan diri yaitu perasaan identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, karena masih tergolong baru sebagai bangsa merdeka.

Berbeda dengan Chili dan Indonesia, krisis yang dialami Jerman dan Australia terjadi secara perlahan, terkait dengan keengganan untuk mengakui permasalahan yang dihadapi dan mengatasinya dengan segera. Jerman tidak segera mengakui bahwa sebagai bangsa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Nazi, sedangkan Australia untuk waktu lama selalu menganggap dirinya bagian dari Inggris dan bangsa kulit putih. Perang Dunia II dan perubahan pemerintahan yang lebih demokratis kemudian mengubah kebijakan kedua negara tersebut. Jerman mengakui kesalahan Nazi dan meminta maaf kepada negara yang menjadi korban kekejaman Nazi, Australia  menerima kenyataan sebagai bagian dari Asia dan mengubah kebijakannya dengan bersikap lebih terbuka terhadap Asia. Hal yang menolong Jerman dalam mengatasi krisis adalah adanya identitas nasional yang kuat, yang disasarkan pada kebanggan akan musik, seni, sastra, filsafat dan sains Jerman, bahasa, serta kesabaran dari kekalahan masa lalu, dan kepercayaan yang berasal dari keberhasilan masa lalu.

Berdasarkan analisis terhadap keenam negara di atas, penulis kemudian menguraikan krisis yang sedang dihadapi Jepang dan Amerika Serikat saat ini serta beberapa cara untuk mengatasi krisis tersebut. Pertanyaannya, mengapa hanya Jepang dan Amerika Serikat yang dibahas? Mungkin karena dua negara tersebut yang paling diketahui masalahnya oleh Jared Diamond pada saat ini. Masalah Jepang yang dapat menjadi krisis ialah tingginya hutang, peran perempuan yang belum setara, penuaan populasi dan penurunan jumlah penduduk sementara tidak ada kebijakan imigrasi, serta keengganan untuk mengakui kesalahan atau kejahatan yang diperbuat selama Perang Dunia II kepada negara-negara lain.  Sementara itu masalah yang sedang dihadapi Amerika dan akan menjadi krisis yang muncul secara perlahan antara lain  polarisasi politik, intoleransi, menurunnya kesopanan, dan ketimpangan yang semakin besar.

Selain hal-hal di atas, Diamond juga membahas krisis yang sedang dihadapi dunia terkait pemanasan global dan cara yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasinya, yaitu mengingat yang menjadi kontributor terbesar CO2 dan output ekonomi dunia adalah AS dan Cina (41%) dan kedua negara tersebut serta India, Jepang dan Uni Eropa menyumbang 60%, maka upaya penyelesaian dapat difokuskan terutama pada negara-negara tersebut.

Dibandingkan dengan Guns, Germs dan Steel, uraian dalam Upheaval tergolong sederhana, kurang terinci, dan tidak lengkap. Mungkin karena penulis tidak mengikuti lagi secara cukup rinci perkembangan terakhir keenam negara yang menjadi contoh dalam bukunya kecuali Jepang dan negaranya sendiri yaitu Amerika Serikat. Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki banyak masalah yang sewaktu-waktu dapat memicu krisis, misalnya meluasnya radikalisme, terorisme, polarisasi, intoleransi yang kesemuanya telah mencapai tahap mengkhawatirkan dan hal-hal lainnya, namun hal tersebut tidak dibahas di dalam buku. Selain itu, metodenya yang menggunakan kerangka  penanganan krisis individu untuk  krisis suatu negara juga masih bisa dipertanyakan validitasnya. Mungkin memang hanya sebagai langkah awal saja untuk penelitian yang lebih mendalam pada lebih banyak negara dengan menggunakan metode yang lebih baik.

Secara keseluruhan, buku ini masih cukup menarik. Kita dapat belajar sejarah singkat enam negara yang diuraikan penulis dan membandingkannya satu sama lain, termasuk dengan negara kita, dan mungkin mencoba menggunakan pendekatan yang digunakan Diamond untuk memperkirakan krisis yang akan menimpa negara kita untuk menguji gagasannya.   Satu hal yang menurut saya juga penting adalah, buku ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat AS dan dunia – yang selama ini tidak atau kurang mengetahui tentang Indonesia – untuk mengenal Indonesia beserta sejarah singkatnya, karena Jared Diamond adalah penulis terkenal yang memiliki banyak pembaca setia.


Monday, October 20, 2014

Mengislamkan Jawa



Judul          :  Mengislamkan Jawa – Sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang  
Pengarang  :  M.C. Ricklefs
Penerjemah:  F.X. Dono Sunardi dan Satrio Wahono
Penerbit      : Serambi
Tahun         :   2013, November
Tebal          :   872 hal

Mereka yang meninggalkan Indonesia dua puluh hingga tiga puluh tahun yang lalu dan kembali ke Indonesia pada hari-hari ini akan pangling melihat penduduk Indonesia, karena penampilannya telah menjadi kearab-araban, sangat taat menjalankan ritual agama serta berpandangan konservatif. 
Kemana para abangan dan priayi yang dulu merupakan mayoritas penduduk itu? Bagaimana mungkin penduduk Indonesia, Jawa khususnya, begitu mudah ditaklukkan sehingga makin mirip penduduk Timur Tengah hanya dalam waktu tiga puluh tahun?

Mengislamkan Jawa merupakan buku yang sangat menarik karena mencoba menjawab semua pertanyaan itu dengan cukup mendalam.  Dalam buku ini Ricklefs membagi sejarah  Islamisasi Jawa dalam beberapa periode, yaitu: periode sampai dengan tahun 1930-an, periode tahun 1942-1949, periode 1950-1966, dan periode 1966-1980 serta 1980-1998 yang disebutnya Eksperimen Totalitarian I dan II, serta periode 1998 sampai dengan saat ini. Periode tahun-tahun sebelumnya yaitu sejak Islam masuk ke nusantara telah ditulisnya pada dua buku lainnya.

