Tuesday, November 05, 2013

The Bridge on the Drina




Judul : The Bridge on the Drina
Pengarang: Ivo Andric
Penerbit: The University of Chicago Press
Tahun : 1977
Tebal : 314 hal

Wilayah Balkan, yang terdiri dari Bosnia Herzegovina, Kroasia, Serbia, Macedonia, Montenegro, Albania, Hungaria dan Bulgaria terkenal sebagai wilayah yang penuh kekerasan: perang Bosnia baru terjadi sekitar 20 tahun yang lalu, dan pemicu Perang Dunia I terjadi disini. Menurut W.H. McNeill yang menulis pengantar buku ini, The Bridge on the Drina adalah pengantar terbaik untuk mengenal sejarah Bosnia, lebih daripada yang dapat disampaikan oleh uraian sejarah atau antropologi, karena pengarang dapat menggambarkan karakter, budaya dan perubahan sejarah yang terjadi pada bangsa yang mendiami wilayah tersebut, khususnya yang berada di sekitar jembatan Drina.


Berbeda dengan novel pada umumnya, yang menjadi tokoh utama novel ini sebenarnya adalah jembatan Drina, yang didirikan pada tahun 1516. Jembatan Drina berada di kota Visegrad, yang terletak di perbatasan antara Bosnia dan Serbia, dan menjadi saksi kehidupan masyarakat disana sampai dengan awal Perang Dunia I. Kehidupan penduduk disanalah yang dikisahkan dalam novel ini, sejak jembatan mulai didirikan sampai dengan tibanya Perang Dunia Pertama.

Wilayah Balkan khususnya Bosnia berbeda dengan bagian Eropa lainnya karena berbatasan dengan Asia dan antara tahun 1386-1463 ditaklukkan Turki. Sebelum masa tersebut, Bosnia memisahkan diri dari Kerajaan Serbia pada tahun 960, kemudian pada abad kedua belas menjadi Bogomil, yaitu suatu aliran agama yang terkait dengan Manichaeism, sehingga dianggap heretik di mata negara tetangganya yang menganut Kristen Ortodoks atau Latin. Setelah penaklukan Turki, terjadi konversi agama sehingga sebagian besar penduduk Bosnia menganut Islam. Selanjutnya sejak tahun 1500-an Turki merekrut penduduk Bosnia menjadi tentara untuk menyerang wilayah Kristen di utara dan barat. Selain sebagai Janissary, Turki juga merekrut petani-petani Kristen conscript untuk mengisi pekerjaan di rumah tangga sultan ataru pekerjaan manual lainnya. Rekrutan ini dianggap sebagai budak. Namun demikian beberapa orang dapat meningkatkan diri dan menjadi Grand Vizier, yang turut memerintah kerajaan. Salah satunya adalah Muhammad Sokollu (Sokolovic), dan pembangunan jembatan di atas sungai Drina merupakan satu gagasannya agar dikenang di tempat kelahirannya.
Keadaan di Bosnia menjadi rumit sejak terjadinya penaklukan oleh Turki, karena dalam masyarakat terdapat tiga keyakinan berbeda yaitu Islam, Katolik Roma dan Kristen Ortodoks. Islam dapat mendominasi selama Turki atau kesultanan Ottoman berkuasa, namun apabila Turki lemah, kerajaan-kerajaan Kristen tetangganya mendukung pemberontakan penganut Kristen di Bosnia, yaitu dari Rusia (Ortodoks) dan Austria (Katolik).

Pada awal abad 19, kaum Muslim Bosna melakukan pemberontakan terhadap Konstantinopel untuk membela hak-hak istimewanya. Setelah ditindas oleh tentara Turki pada tahun 1850, giiran petani Kristen yang melakukan pemberontakan, dibantu kekuatan Kristen Eropa, sehingga pada Kongres Berlin tahun 1878 Bosnia dan Herzegovina berada di bawah protektorat Austria, dan pada tahun 1908 Austria resmi menduduki kedua wilayah ini. Hal ini mempercepat krisis diplomatik, yang menjadi bagian pembuka Perang Dunia I, dengan terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand di Serajevo, ibukota Bosnia oleh pejuang Bosnia yang ingin wilayahnya menjadi bagian dari Serbia, Setelah tahun 1918 Bosnia akhirnya menjadi bagian dari kerajaan Slavia yang terdiri dari Serbia, Kroasia dan Slovenia. Selanjutnya setelah Perang Dunia II Bosnia menjadi bagian dari Yugoslavia.

Kelebihan dari novel ini dibandingkan uraian sejarah ialah adanya karakter dan kejadian-kejadian yang mampu menunjukkan konflik, pergeseran maupun perasaan ketiga golongan yang hidup bersama di Bosnia: yaitu kaum Muslim, Kristen Ortodoks dan Katolik, selama perubahan sejarah sejak pendudukan Turki, di bawah protektorat Austria-Hongaria, hingga pendudukan Austria secara resmi.

Jembatan Drina

Bagian pertama menggambarkan kondisi masyarakat Bosnia, khususnya kaum ibu yang merasa sedih setiap kali tentara Turki datang untuk mengambil anak-anak dari orang tua mereka guna dididik menjadi tentara Janissary dan penganut Islam. Kesedihan mereka sedikit berkurang setelah beberapa tahun kemudian anak-anak tersebut muncul kembali sebagai tentara kesultanan Ottoman.

Bagian berikutnya mengisahkan pembangunan jembatan Drina, yang melintasi sungai Drina. Pembangunan tersebut mula-mula tidak berjalan lancar, antara lain karena pimpinan proyek yang dikirim oleh Vizier melakukan korupsi, kemudian terdapat penduduk yang menentang pembangunan jembatan tersebut, sehingga pimpinan proyek diganti dan penentang pembangunan dihukum mati dengan siksaan sebagai contoh bagi penentang selanjutnya. Setelah jembatan berdiri, bangunan tersebut menjadi tempat favorit penduduk untuk bersantai, mengadakan janji pertemuan atau melakukan transaksi. Jembatan menjadi pusat berbagai kegiatan, baik untuk markas tentara di kala perang, tempat berjudi atau persinggahan sebelum acara pernikahan. Berbagai peristiwa yang terjadi pada penduduk kota Visagred yang terkait dengan jembatan tersebut dikisahkan oleh pengarang. Misalnya tentang tentara Austria yang terpedaya oleh seorang gadis pejuang Serbia yang melintasi jembatan, kisah seorang laki-laki yang biasa berjudi disana, dan kisah seorang wanita Yahudi yang mati usahanya setelah Austria membangun rel kereta dan jalan baru sehingga jembatan tersebut tidak lagi menjadi jalan utama dan ditinggalkan.

Sedikit dari tokoh sentral dalam novel ini adalah Hodja, yang mewakili karakter masyarakat Turki yang pasif, religius, fanatik, statis dan santai. Hal ini kontras dengan bangsa Austria yang kemudian menduduki wilayah mereka, yang digambarkan selalu aktif, rajin, dinamis dan tidak terlalu religius.. Mungkin hal paling berhasil yang ditunjukkan oleh novel ini adalah penggambaran karakter bangsa Turki yang dianggap mewakili Timur dengan bangsa Austria sebagai bangsa Barat, yang sangat jauh berbeda. Ketika tentara Austria datang, mereka memperbaiki jembatan, membangun jalan, rel kereta api, gedung-gedung. Sementara itu penduduk bangsa Turki masih tetap bersantai setiap sore memandangi sungai dari atas jembatan, mencari nafkah dengan membuka toko kecil atau bertani, serta beribadah dengan rajin, dan merasa heran dengan keaktifan bangsa Austria. Ketika kesultanan Turki akhirnya benar-benar mundur dari wilayah tersebut, mereka merasa kehilangan,sedih dan ditinggalkan begitu saja. Mereka tidak dapat mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sejak pendudukan Austria, yang mengubah wilayah tersebut menjadi semakin terbuka dan komersial, sampai tiba-tiba menyadari bahwa kehidupan semakin sulit karena biaya hidup semakin tinggi sedangan usaha mereka menjadi kuno dan tidak dapat bersaing. Kemudian datanglah perang dunia pertama.

Tidak mengherankan apabila buku ini berhasil menggambarkan karakter masing-masing bangsa yang berdiam di wilayah jembatan Drina, karena penulisnya dibesarkan disana. Ivo Andric tinggal di kota Visegrad, sebelah timur Bosnia dimana terdapat jembatan Drina. Ia berkebangsaan Kroasia-Bosnia namun semasa kecil biasa bergaul dengan penduduk yang berbeda-beda agama maupun bangsanya disana, sebelum melanjutkan pendidikan tingginya di Austria kemudian menjadi Menteri dan diplomat Yugoslavia, dan akhirnya menulis novel ini, yang membuatnya menjadi pemenang Nobel sastra.

Membaca novel ini membuat saya mempelajari sejarah Balkan yang panjang, rumit dan menyedihkan. Buku terbaik dan terlengkap tentang sejarah Balkan (sampai dengan tahun 1947) adalah The Balkans Since 1453 oleh L.S. Stravianos, yang dapat dilengkapi dengan sejarah Turki The Ottoman Empire oleh Lord Kinross, serta kisah perjalanan Rebecca West di Balkan sebelum Perang Dunia II, Black Lamb and Grey Falcon. Mempelajari sejarahnya akan membuat kita mengerti mengapa wilayah tersebut tertinggal dari Eropa lainnya dan penuh konflik berdarah.

Wednesday, July 17, 2013

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya


Judul : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun
            Cahaya
Pengarang: Dewi Kharisma Michellia
Penerbit: GPU
Tahun : 2013, Juni
Tebal : 236 hal

Kisah cinta yang tak sampai selalu menarik untuk ditulis, apalagi jika berakhir dengan kematian tokohnya, karena dapat membangkitkan keharuan pembaca.

Surat Panjang Tentang Jarak Kita…tidak hanya menggambarkan tentang cinta yang tak sampai, namun juga kesepian dan kekerasan hidup yang dialami seorang perempuan setengah baya yang hidup di sebuah kota besar.

Tokoh utama, yaitu aku adalah seorang reporter sebuah media di Jakarta. Suatu hari, ia menerima undangan perkawinan teman masa kecilnya selama bertahun-tahun, seorang laki-laki yang dia cintai dan diharapkan suatu waktu akan mendampingi hidupnya. Namun adanya undangan tersebut menghancurkan harapannya dan membangkitkan kesadarannya akan hidupnya yang sepi, keras dan tampak sia-sia. Untuk mengungkapkan kesedihannya, ia memutuskan untuk menulis surat kepada laki-laki tersebut tentang perasaan dan hal-hal yang selama ini terjadi pada dirinya. Ia selalu menulis surat, hingga beberapa tahun telah lewat, karena pada akhirnya ia tidak pernah mengirimkan surat-surat tersebut. Seseorang akhirnya menemukannya dan mengirimkannya.. Dengan demikian isi novel ini adalah kumpulan surat-surat seorang perempuan yang tidak bahagia.

Membaca novel ini kita akan mendapatkan gambaran tentang kerasnya kehidupan pekerja di Jakarta, dan mungkin juga mengingatkan pada kehidupan sendiri,
“Aku bilang kepadanya hidupku sangat menyedihkan. Hal-hal yang kuurus dalam keseharianku hanyalah hal-hal yang menyangkut kepentingan orang lain…Meski begitu, ada miliaran orang lain di dunia ini yang juga lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, jawab pemilik toko….Kubilang kepadanya betapa aku tak pernah sempat menyiapkan sarapan, walau paling telat pun aku sudah harus bangun pukul lima pagi. Aku tak punya waktu merawat diri…aku hanya mengambil cuti-cuti singkat karena takut disangka tak becus bekerja….Setiap sampai di apartemen - aku ibarat pekerja komuter yang menempuh waktu dua jam untuk pulang dari kantor – tubuhku rasanya remuk. Yang bisa kulakukan hanyalah tidur, atau berbaring-baring dan sekedar menonton televisi. ….Sering kali aku merasa kehilangan kendali atas hidupku sendiri dan kerap membayangkan apa yang dapat kulakukan bila tak terjebak kemacetan….Aku sering membawa pulang pekerjaanku yang tak selesai dan mengerjakannya di apartemen…”

Sementara itu kesedihannya akan kehidupan tanpa cinta digambarkan sebagai berikut,”Akupun ingin memiliki kehidupan seperti orang-orang lain yang sering kutemui di jalan. Mereka tak pernah pergi ke bioskop seorang diri. ……Namun, bagaimana caranya aku memiliki kehidupan seperti itu? Dengan pertama-tama melupakanmu, atau dengan memulainya saja sementara masih mengenangmu?”

Membaca hal-hal di atas mungkin akan mengingatkan pembaca yang senasib akan keadaannya sendiri, entah sebagai pekerja di kota besar atau perempuan pekerja yang tidak beruntung mendapatkan cinta sejati. Meskipun demikian, mungkin tidak banyak orang seperti tokoh dalam novel ini, karena ia tidak mempunyai teman dekat seorang pun kecuali seorang pemilik toko buku, dan tidak memiliki kedekatan dengan satu orang saudara atau kerabat pun – sesuatu yang tidak lazim untuk orang Indonesia. Maka aku dalam novel ini jatuh dalam jurang kesedihan dan keputus-asaan.
Sayangnya penulis mengakhiri hidup sang tokoh dengan penyakit yang sama seperti pada novel-novel atau film drama pada umumnya, padahal tanpa hal itu pun kisahnya sudah cukup dramatis. Selain itu, gambaran bahwa ‘aku’ masih sempat menerjemahkan buku untuk sahabatnya yaitu pemilik toko buku tidak sesuai dengan uraian bahwa ia demikian sibuk dengan pekerjaan kantor dan perjalanan pulang pergi kantor yang melelahkan setiap harinya.

Hubungannya yang jauh dengan keluarga digambarkan pengarang dengan menguraikan latar belakang sang tokoh dari keluarga Bali, yang di dalamnya tersirat kritik terhadap adat Bali yang tidak menghargai perempuan yang tidak dapat melahirkan anak laki-laki, disamping penyesalan akan Indonesia masa kini yang semakin konservatif sehingga tidak lagi dapat memberi toleransi pada perkawinan beda agama, meskipun pada masa lalu hal tersebut cukup umum dan dapat berjalan baik, sebagaimana terjadi dalam keluarga orang tua sang tokoh.

Sementara itu kesendiriannya digambarkan dengan tidak adanya pria yang sungguh-sungguh setia dan mencintainya, meskipun ia telah bersikap sangat baik terhadap mereka, sehingga ia hanya merasakan pengkhianatan.

Sepanjang hidup kita selalu diajarkan untuk bersyukur dan hanya menghitung keberuntungan yang kita dapatkan serta melupakan hal-hal yang tidak dapat kita peroleh, dengan melakukan hal-hal lain untuk mengganti apa yang tidak dapat kita miliki, agar tidak jatuh dalam kekecewaan, depresi atau kesedihan yang dalam. Apakah itu selalu berhasil? Surat Panjang mencoba untuk jujur, tidak hanya menerima dan bersyukur atas apa yang bisa diperoleh, namun juga untuk merasakan kekurangan, kehilangan dan kesedihan karena tidak dapat memperoleh hal-hal yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup, meskipun risiko dari hal tersebut adalah hilangnya kebahagiaan.

Jika ukuran sebuah novel yang baik adalah kejujuran, meskipun hal itu berarti mengakui bahwa hidup kadang tampak seperti hanya sebuah kesia-siaan, kegagalan atau ketidakbahagiaan, maka novel ini memenuhi syarat tersebut. Karena tidak semua orang di dunia ini mendapat keberhasilan atau kebahagiaan, bahkan meskipun seumur hidup ia berusaha keras untuk mencapainya.
Novel ini menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012, sedangkan pemenangnya adalah novel Semusim dan Semusim Lagi..

Thursday, May 30, 2013

The Naked Traveler 3 dan 4



Judul : The Naked Traveler 3 dan 4
Pengarang: Trinity
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun : Mei 2011 dan September 2012
Tebal : 324 dan 260 hal



Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca Naked Traveler 1, namun tidak meneruskan membaca serial lanjutannya maupun blognya. Baru beberapa hari terakhir mencoba membaca kembali buku serial ini ketika sedang malas membaca apapun karena sudah terlalu banyak kesibukan di kantor. Ternyata sangat ringan dan menghibur, seperti mendengar kisah teman lama yang menyenangkan. Mungkin karena umur penulisnya yang tidak jauh berbeda dengan saya sendiri, dan gaya bertuturnya yang mengingatkan pada teman-teman dekat saya.