Pada mulanya Islam di Jawa bersifat sintesis mistik, artinya Islam diterima berdampingan dengan kekuatan spiritual Jawa, yang mempercayai Ratu Kidul, Sunan Lawu dan lain-lain.  Sementara itu, meningkatnya kelas menengah pada masa itu meningkatkan jumlah haji, yang membawa pulang faham reformis atau pemurnian Islam. Bagi kalangan bangsawan, hal ini dianggap tidak sesuai bagi orang Jawa, sebagaimana tampak antara lain dari tulisan Mangkunegaran IV dalam Serat Wedhatama, yaitu karena orang Jawa memiliki filsafat dan kebudayaan sendiri.

Sekitar tahun 1880-an masyarakat telah terbagi atas kaum putihan (santri), abangan dan priayi. Perjalanan haji meningkatkan modernisme atau pemurnian Islam, sehingga muncul organisasi-organisasi Islam pada awal abad 20, antara lain Muhammadiyah dan Syarikat Islam (1912). Namun hal ini diimbangi dengan munculnya partai komunis (1924) dan nasionalis (1927), yang pendukungnya merupakan abangan. Sampai dengan tahun 1930-an Islam masih banyak dipengaruhi oleh mistisme.

Periode 1942-1949 terjadi polarisasi karena adanya pemberontakan komunis pada tahun 1948, yang membelah kaum abangan dengan santri.  Selain itu terjadi pemberontakan Darul Islam, yang semuanya menimbulkan pertumpahan darah. Hal ini membuat militer tidak lagi mempercayai baik komunis maupun Islam, sehingga polarisasi dipolitisir.


Periode 1950-1965 terjadi gerakan 30 September 1965, yang berlanjut dengan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap berhaluan komunis. Setelah masa ini maka tidak ada lagi yang menghalangi Islamisasi. Dibubarkannya partai komunis dan stigma negatif terhadap partai nasionalis sebagai dekat dengan komunis mengakhiri politik aliran dan menghilangkan sandaran kaum abangan. 

Ricklefs mencatat bahwa penumpasan komunisme yang disertai dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk satu dari lima agama yang diakui negara, pendirian mesjid-mesjid hingga ke daerah terpencil, ditetapkannya agama sebagai pelajaran wajib di sekolah, dan “pembinaan” agama kepada penduduk desa-desa abangan oleh para santri, yang dilakukan secara intensif sejak Orba berkuasa, serta tidak adanya alternatif lain yaitu partai atau ideologi yang menentangnya, memberi jalan bagi Islamisasi dari bawah, yang mulai berlangsung sejak tahun 1966.  Selanjutnya meskipun pada masa ini terdapat perpindahan ke agama Kristen yang cukup besar sebagai akibat pembantaian terhadap pengikut atau simpatisan PKI atau gerakan kiri oleh ormas Islam dan kepercayaan terhadap kebatinan Jawa masih cukup kuat, termasuk oleh pimpinan tertinggi negara, namun penghancuran PKI, partai nasionalis dan depolitisasi (massa mengambang) mengakibatkan Islamisasi semakin mudah sementara kaum abangan semakin sedikit pengaruhnya karena tidak memiliki institusi yang mendukung.

Setelah adanya rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah pada tahun 1980-an, Islamisasi semakin meluas karena NU bersifat moderat, melebihi Islam modernis. Masyarakat menjadi semakin islami.

Setengah dari buku ini menguraikan Islamisasi sejak tahun 1998 sampai dengan buku ini ditulis (2012) secara rinci. Reformasi pada tahun 1998 membawa banyak kebebasan, termasuk penerapan syariat Islam di beberapa daerah, penerbitan majalah dan buku-buku dakwah yang bersifat ekstrim/fundamentalis, munculnya tokoh-tokoh Islam fundamentalis dalam MUI, dan masyarakat yang semakin konservatif, sehingga agama semakin menentukan kehidupan bernegara. Selanjutnya, karena menjelang keruntuhannya Orba mendukung Islamisasi dan selama sepuluh tahun terakhir pemimpin negara atau pemerintah tidak berani bersikap tegas menghadapi tindakan maupun pendapat kaum konservatif dan Islamisasi yang mereka lakukan dengan dakwah yang semakin intensif ke masyarakat (termasuk ke kampus-kampus sejak tahun 1980-an), maka jadilah masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) semakin Islami dan konservatif. Sebagai akibat dari pemerintah yang semakin tunduk kepada kemauan kaum agama adalah semakin lemahnya kekuatan tawar pihak-pihak yang berusaha mengimbangi kaum konservatif, antara lain Islam yang lebih liberal, sehingga yang mendominasi adalah Islam konservatif ala Timur Tengah.
Jika lima puluh tahun yang lalu orang Jawa merasa bangga dengan kejawaannya (filsafat dan pandangan hidup Jawa, mengikuti ritual agama sekedarnya serta bersifat sangat toleran terhadap agama lain, atau bersikap rasional, seperti penganut Kristen liberal di barat), maka kini sebagian besar dari mereka tidak tahu lagi filsafat Jawa, merasa berdosa jika bersikap sangat rasional, dan merasa malu jika tidak melaksanakan ritual agama secara ketat.

Upaya mengislamkan Jawa telah dimulai beratus tahun yang lalu, namun selama itu selalu terdapat pihak yang cukup kuat untuk mengimbanginya. Pemerintah kolonial, bangsawan keraton dan para priayinya, kemudian kaum nasionalis, sosialis dan komunis menjadi penyeimbang sehingga Islam di Jawa bersifat sinkretis dan toleran. Namun penghancuran partai komunis dan nasionalis serta sistem totalitarian yang menyeragamkan ideologi selama berpuluh tahun dengan membatasi dan mengharamkan kebebasan berpikir (termasuk sensor buku dan pengetahuan secara ketat) kaum mudanya serta menyerahkan pendidikan hanya kepada kaum agama membuat orang Jawa (dan Indonesia) semakin kehilangan kepribadiannya, menjadi semakin mirip dengan muslim Timur Tengah.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup sampai disini? Ataukah orang Jawa akan semakin konservatif lagi di masa depan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar bagi pihak-pihak yang menginginkan berdirinya atau ditegakkannya syariat Islam?  Apakah konsekuensi dari masyarakat yang semakin Islami, semakin buruk atau baikkah?

Ricklefs tidak yakin apakah Islamisasi dapat dihentikan, karena ia telah menginfiltrasi semua bidang kehidupan di Indonesia saat ini selain terus melakukan upaya dari akar rumput. Namun ia mengingatkan, bahwa secara filosofis, suatu negara dalam mencapai tujuannya  terdapat dua pilihan, yaitu berlandaskan kebebasan atau keadilan (yang merupakan alasan agama). Pilihan terakhir besar kemungkinan mengorbankan yang pertama, karena itu perlu berhadi-hati dalam melakukan pilihan.

Telah banyak contoh bahwa negara-negara yang masyarakat atau pemerintahnya terlalu religius bukanlah negara yang ideal. Konservatisme agama pada umumnya diikuti dengan pembatasan kebebasan berpikir dan bertindak, pengaturan yang terlalu jauh atas kehidupan pribadi,  diskriminasi gender, intoleransi dan lainnya. Berdasarkan penelitian, negara-negara yang paling baik perlakuannya terhadap warga negaranya dan maju di segala bidang adalah negara yang bersifat sekuler (lihat review buku Society without God). 

Membaca buku ini semakin meyakinkan kekhawatiran saya selama ini. Saya hanya bisa berharap bahwa demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang  tidak hanya membawa konservatisme agama, namun juga penyeimbangnya, agar kalau pun tidak dapat dibalikkan, paling tidak cukup sampai disini saja.  (Mungkinkah? Di jalan yang baru saya lewati masih ada spanduk bertulisan "Waspadai bangkitnya bahaya laten komunis", meskipun komunisme telah dihancurkan sampai ke akar-akarnya, dan di sekeliling saya adalah rekan-rekan kerja yang seluruhnya telah berkerudung, ada yang baru seminggu yang lalu – dan mendapatkan banyak ucapan selamat dan pujian, ada yang karena terpaksa disebabkan menyesuaikan diri dengan lingkungan…ah…tidak banyak yang sanggup menghadapi tekanan Islamisasi…hanya teman-teman lama yang berkepribadian kuat…)      

 

Wednesday, January 30, 2013

The World Until Yesterday


Judul : The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies?
Pengarang: Jared Diamond
Penerbit: Viking
Tahun : 2012, Desember
Tebal : 498 hal



Sepanjang sejarah manusia yang bermula sejak enam juta tahun lalu, kehidupan modern sebagaimana kita alami saat ini adalah sangat baru, karena selama sebagian besar sejarahnya manusia hidup seperti masyarakat tradisional yaitu sebagai pemburu peramu, atau pemburu peramu yang juga berladang, yang sebagian diantaranya masih dapat kita lihat misalnya pada suku-suku asli di Papua, suku Aborigin di Australia, Yamonamo di Amazon, Inuit di Alaska atau Pygmi dan !Kung di Afrika.

Kehidupan sebagai pemburu peramu dilakukan manusia sampai munculnya pertanian pada 11.000 tahun yang lalu, selanjutnya peralatan metal muncul 7.000 tahun yang lalu, dan tulisan serta negara pada 5.400 tahun yang lalu. Sedangkan bentuk masyarakat bermula dari band (beberapa puluh), suku (beberapa ratus), chiefdom (beberapa ribu), dan negara.

Mengingat kehidupan masyarakat tradisional tersebut bisa dikatakan baru saja terjadi kemarin, maka Jared Diamond mencoba melihat, adakah hal-hal baik dari masyarakat tersebut yang masih bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan modern. Untuk itu ia mengambil terutama dari pengalamannya sendiri selama bertahun-tahun ketika di Papua Barat (Indonesia) maupun Papua New Guinea sebagai ornithologist (peneliti burung) yang bergaul dengan masyarakat asli, selain hasil penelitian para antropolog atas kehidupan 39 suku asli, 10 diantaranya di Papua, 7 di Australia, 6 di Afrika dan 12 di Amerika.

Beberapa aspek kehidupan masyarakat tradisional yang dibahas adalah:

1. Pembagian Wilayah, Perdagangan
Masyarakat tradisional tampaknya jauh berbeda dengan masyarakat modern.. Meskipun demikian, apabila diteliti lebih dalam, sebenarnya terdapat beberapa persamaan dengan masyarakat modern. Sebagai contoh pengarang menguraikan bahwa setiap suku memiliki batas wilayah yang jelas, melakukan perdagangan atau barter dengan beragam motif, dan melakukan tindakan yang tampak irasional, misalnya membeli barang-barang yang hanya berfungsi untuk menunjukkan status sosial, seperti kerang, gading, babi. Bahkan terdapat satu suku yang tidak memiliki cukup sumber daya alam di pulaunya namun dapat hidup makmur karena sepanjang tahun mereka berdagang dari pulau ke pulau sehingga memperoleh keuntungan besar, sehingga tak ubahnya dengan kota dagang modern atau orang modern yang bekerja keras untuk kemudian menunjukkannya statusnya melalui barang-barang yang dimiliki.

2. Perang dan Damai
Masyarakat tradisional memiliki sistem tersendiri untuk menghukum kesalahan seseorang dan meniadakan pembalasan dendam tidak berkesudahan, antara lain karena mereka biasanya akan menetap di tempat yang sama seumur hidup mereka, sehingga harus terdapat rekonsiliasi agar kedua belah pihak dapat tetap hidup berdampingan dengan baik, dan karena peran penegak hukum formal (polisi dan pengadilan) lemah atau tidak ada. Rekonsiliasi ini antara lain berupa pemberian ganti rugi, pertemuan dengan korban yang disertai permintaan maaf dan rasa simpati dari pelaku, serta adanya pihak yang menjembatani proses tersebut. Hal ini berbeda dengan masyarakat modern, dimana kedua belah pihak mungkin tidak saling mengenal dan tinggal berjauhan atau mudah berpindah, sehingga tidak akan bertemu lagi dan pertikaian diselesaikan murni oleh penegak hukum dan pengacara. Menurut pengarang, penerapan sistem tradisional sebagai tambahan sistem hukum formal akan mengurangi beban emosional masing-masing pihak karena dapat menimbulkan saling pengertian diantara keduanya.