Berbeda dengan tulisan perjalanan Agustinus Wibowo yang bernada serius – sehingga penulisnya sampai pada kesimpulan: bukan destinasi lagi yang penting, tapi yang lebih penting adalah pengalaman dengan dan pemahaman akan orang-orang yang ditemui selama perjalanan, yang kemudian turut memperkaya dan membentuk sang penulis (traveler) - maka tulisan Trinity lebih banyak berisi kesan-kesan singkat di banyak tempat dan sebagian lagi berisi tips atau panduan praktis melakukan perjalanan, yang dapat diikuti siapa saja yang berminat. Jadi selain mendapatkan cerita tentang keadaan di suatu tempat, pembaca juga mendapatkan panduan cukup rinci bagaimana cara mencapai kesana serta perbandingan antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Dalam buku 4, artikel di dalamnya dibagi atas beberapa bagian, antara lain perjalanan ke wilayah di Indonesia, Afrika, ziarah ke Israel dan Petra, serta beberapa wilayah di Asia, antara lain Cina, Malaysia, Singapura dan Jepang, selain beberapa artikel khusus tentang pantai dan laut.

Yang menarik dari perjalanannya di Indonesia mungkin kisahnya ketika ke Raja Ampat, yang menurutnya sangat indah, sehingga,”…baru kali ini pula saya bisa menitikkan air mata saking kagumnya melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Ya, indahnya alam Indonesia itu bak surga, tapi Raja Ampat itu adalah surga lantai kesembilan!” Meskipun untuk kesana usaha yang dilakukan cukup berat dan pengarang sempat harus naik kapal perintis yang parah kondisinya, sebelum menjelajahi kembali pulau-pulau disana yang lebih terpencil.

Kisah perjalanannya di Namibia ketika diundang kedubes RI juga menarik, karena tentu tidak banyak dari pembaca yang mengenal negeri tersebut. Pengarang merekomendasian Namibia sebagai negara Afrika yang dapat dikunjungi traveler pemula, karena aman dan indah, sedangkan Cape Town, meskipun kotanya sangat indah, tidak aman untuk dikunjungi sendirian atau tanpa ikut rombongan tur.

Sebagai penggemar pantai, salah satu tulisan yang saya sukai adalah artikel mengenai kriteria pantai ideal dan 9 pantai terbaik untuk berenang di Indonesia, yang akan sangat membantu untuk memutuskan pantai mana yang patut dikunjungi. Menurut pengarang, kesembilan pantai itu adalah: pulau Jaam distrik Misool di Raja Ampat, pantai Ngurbloat kepulauan Kei di Maluku, pulau Nda’a di Wakatobi, pantai Ratanggero Sumba Barat, Pink Beach pulau Komodo, pulau Peucang Banten, dan pantai Tanjung Tinggi Belitung. Sedang pantai paling indah yang pernah dikunjungi pengarang adalah Maldives, sehingga ia merasa menyesal pernah kesana, karena pantai itu kemudian menjadi standar untuk membandingkan dengan pantai-pantai lainnya – yang tentu saja tidak ada yang sebanding. Jadi Maldives ternyata benar-benar indah!

Sebagian besar kesan yang ditampilkan dari tempat-tempat yang dikunjungi adalah hal-hal yang menyenangkan, misalnya pemandangan yang indah, pengalaman yang unik dan menarik, sehingga membuat pembaca ingin bepergian ke tempat-tempat tersebut. Beberapa perkecualian adalah kesan tentang Cape Town dan Beijing, dimana pengarang merasa tidak nyaman karena penduduk kota-kota tersebut tidak menyenangkan.

Buku 3 banyak berisi tips dan pengalaman melakukan perjalanan, sedangkan kisah mengenai tempat-tempat yang dikunjungi tidak sebanyak di buku 4. Yang menarik antara lain kesannya ketika berenang di Laut Mati, naik unta ke gunung Sinai, dan beberapa tempat romantis – Taj Mahal, Petra, Venice dan danau Tekapo Selandia Baru - yang membuatnya sedih karena cocoknya dikunjungi bersama pasangan. Sementara itu pengalamannya mengunjungi dan menginap di rumah teman-teman sekolahnya di India membuat kita mengetahui betapa sederhana dan susahnya kehidupan disana.

Sebagai pencinta pulau dan laut, buku Trinity dapat mendorong pembacanya untuk menjelajahi pulau-pulau dan pantai Indonesia yang sangat indah namun ironisnya sebagian besar dikelola oleh orang asing, sehingga orang Indonesia sendiri jika ingin kesana terasa sulit karena hampir semua lokasi terbaik telah dimiliki oleh mereka sehingga menjadi sangat mahal untuk ukuran Indonesia. Kadang saya juga tak habis pikir, apa sih yang dilakukan oleh pemda-pemda kita itu? Mengapa mereka tidak melakukan sesuatu pun untuk membangun wisata di daerahnya dan membiarkan semuanya dikelola oleh asing? Bahkan yang dekat dan mudah dicapai seperti Lombok saja sudah dikuasai asing, apalagi wilayah-wilayah yang lebih jauh dan terpencil. Mungkin juga karena orang Indonesia yang memiliki dana tidak ada yang menyukai laut, pantai dan pulau-pulau indah, sehingga tidak ada yang berminat berinvestasi disana, semuanya hanya menumpuk di kota-kota besar, sedangkan orang Indonesia yang menyukai laut dan pulau pada tidak mempunyai uang…..

Tulisan dalam buku-buku ini memang beraneka ragam, mungkin karena asalnya dari blog. Jadi meskipun dibagi dalam beberapa tema atau bab, tetap terasa keragamannya, terutama di buku 3, dimana selain ada 8 artikel berisi tips melakukan perjalanan, juga ada pendapat penulis tentang berbagai hal, dari menurunnya toleransi beragama hingga nasihat untuk mengikuti minat (follow your passion) agar mendapatkan pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat.

Secara keseluruhan kedua buku ini sangat menyenangkan, sekaligus bikin sirik karena rasanya tidak mungkin punya waktu dan teman untuk melakukan semua perjalanan menyenangkan yang dilakukan pengarang!

Satu Bumi


             Judul : Satu Bumi: Etika dalam Era Globalisasi
             Pengarang: Peter Singer
             Penerjemah: Pranoto Iskandar
             Penerbit: IMR Press
             Tahun : 2012
             Tebal : 197 hal






Globalisasi menuntut suatu etika baru, karena kita hidup di satu bumi. Artinya, setiap tindakan seseorang di suatu tempat secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan orang lainnya di tempat lain. Oleh karena itu penduduk atau negara kaya tidak dapat mengabaikan begitu saja kondisi penduduk atau negara-negara termiskin, apabila tindakan mereka dapat menyebabkan kehidupn penduduk negara-negara termiskin semakin sengsara. Tidak saja hal ini merupakan sesuatu yang tidak patut, namun akibat yang ditimbulkan dari buruknya kondisi mereka dapat membahayakan kehidupan mereka yang berada di negara-negara yang lebih maju, dalam bentuk kejahatan, terorisme dan sejenisnya.