3. Perlakuan terhadap Anak-anak dan Orang Tua
Keterbatasan makanan dan keharusan untuk selalu berpindah tempat membuat masyarakat tradisional melakukan pembunuhan bayi secara selektif karena ketidakmampuan memelihara lebih dari satu bayi pada saat bersamaan, selain itu tingkat kematian anak tinggi, dan anak dibiarkan mengeksplorasi alam sekitarnya sampai pada tingkat membahayakan. Namun demikian,  terdapat hal-hal positif dalam cara pengasuhan yang tampaknya membentuk anak-anak tersebut sehingga mereka pada umumnya setelah dewasa menjadi pribadi yang penuh percaya diri, memiliki rasa aman pribadi, rasa ingin tahu dan otonomi, yang memungkinkan mereka mampu menikmati hidup di tengah bahaya dan tantangan sebagai masyarakat tradisional, yaitu: perhatian dan kedekatan fisik terus menerus dengan ibu ketika bayi dan balita, pemberian kebebasan yang cukup besar dalam mengeksplorasi alam sekitarnya, dan perhatian yang besar dari keluarga selain keluarga inti, misalnya para paman, bibi, dan kakek nenek.

Sementara itu dalam perlakuan terhadap orang tua, masyarakat tradisional pada umumnya lebih kejam, antara lain meninggalkannya begitu saja ketika berpindah, atau membunuhnya. Namun terdapat pula masyarakat tradisional yang menghargai orang tua, antara lain karena mereka turut membantu pengasuhan cucu dan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang-orang yang lebih muda.
Sebagaimana kita lihat, pola pengasuhan anak maupun peran orang tua yang terdapat pada masyarakat tradisional yang positif dan ditawarkan oleh pengarang untuk diterapkan ternyata tidak berbeda jauh dengan peran yang dilakukan satu dua generasi lalu di masyarakat kita, bahkan sebagian juga masih dilakukan. Masalahnya adalah, dalam masyarakat modern, tidak mudah melakukannya. Misalnya, keluarga di luar inti telah tersebar di berbagai kota atau jika di satu kota tidak mudah menemukan waktu untuk bertemu, kedua orang tua harus bekerja, sehingga sulit untuk melakukan hal-hal sebagaimana di atas.

4. Sikap terhadap Bahaya
Masyarakat tradisional memiliki sikap terhadap bahaya yang dapat dianggap berlebihan jika diukur dengan standar modern, atau paranoia. Mereka mengukur bahaya tidak saja dari probabilita terjadinya, tapi juga dari frekuensi dalam menghadapi kemungkinan tersebut. Misalnya, kemungkinan tewas karena tertimpa pohon mati adalah kecil, namun karena mereka sering berada di hutan, sedapat mungkin mereka menghindari tidur di bawah pohon mati. Kehidupan masyarakat tradisional penuh bahaya yang dapat berakibat fatal jika kurang berhati-hati, karena itu sikap mereka, yang oleh pengarang disebut paranoia konstruktif, memang diperlukan. Hal ini karena tanpa sengaja melewati wilayah suku tak dikenal – misalnya pada suku Inuit, ketika berburu tiba-tiba dataran es yang dipijak terpecah lalu membawa pemburu ke wilayah suku yang tak dikenalnya – berarti kematian, karena setiap pelanggaran wilayah oleh suku tak dikenal sanksinya adalah kematian. Bagi orang modern, sikap yang sangat berhati-hati ini perlu juga, misalnya dalam hal mengendarai mobil ke tempat kerja setiap hari, agar kita terhindar dari kecelakaan atau hubungan personal yang dapat berakibat fatal.

5. Agama
Semua masyarakat tradisional memiliki mitos penciptaan, seperti halnya agama yang dianut mayoritas masyarakat modern, tetapi dalam aspek lainnya keyakinan mereka berbeda. Mereka tidak terlalu menekankan agen supernatural, penyelamatan, kehidupan sesudah mati, dan tidak berperang atau membunuh untuk membela keyakinannya.
Agama besar, yang muncul sekitar 3.000 sampai 1.400 tahun lalu, sampai saat ini masih bertahan, hal itu berarti agama memiliki fungsi atau manfaat sehingga masih dipertahankan manusia modern.Bagaimana asal mula agama?
Menurut pengarang, agama memiliki 5 atribut, yaitu: kepercayaan kepada agen super natural yang tak dapat dilihat, gerakan sosial sejumlah orang yang berbagi kepercayaan sama, sejumlah pengikut yang melakukan pengorbanan yang berarti (mahal atau penuh penderitaan) untuk menunjukkan komitmennya kepada kelompok, adanya konsekuensi praktis seperti hukum, moral, kewajiban, dan agen supernatural yang selain dapat memberi ganjaran dan hukuman juga dapat mengabulkan doa.

Asal mula agama dapat dilihat dari pendekatan fungsi, yaitu untuk menjaga ketertiban sosial, memberikan ketenteraman dan penghiburan, dan memelihara kepatuhan masyarakat. Pendekatan lainnya dari psikologi evolusioner yaitu agama sebagai by product (produk sampingan) dari kemampuan lain yang dimiliki leluhur manusia, yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya dan karena mendatangkan manfaat kemudian secara bertahap memperoleh fungsi baru.