Penulis mengemukakan bahwa terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan oleh semua pihak, khususnya penduduk dan negara kaya, yaitu:
a. Satu atmosfer: perlunya negara dan masyarakat kaya mempertimbangkan akibat konsumsi mereka terhadap kerusakan bumi yang dapat menghancurkan iklim maupun ekosistem, yang akibatnya terutama akan dirasakan oleh rakyat negara-negara termiskin dalam bentuk perubahan cuaca, yang dapat berupa kegagalan panen, banjir, longsor, dan lenyapnya wilayah karena meningkatnya permukaan air laut.

b. Satu ekonomi: globalisasi hendaknya tidak saja menguntungkan rakyat atau negara-negara kaya, tetapi juga meningkatkan kesempatan dan kesejahteraan rakyat dan negara-negara miskin. Rakyat negara kaya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat negara-negara termiskin dengan pengorbanan kecil saja, misalnya menyumbangkan beberapa dollar yang kurang berarti nilainya bagi mereka namun sangat berarti bagi mereka yang berada dalam kemiskinan absolut.

c. Satu hukum: kejahatan kemanusiaan seperti genosida, yang dilakukan oleh suatu negara seharusnya dapat diadili oleh pengadilan internasional. Namun masih terdapat beberapa kendala untuk pelaksanaan hal ini.

d. Satu komunitas: penduduk negara kaya hendaknya tidak hanya memikirkan bangsa atau negaranya sendiri, karena pemberian bantuan kepada mereka yang berada jauh di bawah garis kemiskinan – misalnya penduduk negara miskin di Afrika – jauh lebih berarti nilainya dibandingkan dengan memberi bantuan kepada penduduk miskin di negara maju, yang bagaimanapun lebih baik kondisinya dari mereka yang berada di negara miskin. Apabila setiap penduduk negara kaya bersedia mengorbankan sedikit saja sejumlah uang yang bagi mereka tidak berarti untuk membantu penduduk negara-negara termiskin, maka kemiskinan akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan lebih cepat. Hal ini tidak mudah, karena manusia cenderung lebih suka membantu atau mementingkan pihak-pihak yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga, tetangga, teman dekat, sesuku, sebangsa, satu ras, dari pada pihak yang kurang dikenal atau jauh letaknya.

Sebenarnya isi buku ini cukup bagus, meskipun terutama ditujukan untuk masyarakat AS, hampir sejenis dengan Hot, Flat and Crowded.. Namun apabila yang pertama terjemahannya terasa mengalir, terjemahan Satu Bumi sangat kaku, sehingga rasanya lebih baik membaca aslinya. Tampaknya hal ini karena tidak ada editor yang menyunting terjemahan tersebut, karena penerbit demikian percaya dengan penerjemah, yang dianggap ilmuwan yang sangat menguasai topik buku maupun bahasa Inggris, sehingga dianggap bahasa Indonesianya juga bagus.

Sebagai contoh,terdapat kalimat,”Ia menemukan bila ketika sebuah negara miskin dengan manajemen yang baik diberikan bantuan yang setara dengan1 persen dari PNBnya, kemiskinan dan kematian anak turun sampai 1 persen.” Mengapa tidak menggunakan kata bahwa untuk bila, sehingga kalimat tersebut akan menjadi,”Ia menemukan bahwa ketika sebuah negara miskin dengan manajemen yang baik diberikan bantuan yang setara dengan1 persen dari PNBnya, kemiskinan dan kematian anak turun sampai 1 persen.” Bukankah kalimat terakhir lebih jelas? Namun tidak ada satu pun kalimat yang menggunakan kata bahwa, karena semua telah diganti dengan kata bila. Itu baru satu contoh.

Terdapat kalimat lainnya yang seharusnya menggunakan kata anda, menggunakan kata kamu, sehingga terkesan kasar. Selain itu terdapat kalimat yang seharusnya pasif menjadi aktif, misalnya:
”Maka dari itu kita bisa mengusulkan,…..bila tiap orang yang memiliki cukup uang untuk menghabiskan bagi berbagai kemewahan dan kekonyolan yang begitu umum di masyarakat yang berkecukupan wajib untuk memberikan setidaknya 1 sen….bagi orang yang memiliki kesulitan untuk bisa makan…”
Akan lebih tepat kiranya jika kalimat tersebut berbunyi,
”Oleh karena itu kita bisa mengusulkan,…..bahwa tiap orang yang memiliki cukup uang untuk dihabiskan bagi berbagai kemewahan dan kekonyolan yang lazim pada masyarakat yang berkecukupan, wajib memberikan setidaknya 1 sen….bagi orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan makannya.”

Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang tidak tepat seperti di atas, sehingga sangat mengganggu dan membuat saya seperti mendapat pekerjaan mengedit sebuah buku, dan menegaskan kembali kekhawatiran saya setiap menghadapi buku terjemahan: jangan-jangan malah lebih sulit dimengerti dari aslinya, atau malah menjadi buku yang tidak menarik sama sekali (jika fiksi)?

The Righteous Mind



Judul : The Righteous Mind - Why Good People are Divided by Religion and Politics
Pengarang: Jonathan Haidt
Penerbit: Pantheon Books, NY
Tahun : 2012
Tebal : 419 hal


Perbedaan pandangan dalam hal agama dan politik membuat berbagai pihak dalam suatu bangsa sulit untuk mencapai titik temu atau kesepakatan dalam pembuatan kebijakan maupun keputusan penting, sedangkan hal tersebut diperlukan untuk mengatasi masalah bersama. Perbedaan tersebut seringkali karena standar moralitas yang digunakan masing-masing pihak berbeda. Untuk itu, psikolog moral Jonathan Haidt berusaha menelusuri asal mula moralitas dan bagaimana cara bekerjanya.

Menurut penulis, berdasarkan pendekatan psikologi moral, moralitas tidak berasal dari alam (nature) atau nurture (pelajaran), namun dari banyak dan besarnya peran yang pernah dilakukan oleh individu sejak dari kecil dalam berbagai kegiatan bersama dengan orang lain, dimana mereka mempelajari penegakan aturan, penyelesaian perbedaan pendapat, keadilan, dan lainnya. Pengalaman ini akan banyak diperoleh bila kondisi masyarakat bersifat egaliter, sebaliknya dalam lingkungan yang bersifat hirarkis, otoriter dan tradisional, peran individu semakin kecil, sehingga kurang mendukung nilai moralitas yang berdasarkan penghargaan terhadap hak individu dan keadilan (fairness). Hal ini pula yang mengakibatkan perbedaan antara moralitas Barat yang bersifat individualistic atau menempatkan individu sebagai pusat, dan Timur, yang bersifat sociocentric atau mengutamakan kepentingan kelompok. Itu pula sebabnya pada yang terakhir moralitas bisa mencakup hal yang lebih luas dari sekedar keadilan dan perlindungan individu.

Penulis menerangkan bahwa pertimbangan moral adalah proses kognitif,yang terdiri dari intuisi dan penggunaan akal budi. Ia mengibaratkan hal tersebut sebagai gajah dan penunggang. Gajah mengambil keputusan berdasarkan emosi, intuisi dan persepsi secara otomatis. Penunggang adalah akal budi, yang muncul belakangan dalam evolusi, dengan mengendalikan proses tersebut, karena dapat melihat ke depan, mempelajari hal baru, dan bertindak sebagai juru bicara. Tidak mudah mengalahkan intuisi, karena manusia lebih terbiasa dengannya. Bahkan seringkali akal budi digunakan untuk membela pendapat yang diperoleh berdasarkan intuisi. Oleh karena itu kita tidak dapat mengubah pandangan seseorang dengan penjelasan yang bersifat rasional belaka, melainkan dengan cara mengubah jalan atau lingkungan yang dilalui oleh gajah tersebut.

Selanjutnya penulis menjelaskan perbedaan antara moralitas kaum liberal dengan konservatif. Liberal menekankan pada otonomi individu, yaitu tiadanya penindasan, pelukaan atau penipuan, sedangkan pada masyarakat lainnya lebih luas, karena meliputi otonomi, komunitas dan divinity.

Teori landasan moral menyatakan bahwa terdapat enam sistem psikologi yang membentuk landasan moral matriks dunia. Politik kiri cenderung kepada care/harm dan kebebasan/penindasan (liberty/oppression). Landasan ini mendukung keadilan sosial yang menekankan perhatian kepada kaum miskin dan kesamaan politis diantara sub kelompok. Selanjutnya adalah landasan keadilan/kecurangan (fairness/cheating), kesetiaan/pengkhianatan (loyalty/betrayal), otoritas/subversi (authority/subversion) dan sanctity/degradation.

Berdasarkan penelitian, nilai-nilai care/harm dan liberty/oppresion adalah inti dari moralitas kaum liberal. Sedangkan nilai yang dijunjung kaum konservatif lebih luas, meliputi keenam nilai. Sebagai contoh, bagi konservatif, loyalty/betrayal memiliki arti yang cukup tinggi dibandingkan care/harm, sementara bagi liberal, nilai tersebut kurang penting. Oleh karena itu, untuk menjembatani perbedaan pandangan tersebut, liberal perlu memperhatikan hal-hal yang menjadi pertimbangan konservatif.

Buku ini memberikan penjelasan menarik tentang bagaimana moralitas dibangun dan faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan masing-masing golongan yang berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa untuk menjembatani perbedaan tersebut masing-masing pihak perlu mempelajari dasar nilai-nilai yang dijunjung pihak lain agar dapat memahami pertimbangan pihak lainnya. Pengalaman berada dalam lingkungan atau masyarakat yang berbeda akan sangat membantu. Oleh karena itu pluralitas merupakan hal yang perlu agar hal tersebut dapat tercapai.

Bagi Indonesia, yang lebih bersifat sociocentric, berdasarkan penjelasan Haidt maka nilai-nilai liberal perlu lebih ditegakkan, karena individu masih kurang mendapatkan perlindungan.

Wednesday, March 27, 2013

Silk



Judul : Silk
Pengarang: Alessandro Baricco
Penerjemah: Guido Waldman
Penerbit: Vintage
Tahun : 1998
Tebal : 91 hal



Membaca Silk adalah seperti membaca cerita rakyat, karena dikisahkan dengan ringkas dan bahasa yang sederhana. Namun di dalamnya terdapat sejarah, kisah cinta, sensualitas yang halus, dan perasaan manusia yang bisa terjadi pada siapa saja.

Silk mengisahkan kehidupan Herve Joncour, seorang pedagang ulat sutera di sebuah kota kecil di Prancis pada tahun 1861, sampai kematiannya berpuluh tahun kemudian. ”..He was one of those men who like to be observers at their own lives….It will have been noted that such people observe their destiny much as most people tend to observe a rainy day,” demikian pengarang menggambarkan tokohnya di awal buku.

Setiap tahun Joncour membeli telur-telur ulat sutera, menetaskannya pada setiap awal bulan Mei dan menunggunya hingga terbentuk kepompong dan benang sutera dua minggu sesudahnya, kemudian menjualnya.

Ketika terjadi epidemik di Eropa, Joncour bepergian hingga ke Afrika Utara untuk membeli telur ulat sutera. Namun suatu hari, hampir seluruh dunia terkena epidemik kecuali Jepang. Maka sesuai saran Baldabiou, sang ahli ulat sutera, yaitu orang yang pertama mengajarkan usaha tersebut di kotanya, Joncour pergi ke Jepang untuk membeli ulat sutera dari seorang laki-laki berada bernama Hara Kei di Shirakawa. Suatu perjalanan yang sangat jauh di zaman tersebut, oleh karena itu biayanya ditanggung oleh banyak orang di kotanya.

Ketika bersama Hara Kei, Joncour melihat seorang gadis di sampingnya. Kelak, gadis tersebut menyampaikan sebuah kertas kecil bertulisan aksara Jepang kepadanya. Joncour menyimpan kertas tersebut dan membawanya pulang.

Setelah tiba kembali di Prancis, Joncour mencoba mencari orang yang bisa menerjemahkan tulisan tersebut. Ia menemui wanita Jepang bernama Madame Blanche. Tulisan tersebut, dan pertemuan pertamanya di Jepang, membuatnya terobsesi akan si gadis.

Joncour beberapa kali ke Jepang. Pada kepergiannya yang terakhir, perang telah terjadi di Jepang, dan orang-orang tidak menyarankannya pergi. Namun Joncour tetap pergi. Ia teringat akan si gadis. Ia melupakan bahaya perang, kerugian biaya apabila perjalanannya sia-sia… Ada seseorang yang seolah memanggilnya.
Apakah yang terjadi pada perjalanannya yang terakhir? Ia pulang tanpa membawa telur ulat sutera.

Joncour memiliki seorang istri yang baik bernama Helene dan tampaknya bahagia. Namun perjalanannya yang terakhir membuatnya berubah, meskipun ia tetap baik kepada Helene.

Ada kesedihan yang mempengaruhi hatinya. Helene bertanya kepada Baldabiou. Kepada Baldabiou, Joncour berkata,

“I never even heard her voice.
It is a strange sort of pain.
To die of yearning for something you’ll never experience.”

Meskipun demikian, pada akhirnya Joncour tampak dapat melupakan kesedihannya dan menjalani kehidupan selanjutnya seperti biasa. setelah menerima sebuah surat bertulisan Jepang. Namun pembaca baru mengetahui keseluruhan cerita sebenarnya pada akhir buku.

Novel ini seperti sebuah puisi.. Saya pernah berpikir, mungkinkah seorang lelaki terobsesi demikian dalam akan seseorang yang sekilas saja ditemuinya, sehingga ia akan kembali ke tempat yang sama untuk seseorang tersebut, walau demikian jauh? Alessandro menjawabnya dalam novel ini. Dan betapa benarnya kata-kata Joncour kepada Baldabiaou,” It is a strange sort of pain…” Dengan kalimat ini pengarang menggambarkan perasaan dan hati manusia, yang seringkali tidak tahu apa yang diinginkannya atau yang membuatnya merasa kosong, yang selama itu tidak ia sadari, sampai sesuatu terjadi dan membuatnya berada dalam kesedihan yang dalam. Dengan novel ini pengarang melukiskan, betapa kesedihan dapat datang begitu saja hampir tanpa alasan cukup…

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1996 dan telah diterjemahkan dalam 27 bahasa.

Sunday, March 17, 2013

Titik Nol



Judul : Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan
Pengarang: Agustinus Wibowo
Penerbit: GPU
Tahun : 2013
Tebal : 552 hal



Setelah menjelajah hingga Afghanistan dan Asia Tengah serta menulis dua buku perjalanan, barulah Agustinus justru menulis kisah perjalananya yang pertama. Namun karena perjalanannya yang pertama ditulis bertahun-tahun sesudahnya, dan setelah perjalanan lebih jauh, maka bukunya yang terakhir menjadi bersifat lebih pribadi dan mulai berbicara tentang makna perjalanan itu sendiri. Destinasi tidak lagi merupakan sesuatu yang penting, tulis Lam Li – yang pernah menjadi teman seperjalanannya - , dalam pengantar buku, tetapi seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan..

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, dalam buku ini terdapat kisah ibu pengarang selama menderita sakit hingga meninggal, berseling dengan cerita perjalanan ke Mongolia, Nepal, Tibet, India, Pakistan dan Afghanistan. Kisah ibu Agustinus membuat pembaca lebih mengenal latar belakang kehidupan pengarang sekaligus membuat depresi, karena saya membaca tulisan mengenai ibunya dahulu sampai habis – yang penderitaannya diceritakan demikian rinci - baru kemudian membaca kisah perjalanannya. Ibunya, meskipun kurang berpendidikan, gigih bekerja keras menjual telur di tokonya tanpa pernah berlibur agar dapat menyekolahkan Agustinus ke sekolah yang baik di negeri Cina.

Titik Nol sebenarnya adalah perjalanan awal pengarang, yaitu sebelum ia ke Afghanistan dan Asia Tengah, namun ditulis belakangan karena ia ingin mengambil jarak dengan peristiwa saat itu, yang bersifat pribadi. Disini dapat kita temukan mengapa ia melakukan perjalanan,dan tidak mencari kerja untuk hidup mapan atau meneruskan sekolah setelah lulus kuliah di Beijing, ”Apa artinya hidup kita yang semua mengikuti pola yang sama: lahir-lalu-kerja-cari-uang-sampai-mati?...Aku mau menulis tentang kisah hidup manusia yang sering dilupakan, kisah hidup di tempat terpencil, kisah tentang kemanusiaan! Aku mau keliling dunia!” Ia merencanakan untuk ke Afrika Selatan dengan jalan darat dari Beijing, melintasi Asia, Timur Tengah, Afrika Timur.

Sebagaimana biasa, perjalanannya dikisahkan dengan cukup menarik. Pembaca mendapat gambaran tentang Tibet yang telah menjadi sangat komersial seperti kota-kota Cina lainnya, Nepal yang telah menjadi daerah wisata obralan, India yang masih belum dapat menghilangkan kemiskinan, sifat curang, dan perilaku tidak sopan para prianya, Pakistan yang penduduknya dalam membahas masalah apapun selalu dikaitkan dengan agama. Selain bersifat lebih sentimental karena ada riwayat pribadi, ada pula sebagian kisah perjalanan dikisahkan dengan nada humor.