Sebagai analogi pengarang memberi contoh kemampuan belut berlistrik yang dapat menyetrum mangsanya dengan sengatan 600 volt. Kemampuan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan produk sampingan dari kemampuan mendeteksi medan listrik dan listrik yang dihasilkan ikan, yang dimiliki kebanyakan ikan normal.
Ikan memiliki organ sensitif pendeteksi listrik untuk mengenali mangsa dan untuk navigasi – khususnya di air berlumpur atau malam hari dimana penglihatan tidak berfungsi – karena mangsa memiliki konduktivitas elektrik yang lebih tinggi dari air. Namun terdapat spesies ikan yang memiliki kemampuan ketiga, yaitu dapat menghasilkan medan listrik sendiri bervoltage rendah, yang memungkinkn mereka mendeteksi mangsa lebih aktif karena tidak tergantung besaran listrik yang dihasilkan mangsanya.
Kemampuan ke empat yaitu dapat memberi informasi kepada ikan lain sejenis, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas wilayahnya, dan membunuh mangsa kecil. Kemampuan ini terus berkembang, sehingga dapat menyengat mangsa yang semakin besar sehingga mencapai 600 volt. Ikan bervoltage tinggi juga dapat menggunakannya untuk alat pertahanan diri dari predator, dan berburu mangsa dengan memancing secara elektris, sebagaimana dilakukan para nelayan yang menggunakan listrik dengan baterai atau generator.

Pendapat pengarang pengarang mengenai agama cukup menarik. Ia sependapat denga para evolusionis lain bahwa agama adalah by product dari semakin meningkatnya kemampuan otak manusia dalam mencari penjelasan mengenai sebab segala sesuatu dan membuat perkiraan. Namun agama manusia modern berbeda dari agama masyarakat tradisional, karena menekankan penolakan terhadap dunia, penyelamatan, dan kehidupan sesudah mati.

Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu meningkatnya perbedaan antar kelas ketika masyarakat semakin kompleks, sehingga mereka yang hidup menderita semakin merasakan penderitaannya; kehidupan setelah masyarakat menjadi petani semakin berat; dan penilaian moral menjadi semakin hitam putih dan formal. Semua hal ini membuat agama modern semakin menarik sebagai penenang atau penghibur, karena dalam masyarakat yang kompleks, ketidakadilan, kemiskinan dan kesengsaraan semakin terasa sebagai penderitaan.

Berdasarkan penelitian pada sejumlah negara di dunia, pada negara dengan GDP di bawah $10 ribu, penduduk yang menyatakan bahwa agama adalah bagian penting dari kehidupan harian mereka tercatat 80-99% sedang pada negara dengan GDP di atas 30 ribu hanya 17%-43%, kecuali AS. (hal.354)
Melihat data di atas dan fungsi agama yang bagi banyak orang merupakan pemberi arti paling penting, sementara sains tidak dapat mengatakan bahwa hidup manusia memiliki arti, maka tampaknya agama masih akan bertahan cukup lama. 

6. Bahasa
Saat ini terdapat 7.000 bahasa di dunia, yang sebagian besar diantaranya setiap hari menuju kepunahan, sedangkan di Papua New Guniea sendiri terdapat 1.000 bahasa.
Masyarakat suku asli terlatih menguasai beberapa bahasa, karena setiap suku memiliki bahasa masing-masing. Sebagai contoh, masyarakat asli Papua rata-rata menguasai 5 bahasa yang berlainan, yang dipelajari secara lisan ketika mereka bertemu dengan suku-suku lainnya.  Sementara itu, masyarakat modern, khususnya Amerika cenderung hanya menguasai satu bahasa, dan kurang menyetujui pengajaran lebih dari satu bahasa sejak kanak-kanak dengan alasan akan menghambat penguasaan bahasa utama dengan baik. Perdebatan ini mungkin mirip dengan di Indonesia, dimana sebagian tidak setuju penggunaan bahasa Inggris di sekolah dasar dengan alasan akan mengurangi kemampuan bahasa Indonesia.

Berdasarkan penelitian, kemampuan berbahasa lebih dari satu (bilingual atau multilingual) bermanfaat untuk memberi kemampuan dalam melakukan tugas yang aturannya berubah dengan cepat atau tidak mudah diprediksi. Selain itu, tidak terdapat perbedaan kemampuan dalam berbahasa utama antara mereka yang hanya mempelajari bahasa tersebut dengan yang sekaligus mempelajari dua bahasa sejak kecil.
Manfaat lain dari kemampuan bilingual adalah memperkaya kehidupan seseorang dan memberi identitas budaya, karena setiap bahasa merupakan gambaran budaya asal bahasa tersebut. Hal ini juga yang mendasari pentingnya pelestarian kepunahan ribuan bahasa di dunia saat ini. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, menggunakan dua bahasa sekaligus kepada anak sejak kecil tidak mengurangi kemampuannya berbahasa Indonesia, selama ia juga banyak membaca buku bahasa Indonesia.

7. Makanan
Masyarakat tradisional selalu berada dalam kesulitan makanan atau kelaparan setiap waktu tertentu. Makanan bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan adanya, dan gula serta garam merupakan komoditi yang sulit diperoleh. Namun hal ini menjadikan mereka bebas dari penyakit orang modern seperti diabetes, hipertensi, jantung dan kanker. Sebaliknya mereka rentan terhadap penyakit infeksi. Orang modern dapat belajar dari mereka dengan membatasi makanan yang mengandung garam, gula, terlalu banyak olahan dan banyak melakukan latihan jasmani, meskipun melakukan hal tersebut tidak mudah, karena sebagian besar makanan yang dijual adalah berasal dari produsen atau pabrik yang biasa menambahkan garam atau gula dalam jumlah besar untuk menambah rasa dan menekan harga. 

Buku ini cukup menarik karena memberi pembaca pengetahuan mengenai kehidupan masyarakat tradisional tahap pemburu peramu/ peladang yang masih ada sampai abad 20 dari seluruh belahan dunia secara singkat dan hal-hal apa saja yang masih dapat kita pelajari dan ambil untuk diterapkan dari kehidupan mereka yang keras dan sulit. Mengetahui kehidupan mereka akan membuat pembaca bersyukur hidup sebagai manusia modern sekaligus meneliti kembali cara hidupnya.

Namun demikian tentu saja setiap jenis gaya hidup memiliki plus minusnya. Sabine Kuegler, putri seorang misionaris Jerman yang dibesarkan di tengah suku Fayu di Papua, ketika kembali ke Jerman dan harus hidup sebagai orang modern, dalam memoirnya The Jungle Child: Rinduku pada Rimba Papua menulis, betapa kosongnya hidup orang modern yang harus bekerja terus menerus puluhan jam seminggu sekedar untuk dapat mencukupi hidup dan dapat berlibur selama beberapa minggu dalam setahun, dibandingkan dengan kehidupan masyarakat tradisional yang memiliki kebebasan dan keleluasaan waktu dan kerja serta hubungan yang erat dengan keluarga, tetangga serta alam sekitar. Di sisi lain, masyarakat tradisional berpendapat, betapa jauh lebih mudah hidup orang modern karena jauh dari bahaya yang berasal dari alam dan adanya perawatan kesehatan, sehingga mereka memilih kehidupan menetap dan meninggalkan kehidupan sebagai pemburu peramu/peladang.
Memang, tidak ada kehidupan yang sempurna, kecuali mungkin bagi segelintir orang yang sangat beruntung.

Saran yang disampaikan Diamond dalam bukunya mungkin tidak banyak berbeda dengan yang telah kita ketahui, karena kehidupan tradisional tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan kehidupan satu dua generasi di atas kita di desa atau kota-kota kecil. Masalahnya hanyalah, dengan perubahan kondisi kota-kota dan teknologi yang demikian cepat saat ini, tidak mudah untuk melaksanakan hal-hal tersebut.

Jared Diamond adalah professor geografi di UCLA, penulis buku The Third Chimpanzee (1992), Why Is Sex Fun? (1997, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia), Guns, Germs and Steel yang mendapatkan Pulitzer Prize (1997, diterjemahkan pada Januari 2013), dan Collapse (2005).

Monday, September 17, 2012

The Better Angels of Our Nature



Judul : The Better Angels of Our Nature – Why Violence Has Declined
Pengarang: Steven Pinker
Penerbit: Viking
Tahun : 2011
Tebal : 801 hal




Setiap kali habis membaca sejarah zaman dulu, saya selalu merasa sangat beruntung hidup di abad ke 20 dan 21. Mengapa? Karena kehidupan manusia di masa lalu penuh dengan kekejaman yang tak terperikan untuk ukuran manusia modern.

Pada tahap manusia masih menjadi pemburu peramu, kehidupan penuh kecemasan, karena setiap waktu dapat terjadi penyerangan mendadak secara diam-diam dan balas dendam.
Selanjutnya pada seribu tahun pertama Masehi kehidupan juga tidak lebih baik, karena sewaktu-waktu musuh dapat melakukan penyerangan, dan penjarahan, perbudakan perkosaan serta hukuman dengan penyaliban, mutilasi atau penyiksaan lainnya merupakan hal biasa yang menyertai penyerangan tersebut.

Keadaan ini berlanjut hingga zaman pertengahan. Pada zaman ini kekerasan dan kekejaman mencapai puncaknya, khususnya di Eropa. Selain perang terus menerus antara para ksatria juga terdapat perang agama yang berlangsung selama puluhan tahun tanpa henti, inkuisisi, dan pembakaran terhadap mereka yang dituduh sebagai tukang sihir. Menurut Pinker, zaman pertengahan merupakan zaman dimana seni penyiksaan mencapai puncaknya, dengan diciptakannya berbagai alat penyiksaan yang dapat memperlama dan memaksimalkan tingkat kesakitan para korbannya
Salah satu peninggalan kekejaman itu misalnya tampak pada kitab-kitab suci, yang menggambarkan hukuman dengan pembakaran, mutilasi, berbagai penyiksaan tiada akhir, genosida, dan mentolerir perbudakan. Bagi masyarakat zaman kini, hal-hal tersebut merupakan kekejaman dan tidak patut. Namun dahulu hal itu merupakan hal yang biasa.

Steven Pinker dalam bukunya yang terbaru mencoba menjelaskan hal-hal yang menyebabkan menurunnya kekerasan dalam peradaban manusia hingga sampai pada tahap seperti saat ini, yang bahkan tidak mentolerir kekejaman terhadap binatang, dan mencoba meyakinkan pembaca, bahwa kualitas dan kuantitas kekerasan menunjukkan tren semakin menurun, meskipun pada abad 20 terdapat dua perang dunia, gerakan komunisme, dan terorisme.

Dalam bab pertama, penulis menunjukkan contoh-contoh kekejaman di masa lalu, sejak dari zaman prasejarah, zaman Yunani, Romawi, abad pertengahan hingga awal Eropa modern, dan membandingkannya dengan kondisi abad 20 yang telah sangat jauh berbeda, hingga kehidupan di zaman dulu menurutnya tampak seperti “sebuah negara lain.”

Bab selanjutnya penulis mencoba untuk menemukan asal mula timbulnya kekerasan, baik dari sisi logika maupun sejarah. Dari sisi biologi, kekerasan adalah konsekuensi dari survival of the fittest dan manusia sebaga survival machine, yang dalam usahanya untuk bertahan selalu berusaha menggunakan survival machine lainnya semaksimal mungkin baik dari spesies yang sama maupun berbeda. Hal ini sejalan dengan pendapat Hobbes yang menyatakan bahwa penyebab kekerasan terdiri dari kompetisi - untuk memperoleh milik orang lain, pertahanan, dan kemegahan.

Dari sisi sejarah, yang menentukan tingkat kekerasan adalah bentuk masyarakat. Semakin primitif suatu masyarakat, semakin tinggi tingkat kekerasan, karena tidak ada yang mengendalikan pertikaian di antara individu dan suku. Penulis menunjukkan data, bahwa tingkat kematian pria dewasa pada masyarakat pemburu peramu sebelum ada negara antara 0 - 60%, dengan rata-rata 15%, sedangkan pemburu peramu masa sesudahnya rata-rata 14% dan pemburu peramu yang berkebun, seperti di Amazon dan Papua Nugini 24%. Tingkat kematian menurun setelah negara muncul sebagai penguasa, misalnya pada masyarakat Inca dan Aztec menjadi 5%, Eropa pada masa perang agama 2%, masa dua perang dunia 3%, sedangkan pada empat dekade terakhir abad 20 menjadi kurang dari 1%.