Membaca pengalaman pengarang di Tibet dan Nepal, yang wilayahnya sudah diobral untuk turisme mengingatkan pembaca bahwa sebaiknya Indonesia tidak perlu terlalu giat menjual semua obyek wisatanya, karena turisme massal dapat bersifat sangat destruktif dan hanya dapat ditanggung oleh beberapa wilayah saja.

Sementara itu membaca pengalamannya di India, pembaca yang pernah kesana tentu akan menyetujui bahwa kejujuran sangatlah susah dicari dalam transaksi di tempat-tempat umum dan kemiskinan serta kesederhanaan sangatlah terasa.

Pengalaman pengarang di Pakistan hampir seperti di Afghanistan: tidak ada perempuan di tempat umum, dan jika mereka keluar rumah harus tertutup rapat dari kepala sampai kaki. Memang, dalam bahasa Urdu, kata perempuan berarti aurat, sesuatu yang memalukan. Tidak heran jika seluruh tubuh perempuan, bahkan matanya sekalipun, harus ditutup. Anehnya, para perempuan disana tidak ada yang merasa terhina disamakan dengan sesuatu yang memalukan dan harus ditutup rapat seluruhnya. Mereka justru merasa beruntung tidak perlu bekerja atau ke luar rumah karena kehidupannya dijamin oleh suami atau kerabat laki-laki, meskipun tidak boleh ke luar dari rumah dan jika terpaksa keluar rumah dan berada di tempat umum harus menutup seluruh tubuh dan wajah, karena jika tidak, akan dianggap rendah oleh laki-laki yang bagi mereka merupakan makhluk menakutkan. Kehidupan yang menyedihkan sebenarnya, namun tidak mereka sadari karena mereka tidak pernah melihat kehidupan lain yang dapat dijalani perempuan di belahan dunia lainnya, sehingga mereka malah bersyukur. Sementara itu, akibat pengekangan dan pemisahan gender yang berlebihan, para prianya terobsesi akan seks.

Setelah sampai di Afghanistan, pengarang kembali ke tanah air karena ibunya meninggal. Kembali ke rumah, pulang. Kembali ke titik nol. Pengarang menutup buku ini dengan tulisan untuk ibunya yang telah tiada.

Setelah menyatakan bahwa destinasi tidak lagi sesuatu yang penting, kita tidak tahu apakah pengarang masih akan meneruskan perjalanannya hingga ke Afrika Selatan, atau ke tempat-tempat lain dan menulis kisah perjalanannya. Namun kisah-kisahnya selama ini telah membuat kita lebih memahami kondisi dan pikiran rakyat di berbagai belahan dunia yang kondisinya lebih buruk atau lebih miskin dari Indonesia, wilayah-wilayah yang tidak ingin atau tidak mungkin kita kunjungi karena kondisinya yang sulit atau tidak menyenangkan. Dengan buku-bukunya, Agustinus telah menghubungkan kita dengan rakyat negara-negara tersebut.

Wednesday, January 30, 2013

The World Until Yesterday


Judul : The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies?
Pengarang: Jared Diamond
Penerbit: Viking
Tahun : 2012, Desember
Tebal : 498 hal



Sepanjang sejarah manusia yang bermula sejak enam juta tahun lalu, kehidupan modern sebagaimana kita alami saat ini adalah sangat baru, karena selama sebagian besar sejarahnya manusia hidup seperti masyarakat tradisional yaitu sebagai pemburu peramu, atau pemburu peramu yang juga berladang, yang sebagian diantaranya masih dapat kita lihat misalnya pada suku-suku asli di Papua, suku Aborigin di Australia, Yamonamo di Amazon, Inuit di Alaska atau Pygmi dan !Kung di Afrika.

Kehidupan sebagai pemburu peramu dilakukan manusia sampai munculnya pertanian pada 11.000 tahun yang lalu, selanjutnya peralatan metal muncul 7.000 tahun yang lalu, dan tulisan serta negara pada 5.400 tahun yang lalu. Sedangkan bentuk masyarakat bermula dari band (beberapa puluh), suku (beberapa ratus), chiefdom (beberapa ribu), dan negara.

Mengingat kehidupan masyarakat tradisional tersebut bisa dikatakan baru saja terjadi kemarin, maka Jared Diamond mencoba melihat, adakah hal-hal baik dari masyarakat tersebut yang masih bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan modern. Untuk itu ia mengambil terutama dari pengalamannya sendiri selama bertahun-tahun ketika di Papua Barat (Indonesia) maupun Papua New Guinea sebagai ornithologist (peneliti burung) yang bergaul dengan masyarakat asli, selain hasil penelitian para antropolog atas kehidupan 39 suku asli, 10 diantaranya di Papua, 7 di Australia, 6 di Afrika dan 12 di Amerika.

Beberapa aspek kehidupan masyarakat tradisional yang dibahas adalah:

1. Pembagian Wilayah, Perdagangan
Masyarakat tradisional tampaknya jauh berbeda dengan masyarakat modern.. Meskipun demikian, apabila diteliti lebih dalam, sebenarnya terdapat beberapa persamaan dengan masyarakat modern. Sebagai contoh pengarang menguraikan bahwa setiap suku memiliki batas wilayah yang jelas, melakukan perdagangan atau barter dengan beragam motif, dan melakukan tindakan yang tampak irasional, misalnya membeli barang-barang yang hanya berfungsi untuk menunjukkan status sosial, seperti kerang, gading, babi. Bahkan terdapat satu suku yang tidak memiliki cukup sumber daya alam di pulaunya namun dapat hidup makmur karena sepanjang tahun mereka berdagang dari pulau ke pulau sehingga memperoleh keuntungan besar, sehingga tak ubahnya dengan kota dagang modern atau orang modern yang bekerja keras untuk kemudian menunjukkannya statusnya melalui barang-barang yang dimiliki.

2. Perang dan Damai
Masyarakat tradisional memiliki sistem tersendiri untuk menghukum kesalahan seseorang dan meniadakan pembalasan dendam tidak berkesudahan, antara lain karena mereka biasanya akan menetap di tempat yang sama seumur hidup mereka, sehingga harus terdapat rekonsiliasi agar kedua belah pihak dapat tetap hidup berdampingan dengan baik, dan karena peran penegak hukum formal (polisi dan pengadilan) lemah atau tidak ada. Rekonsiliasi ini antara lain berupa pemberian ganti rugi, pertemuan dengan korban yang disertai permintaan maaf dan rasa simpati dari pelaku, serta adanya pihak yang menjembatani proses tersebut. Hal ini berbeda dengan masyarakat modern, dimana kedua belah pihak mungkin tidak saling mengenal dan tinggal berjauhan atau mudah berpindah, sehingga tidak akan bertemu lagi dan pertikaian diselesaikan murni oleh penegak hukum dan pengacara. Menurut pengarang, penerapan sistem tradisional sebagai tambahan sistem hukum formal akan mengurangi beban emosional masing-masing pihak karena dapat menimbulkan saling pengertian diantara keduanya.

3. Perlakuan terhadap Anak-anak dan Orang Tua
Keterbatasan makanan dan keharusan untuk selalu berpindah tempat membuat masyarakat tradisional melakukan pembunuhan bayi secara selektif karena ketidakmampuan memelihara lebih dari satu bayi pada saat bersamaan, selain itu tingkat kematian anak tinggi, dan anak dibiarkan mengeksplorasi alam sekitarnya sampai pada tingkat membahayakan. Namun demikian,  terdapat hal-hal positif dalam cara pengasuhan yang tampaknya membentuk anak-anak tersebut sehingga mereka pada umumnya setelah dewasa menjadi pribadi yang penuh percaya diri, memiliki rasa aman pribadi, rasa ingin tahu dan otonomi, yang memungkinkan mereka mampu menikmati hidup di tengah bahaya dan tantangan sebagai masyarakat tradisional, yaitu: perhatian dan kedekatan fisik terus menerus dengan ibu ketika bayi dan balita, pemberian kebebasan yang cukup besar dalam mengeksplorasi alam sekitarnya, dan perhatian yang besar dari keluarga selain keluarga inti, misalnya para paman, bibi, dan kakek nenek.