Negara yang muncul mula-mula berupa teokrasi yang terstratifikasi, dan mengendalikan ekonomi dengan kekerasan, sehingga menurunnya kekerasan di antara individu dalam masyarakat menimbulkan masalah baru, yaitu pemimpin despotik yang memiliki kewenangan tanpa batas dan dapat menerapkan hukuman kejam. Mereka terdiri dari tiran, klerik dan kleptokrat. Oleh karena itu diperlukan sistem untuk membatasi kekuasaan mereka, yang baru muncul sekitar dua ratus tahun terakhir.

Bab selanjutnya menguraikan tentang hal-hal yang menyebabkan menurunnya kekerasan. Merujuk pada teori Norbert Elias, penulis berpendapat bahwa Civilizing Process memegang peranan penting sebagai faktor endogenous, sedangkan yang menjadi faktor exogenous adalah konsolidasi unit-unit politik menjadi negara dan revolusi ekonomi dari berbasis tanah dan petani (zero sum game) menjadi ekonomi yang bergeser ke perdagangan dengan penjualan surplus (positive sum game).

Civilizing Process adalah perubahan psikologis dan perilaku dari masyarakat. Elias melihat bahwa masyarakat Eropa abad pertengahan bersifat temperamental: impulsif, kekanakan, tidak beretika, kurang memiliki rasa malu, kejam, dan kotor, yang tampak dari buku-buku serta gambar yang dibuat pada zaman tersebut. Misalnya, para pengrajin berlomba membuat mesin penyiksa yang lebih kejam efeknya, penyiksaan terhadap binatang merupakan hiburan sehari-hari, para ksatria terus menerus melakukan peperangan tidak jelas yang merusak, dan perjalanan merupakan hal yang sangat berbahaya karena banyaknya perampok di jalan. Namun perlahan-lahan semua ini berubah. Mereka mulai mengendalikan perilaku impulsive, mengantisipasi akibat jangka panjang, dan mulai mempertimbangkan pikiran dan perasaan orang lain.
Apa yang menyebabkan terjadinya proses ini?

Penulis mengemukakan tiga hal, yaitu: penurunan kekejaman di kalangan elit, yang kemudian diikuti oleh kelas-kelas di bawahnya, peningkatan kesempatan kerja di pabrik dan perdagangan, dan peningkatan sistem hukum.
Civilizing process berlanjut menuju revolusi kemanusiaan (humanitarian revolution), yang dimulai sejak Abad Akal Budi (The Age of Reason) pada abad 17 ke Abad Pencerahan (The Enlightenment) pada akhir abad 18, dengan lenyapnya hukuman badan dan hukuman mati.

Selama ribuan tahun, sejarah mencatat kekerasan berikut berlangsung di seluruh bagian dunia: pembunuhan karena takhyul – pengorbanan manusia, guna-guna atau sihir, pembunuhan terhadap kaum penghina agama, heretik dan murtad; hukuman mati, perbudakan, kekerasan politik dan pemimpin despot, serta peperangan besar.  Kini semua itu hampir tidak ada lagi. Apa yang menyebabkannya?

Menurut penulis, perang agama di Eropa yang berlangsung selama 30 tahun, adanya kebiasaan untuk mengidentifikasi keadaan pihak lain, dan perubahan moral dari menghargai jiwa menjadi lebih menghargai kehidupan, yang dipengaruhi oleh Abad Akal Budi - yang menekankan bahwa kepercayaan harus didasari oleh pengalaman dan logika, serta mulai berkembangnya sains yang membuktikan bahwa apa yang selama ini dipercaya ternyata dapat salah, membuat manusia menjadi lebih menghargai nyawa sesamanya

Selanjutnya para penulis Pencerahan yang memiliki motif kemanusiaan mendorong dilenyapkannya perbudakan. Sedangkan despotisme dan kekerasan negara diatasi oleh pemisahan tugas yang jelas, positive sum cooperation, dan demokrasi. Akhirnya peperangan besar tidak menarik lagi dan berubah menjadi perdagangan tanpa kekerasan, karena invasi lebih mahal daripada membeli barang dari negara lain.

Berdasarkan hal di atas, maka perdamaian tergantung pada: penyebaran demokrasi, ekspansi perdagangan dan niaga, serta pertumbuhan organisasi internasional.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan revolusi kemanusiaan tersebut?
Menurut Pinker ada tiga hal utama, yaitu:
1. Civilizing Process
Perubahan unit-unit politik menjadi negara dengan kerajaan sebagai pusat kekuasaan baru membuat semua pihak berupaya menampilkan diri dengan sebaik-baiknya, dengan meningkatkan pengendalian diri, kebersihan dan tata krama. Meningkatnya kebersihan dan penampilan orang-orang membuat mereka tampak lebih baik sehingga lebih mudah untuk menghargai mereka. Peningkatan kemakmuran setelah revolusi industri juga membuat orang merasa bahwa kehidupan adalah sesuatu yang baik sehingga patut dihargai, sehingga mereka mulai menilai hidup orang lain lebih tinggi pula

2. Produksi Buku
Dua ratus tahun setelah ditemukannya mesin cetak pada tahun 1492, produksi buku meningkat lebih dari dua puluh kali lipat. Pada akhir abad 18 perpustakaan beredar telah meluas di Inggris dan pada awal abad 19 sebagian besar pria di Eropa Barat dapat membaca. Penulis menyebut hal ini sebagai revolusi membaca, karena bahan bacaan tidak lagi hanya buku-buku agama, tetapi juga bacaan sekuler, termasuk terbitan berkala. Masa ini adalah juga masa dimana penemuan-penemuan berarti di bidang sains dan penjelajahan ke Amerika, Afrika, India dan Asia dimulai, yang hasilnya dipublikasikan dan dibaca oleh masyarakat luas.