Sementara itu dalam perlakuan terhadap orang tua, masyarakat tradisional pada umumnya lebih kejam, antara lain meninggalkannya begitu saja ketika berpindah, atau membunuhnya. Namun terdapat pula masyarakat tradisional yang menghargai orang tua, antara lain karena mereka turut membantu pengasuhan cucu dan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang-orang yang lebih muda.
Sebagaimana kita lihat, pola pengasuhan anak maupun peran orang tua yang terdapat pada masyarakat tradisional yang positif dan ditawarkan oleh pengarang untuk diterapkan ternyata tidak berbeda jauh dengan peran yang dilakukan satu dua generasi lalu di masyarakat kita, bahkan sebagian juga masih dilakukan. Masalahnya adalah, dalam masyarakat modern, tidak mudah melakukannya. Misalnya, keluarga di luar inti telah tersebar di berbagai kota atau jika di satu kota tidak mudah menemukan waktu untuk bertemu, kedua orang tua harus bekerja, sehingga sulit untuk melakukan hal-hal sebagaimana di atas.

4. Sikap terhadap Bahaya
Masyarakat tradisional memiliki sikap terhadap bahaya yang dapat dianggap berlebihan jika diukur dengan standar modern, atau paranoia. Mereka mengukur bahaya tidak saja dari probabilita terjadinya, tapi juga dari frekuensi dalam menghadapi kemungkinan tersebut. Misalnya, kemungkinan tewas karena tertimpa pohon mati adalah kecil, namun karena mereka sering berada di hutan, sedapat mungkin mereka menghindari tidur di bawah pohon mati. Kehidupan masyarakat tradisional penuh bahaya yang dapat berakibat fatal jika kurang berhati-hati, karena itu sikap mereka, yang oleh pengarang disebut paranoia konstruktif, memang diperlukan. Hal ini karena tanpa sengaja melewati wilayah suku tak dikenal – misalnya pada suku Inuit, ketika berburu tiba-tiba dataran es yang dipijak terpecah lalu membawa pemburu ke wilayah suku yang tak dikenalnya – berarti kematian, karena setiap pelanggaran wilayah oleh suku tak dikenal sanksinya adalah kematian. Bagi orang modern, sikap yang sangat berhati-hati ini perlu juga, misalnya dalam hal mengendarai mobil ke tempat kerja setiap hari, agar kita terhindar dari kecelakaan atau hubungan personal yang dapat berakibat fatal.

5. Agama
Semua masyarakat tradisional memiliki mitos penciptaan, seperti halnya agama yang dianut mayoritas masyarakat modern, tetapi dalam aspek lainnya keyakinan mereka berbeda. Mereka tidak terlalu menekankan agen supernatural, penyelamatan, kehidupan sesudah mati, dan tidak berperang atau membunuh untuk membela keyakinannya.
Agama besar, yang muncul sekitar 3.000 sampai 1.400 tahun lalu, sampai saat ini masih bertahan, hal itu berarti agama memiliki fungsi atau manfaat sehingga masih dipertahankan manusia modern.Bagaimana asal mula agama?
Menurut pengarang, agama memiliki 5 atribut, yaitu: kepercayaan kepada agen super natural yang tak dapat dilihat, gerakan sosial sejumlah orang yang berbagi kepercayaan sama, sejumlah pengikut yang melakukan pengorbanan yang berarti (mahal atau penuh penderitaan) untuk menunjukkan komitmennya kepada kelompok, adanya konsekuensi praktis seperti hukum, moral, kewajiban, dan agen supernatural yang selain dapat memberi ganjaran dan hukuman juga dapat mengabulkan doa.

Asal mula agama dapat dilihat dari pendekatan fungsi, yaitu untuk menjaga ketertiban sosial, memberikan ketenteraman dan penghiburan, dan memelihara kepatuhan masyarakat. Pendekatan lainnya dari psikologi evolusioner yaitu agama sebagai by product (produk sampingan) dari kemampuan lain yang dimiliki leluhur manusia, yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya dan karena mendatangkan manfaat kemudian secara bertahap memperoleh fungsi baru.

Sebagai analogi pengarang memberi contoh kemampuan belut berlistrik yang dapat menyetrum mangsanya dengan sengatan 600 volt. Kemampuan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan produk sampingan dari kemampuan mendeteksi medan listrik dan listrik yang dihasilkan ikan, yang dimiliki kebanyakan ikan normal.
Ikan memiliki organ sensitif pendeteksi listrik untuk mengenali mangsa dan untuk navigasi – khususnya di air berlumpur atau malam hari dimana penglihatan tidak berfungsi – karena mangsa memiliki konduktivitas elektrik yang lebih tinggi dari air. Namun terdapat spesies ikan yang memiliki kemampuan ketiga, yaitu dapat menghasilkan medan listrik sendiri bervoltage rendah, yang memungkinkn mereka mendeteksi mangsa lebih aktif karena tidak tergantung besaran listrik yang dihasilkan mangsanya.
Kemampuan ke empat yaitu dapat memberi informasi kepada ikan lain sejenis, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas wilayahnya, dan membunuh mangsa kecil. Kemampuan ini terus berkembang, sehingga dapat menyengat mangsa yang semakin besar sehingga mencapai 600 volt. Ikan bervoltage tinggi juga dapat menggunakannya untuk alat pertahanan diri dari predator, dan berburu mangsa dengan memancing secara elektris, sebagaimana dilakukan para nelayan yang menggunakan listrik dengan baterai atau generator.

Pendapat pengarang pengarang mengenai agama cukup menarik. Ia sependapat denga para evolusionis lain bahwa agama adalah by product dari semakin meningkatnya kemampuan otak manusia dalam mencari penjelasan mengenai sebab segala sesuatu dan membuat perkiraan. Namun agama manusia modern berbeda dari agama masyarakat tradisional, karena menekankan penolakan terhadap dunia, penyelamatan, dan kehidupan sesudah mati.

Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu meningkatnya perbedaan antar kelas ketika masyarakat semakin kompleks, sehingga mereka yang hidup menderita semakin merasakan penderitaannya; kehidupan setelah masyarakat menjadi petani semakin berat; dan penilaian moral menjadi semakin hitam putih dan formal. Semua hal ini membuat agama modern semakin menarik sebagai penenang atau penghibur, karena dalam masyarakat yang kompleks, ketidakadilan, kemiskinan dan kesengsaraan semakin terasa sebagai penderitaan.

Berdasarkan penelitian pada sejumlah negara di dunia, pada negara dengan GDP di bawah $10 ribu, penduduk yang menyatakan bahwa agama adalah bagian penting dari kehidupan harian mereka tercatat 80-99% sedang pada negara dengan GDP di atas 30 ribu hanya 17%-43%, kecuali AS. (hal.354)
Melihat data di atas dan fungsi agama yang bagi banyak orang merupakan pemberi arti paling penting, sementara sains tidak dapat mengatakan bahwa hidup manusia memiliki arti, maka tampaknya agama masih akan bertahan cukup lama. 

6. Bahasa
Saat ini terdapat 7.000 bahasa di dunia, yang sebagian besar diantaranya setiap hari menuju kepunahan, sedangkan di Papua New Guniea sendiri terdapat 1.000 bahasa.
Masyarakat suku asli terlatih menguasai beberapa bahasa, karena setiap suku memiliki bahasa masing-masing. Sebagai contoh, masyarakat asli Papua rata-rata menguasai 5 bahasa yang berlainan, yang dipelajari secara lisan ketika mereka bertemu dengan suku-suku lainnya.  Sementara itu, masyarakat modern, khususnya Amerika cenderung hanya menguasai satu bahasa, dan kurang menyetujui pengajaran lebih dari satu bahasa sejak kanak-kanak dengan alasan akan menghambat penguasaan bahasa utama dengan baik. Perdebatan ini mungkin mirip dengan di Indonesia, dimana sebagian tidak setuju penggunaan bahasa Inggris di sekolah dasar dengan alasan akan mengurangi kemampuan bahasa Indonesia.

Berdasarkan penelitian, kemampuan berbahasa lebih dari satu (bilingual atau multilingual) bermanfaat untuk memberi kemampuan dalam melakukan tugas yang aturannya berubah dengan cepat atau tidak mudah diprediksi. Selain itu, tidak terdapat perbedaan kemampuan dalam berbahasa utama antara mereka yang hanya mempelajari bahasa tersebut dengan yang sekaligus mempelajari dua bahasa sejak kecil.
Manfaat lain dari kemampuan bilingual adalah memperkaya kehidupan seseorang dan memberi identitas budaya, karena setiap bahasa merupakan gambaran budaya asal bahasa tersebut. Hal ini juga yang mendasari pentingnya pelestarian kepunahan ribuan bahasa di dunia saat ini. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, menggunakan dua bahasa sekaligus kepada anak sejak kecil tidak mengurangi kemampuannya berbahasa Indonesia, selama ia juga banyak membaca buku bahasa Indonesia.

7. Makanan
Masyarakat tradisional selalu berada dalam kesulitan makanan atau kelaparan setiap waktu tertentu. Makanan bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan adanya, dan gula serta garam merupakan komoditi yang sulit diperoleh. Namun hal ini menjadikan mereka bebas dari penyakit orang modern seperti diabetes, hipertensi, jantung dan kanker. Sebaliknya mereka rentan terhadap penyakit infeksi. Orang modern dapat belajar dari mereka dengan membatasi makanan yang mengandung garam, gula, terlalu banyak olahan dan banyak melakukan latihan jasmani, meskipun melakukan hal tersebut tidak mudah, karena sebagian besar makanan yang dijual adalah berasal dari produsen atau pabrik yang biasa menambahkan garam atau gula dalam jumlah besar untuk menambah rasa dan menekan harga. 

Buku ini cukup menarik karena memberi pembaca pengetahuan mengenai kehidupan masyarakat tradisional tahap pemburu peramu/ peladang yang masih ada sampai abad 20 dari seluruh belahan dunia secara singkat dan hal-hal apa saja yang masih dapat kita pelajari dan ambil untuk diterapkan dari kehidupan mereka yang keras dan sulit. Mengetahui kehidupan mereka akan membuat pembaca bersyukur hidup sebagai manusia modern sekaligus meneliti kembali cara hidupnya.

Namun demikian tentu saja setiap jenis gaya hidup memiliki plus minusnya. Sabine Kuegler, putri seorang misionaris Jerman yang dibesarkan di tengah suku Fayu di Papua, ketika kembali ke Jerman dan harus hidup sebagai orang modern, dalam memoirnya The Jungle Child: Rinduku pada Rimba Papua menulis, betapa kosongnya hidup orang modern yang harus bekerja terus menerus puluhan jam seminggu sekedar untuk dapat mencukupi hidup dan dapat berlibur selama beberapa minggu dalam setahun, dibandingkan dengan kehidupan masyarakat tradisional yang memiliki kebebasan dan keleluasaan waktu dan kerja serta hubungan yang erat dengan keluarga, tetangga serta alam sekitar. Di sisi lain, masyarakat tradisional berpendapat, betapa jauh lebih mudah hidup orang modern karena jauh dari bahaya yang berasal dari alam dan adanya perawatan kesehatan, sehingga mereka memilih kehidupan menetap dan meninggalkan kehidupan sebagai pemburu peramu/peladang.
Memang, tidak ada kehidupan yang sempurna, kecuali mungkin bagi segelintir orang yang sangat beruntung.

Saran yang disampaikan Diamond dalam bukunya mungkin tidak banyak berbeda dengan yang telah kita ketahui, karena kehidupan tradisional tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan kehidupan satu dua generasi di atas kita di desa atau kota-kota kecil. Masalahnya hanyalah, dengan perubahan kondisi kota-kota dan teknologi yang demikian cepat saat ini, tidak mudah untuk melaksanakan hal-hal tersebut.

Jared Diamond adalah professor geografi di UCLA, penulis buku The Third Chimpanzee (1992), Why Is Sex Fun? (1997, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia), Guns, Germs and Steel yang mendapatkan Pulitzer Prize (1997, diterjemahkan pada Januari 2013), dan Collapse (2005).

Monday, January 28, 2013

In Cold Blood



Judul : In Cold Blood\
Pengarang: Truman Capote
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2011
Tebal : 367 hal



Saya masih ingat, salah satu hobi saya sewaktu kecil adalah membaca cerita kriminal (pembunuhan) di majalah Intisari, kemudian membaca buku cerita detektif. Kini, semua itu sudah berlalu. Selain bosan, juga sudah tidak ada waktu. Namun membaca In Cold Blood ternyata sangat menarik.
Sebagai karya klasik modern, In Cold Blood mengisahkan pembunuhan satu keluarga di sebuah kota kecil di Amerika pada tahun 1959 dengan bentuk baru, yaitu seperti novel. Menurut pengarang, dengan bentuk ini ia hendak mengungkapkan tidak saja sebuah peristiwa, tetapi juga cerita tentang sebuah kota, dan latar belakang kehidupan korban maupun pembunuhnya secara rinci.
Keluarga Clutter – yang menjadi korban pembunuhan - adalah pemilik tanah pertanian yang cukup berada dan aktivis gereja. Clutter dikenal sebagai orang yang saleh, pekerja keras, dan murah hati. Kedua anak mereka yang berusia tujuh belas dan empat belas tahun merupakan anak-anak yang ramah, berprestasi, dan tidak segan membantu orang lain.

Sebagai keluarga teladan yang terpandang, pembunuhan keempatnya secara kejam pada suatu malam menimbulkan shock berat bagi penduduk di kota kecil tersebut. Tidak saja hal tersebut menumbuhkan rasa takut dan ketidak-percayaan diantara warga, karena mereka berpikir bahwa pembunuhnya adalah salah satu diantara mereka sendiri, namun juga depresi, sebagaimana diungkapkan salah satu warga kota tersebut, “…well. it’s like being told there is no God. It make life seem pointless. I don’t think people are so much frightened as they are deeply depressed.”
Memang, kekejaman dan penderitaan yang sangat atau bencana dahsyat yang membuat usaha dan hidup manusia tampak jelas kesia-siannya selalu mengundang pertanyaan akan ada tidaknya eksistensi Tuhan. Benarkah Ia ada?

Penyelidikan terhadap kasus tersebut akhirnya menemukan bahwa pembunuhnya adalah dua orang pemuda miskin yang memiliki masa kecil yang suram. Penulis mencurahkan banyak perhatian pada kehidupan kedua pembunuh ini, khususnya Perry, yang melakukan semua pembuhunah tersebut. Membaca kisah Perry, yang berasal dari keluarga miskin dan berantakan, mengalami kekerasan di panti penitipan anak, dan memendam marah karena ayahnya tidak mengizinkannya bersekolah, pembaca akan merasakan simpati penulis terhadapnya, dan memikirkan, mungkinkah jika ia memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut? Pembunuhan tersebut sangat kejam, dan pelaku tidak menampakkan penyesalan, namun uraian mengenai masa kecil Perry sangat menyentuh dan mampu membuat pembaca merasa sedih pula.

Kisah ini ditulis seperti novel detektif, dengan uraian yang berganti-ganti antara kegiatan warga kota maupun upaya para detektif dengan kisah masa lalu serta kegiatan kedua pembunuh selama melakukan kejahatan dan sesudahnya. Suasana tanah pertanian, keadaan kota kecil, dan karakter semua yang terlibat di dalamnya digambarkan dengan rinci agar pembaca mendapatkan suasana kota tersebut.
Diuraikan pula, bahwa setelah berita pembunuhan ini, terdapat beberapa pembunuhan lain terhadap satu keluarga, namun para pelakunya tidak pernah terungkap. Tampaknya sejak dulu berita kejahatan seperti menjadi contoh untuk melakukan hal yang sama.

Jika penulis ingin membuat kisah nyata ini seperti sebuah novel, maka hal itu telah tercapai, karena membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang bagus.

Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia.oleh penerrbit Bentang pada tahun 2007.Truman Capote adalah juga penulis buku Breakfast at Tiffany, dan penulisan buku ini dibantu oleh Harper Lee, pengarang To Kill a Mockingbird.