3. Meningkatnya Empati dan Perhatian terhadap Hidup Manusia
Sebagai akibat dari kemajuan percetakan, pada pertengahan abad 18, muncul penerbitan novel-novel yang kemudian dibaca dan mempengaruhi masyarakat luas. Masa ini adalah masa kejayaan epistolary novel, yaitu novel yang ditulis dalam bentuk surat, yang menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh utama dari sudut pandangnya sendiri. Kebiasaan membaca novel seperti ini memungkinkan seseorang mampu menempatkan diri dari sudut pandang orang lain, sehingga dapat menimbulkan rasa empati. Dengan empati timbul pemahaman atau pengertian atas perasaan dan kondisi orang-orang lain.

Selain ketiga hal di atas, bangkitnya kota-kota dengan munculnya demokrasi liberal, fIlsafat yang koheren selama Abad Akal Budi dan Pencerahan, dimulai dengan skeptisisme, yang bermula dari sains, dan humanisme pencerahan juga berperan penting untuk mengubah perilaku dan psikologi masyarakat sehingga kekerasan dan kekejaman semakin menurun.

Pertanyaannya, mengapa pencerahan hanya muncul di Barat? Tidak di negara-negara Islam, misalnya? Berdasarkan hal di atas, menurut penulis kemungkinannya adalah karena penguasa Islam tidak segera mengambil teknologi percetakan dan menerbitkan buku-buku di luar bidang agama, yang dapat membangkitkan pemikiran bebas.

Bab selanjutnya mencoba untuk membuktikan bahwa abad 20 bukanlah abad terkejam, meskipun terdapat 70 juta korban perang dunia I dan II serta 60 juta korban rezim totaliter (komunis). Namun dengan membandingkan antara jumlah penduduk pada suatu masa dengan korban perang pada masa tersebut, Pinker menemukan bahwa perang yang memakan korban terbanyak sepanjang sejarah manusia adalah revolusi An Lushan yang terjadi pada abad 8 dengan 36 juta korban, disusul oleh penaklukan Mongol pada abad 13 dengan korban 40 juta orang, dan perdagangan budak Timur Tengah pada abad 7 s.d 19 dengan 19 juta korban. Selain itu, merujuk pada hasil penelitian Richardson, data statistik menunjukkan bahwa waktu perang terjadi secara acak, dan kekuatannya mengikuti power law.
Sementara itu semakin ke masa kini interval perang semakin jarang dan korbannya semakin sedikit, sehingga ia berani menyebutnya sebagai masa perdamaian yang panjang.

Setelah menguraikan sejarah kekerasan dan sebab penurunannya, penulis mencoba melihatnya dari sisi psikologi, yaitu mengapa kekerasan tidak dapat dipisahkah dari manusia. Penulis mencatat ada delapan motif yang membuat kekerasan tidak dapat begitu saja dilenyapkan, antara lain sisi gelap psikologi manusia, balas dendam, sadisme dan ideologi.

Buku ini sangat menarik karena Pinker adalah penulis yang memikat; referensinya luas dan tulisannya mengalir, sangat menyenangkan untuk dibaca. Kedua, argumennya dilengkapi dengan banyak data – ada lebih dari seratus tabel - yang banyak diantaranya merupakan pengetahuan baru bagi pembaca, karena berasal dari banyak sumber. Ketiga, uraian penulis membantu pembaca memahami lebih baik posisinya dalam sejarah dan kondisi dunia saat ini, bahwa baru pada zaman inilah kekerasan dan kekejaman benar-benar jauh berkurang sehingga kita patut bersyukur.

Pinker adalah ilmuwan yang optimis. Ia yakin bahwa pada akhirnya demokrasi liberal akan menyapu seluruh dunia, karena tidak akan ada masyarakat manapun yang mampu menolak teknologi, sains dan perdagangan yang dibawa bersamanya, termasuk masyarakat teokratis seperti negara-negara Timur Tengah. Ia yakin bahwa kaum ekstrim kiri maupun kanan pada akhirnya akan menerima liberalisme dan kapitalisme, termasuk Indonesia, yang menurutnya merupakan salah satu negara Islam yang mengarah pada demokrasi liberal.

Keyakinannya ini belum tentu disukai semua orang. Pembaca beraliran kiri menganggap bahwa kapitalisme adalah ketidakadilan dan kekerasan serta kekejaman bukan saja terjadi dalam bentuk perang tetapi juga kesusahan hidup buruh-buruh dan orang miskin di seluruh dunia. Pembaca beraliran kanan menganggap bahwa liberalisme merupakan ideologi yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan sehingga mereka akan tetap terus berjuang untuk meniadakannya.

Apakah kedua aliran ini akan hilang begitu saja? Ekstrim kiri mungkin kurang menarik lagi karena telah terbukti gagal, namun ekstrim kanan masih menarik. Sebagaimana kita lihat di Afrika, Eropa, Asia Tengah dan Indonesia, mereka tidak menyerah begitu saja. Sebaliknya, teknologi dan demokrasi digunakan untuk menyebarkan aliran ini. Apakah mereka akan berhasil, tergantung pada kekuatan pemerintah masing-masing negara mempertahankan nilai-nilai liberalisme. Bahkan di abad ke 21, liberalisme tetap harus diperjuangkan di banyak bagian dunia, karena jika tidak, ideologi lain yang bersifat totaliter masih mengancam dan menarik banyak pengikut dengan mudah.

Disamping hal-hal di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan. Penulis cenderung terlalu optimis, sehingga tidak memberi tempat untuk membahas hal-hal yang menjadi kelemahan sistem demokrasi di negara berkembang dan terbelakang dan sangat yakin bahwa demokrasi, pasar bebas, liberalisme murni, otomatis akan membawa kebaikan di segala tempat, budaya, tingkat ekonomi dan pendidikan, dan akan menurunkan kekerasan lebih jauh lagi. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar, karena untuk berhasil, sistem tersebut memerlukan beberapa prasyarat, yang tidak selalu dimiliki oleh suatu negara. Kedua, uraian mengenai sejarah kekerasan terlalu panjang sedangkan uraian dari sisi psikologi terlalu sedikit