Pengarang: Daron Acemoglu dan
James A. Robinson
Penerjemah: Arif Subianto
Pengantar :
Komarudin Hidayat
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun :
2014
Tebal : 582 hal
Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis geografi, kebudayaan dan kebodohan. Hipotesis geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan adalah kondisi geografis, antara lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas, penguasanya zalim, dan merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas rendah, atau mempengaruhi keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang dapat mendorong kemajuan. Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut, sedangkan hipotesis kebodohan mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara-negara tersebut..
Acemoglu dan Robinson
berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama kesenjangan adalah institusi
politik di masing-masing negara, karena institusi politik itulah yang akan
menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya mempengaruhi
kemajuan perekonomiannya..
Tesis dari buku ini
sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong kreativitas dan
kemajuan ekonomi suatu bangsa, sebaliknya, institusi ekonomi ekstraktif akan
memiskinkan. Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia ini memiliki
institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran, khususnya
tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri.. Sementara itu
Inggris dapat menjadi pelopor revolusi industri karena telah memiliki institusi
politik yang inklusif, yang telah dimulai dengan adanya Magna Charta pada tahun
1490.
Penulis
mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang memungkinkan
adanya jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya peluang ekonomi
yang merata bagi seluruh masyarakat..Hal ini hanya dapat terjadi apabila
terdapat kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat kontrak.
Oleh karena itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena
penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan
institusi politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem
yang bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat
luas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga masyarakat
dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya, serta mencegah
terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari
negara yang memiliki institusi ekonomi ekstraktif
Menurut penulis,
revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode sejarah dan
perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani jauh
berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari para bangsawan
tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun
pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena para petani
mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal lenyap. Wabah
pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja, namun tuan tanah disana melakukan penindasan
lebih kejam sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi
ekstraktif terus bertahan selama berabad-abad.
Inggris
dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki institusi
ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan
melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan
Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi
kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan struktur
ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan
properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya,
kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli
dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.
Keadaan
di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih
berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur,
bahkan sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik masih bersifat ekstraktif, karena para tuan
tanah masih menerapkan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para
petani. Perbedaan kecil pada abad 14 –
yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur –
mengakibatkan persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17,
18 dan 19: yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di
Eropa Timur.
Sepanjang
sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara. Sistem ini juga
dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun bersifat sementara,
asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan negara menegakkan
ketertiban umum. Dalam sistem ini penguasa menentukan alokasi sumber daya dengan
menindas rakyat yang hasilnya digunakan untuk memicu pertumbuhan serta
memakmurkan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan. Misalnya, di Karibia para elite
mendorong produksi gula dengan menindas budak, sedangkan di Uni Soviet
pemerintah mendorong pertumbuhan industri dengan merelokasi sumber daya
agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut akan terbatas masanya, karena tanpa
adanya penghancuran kreatif – munculnya kelompok baru yang mampu meraih kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi
kemakmuran dan hak-hak istimewa kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan
ekonomi akan terhenti, sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Selain itu,
terkonsentrasinya kemakmuran hanya pada segelintir elite penguasa menimbulkan
keinginan pihak lain melakukan kekerasan untuk merebut kekayaan tersebut. Hal
ini banyak terjadi pada negara-negara Afrika, dimana sebagian besar para
pemimpinnya melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan
melebihi kaum penjajah, sehingga sering terjadi perang saudara untuk
memperebutkan sumber daya sementara rakyat semakin miskin.
Pemerintahan
yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang bersifat
ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi baru,
sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada
sejarah kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina,
Etiopia, dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak
tahun 1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru
diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus melalui sensor
ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim dan
ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya tutup
pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan menerbitkan hanya
24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%. Sementara itu di Rusia satu
persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan penindasan,
sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak melindungi hak
rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian pula
kekaisaran Habsburg dan Rusia, keduanya
melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan memonopoli perdagangan.
Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun
1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia,
dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat
diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan
ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli
bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.
Kedua
penulis juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni Eropa di
Amerika dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di kedua
wilayah tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di wilayah
lain tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal tersebut karena
jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit, sehingga tidak
dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni kedua koloni
tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang inklusif.
Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat
menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang
telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan
memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.
Kesimpulannya,
bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak memiliki
institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya, sehingga
institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan kekayaan
terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat,
menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan pengurasan
sumber daya (alam) suatu negara.
Memang,
apabila kita meneliti sejarah bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas, di
Afrika misalnya, dimana hampir seluruh pemerintahnya bersifat korup dan menindas
rakyat, demikian pula pada banyak negara Asia. Di negara-negara ini tingkat
kepercayaan antar warga sangat rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak beda
jauh dengan Indonesia, dimana sangat sulit menemukan orang yang dapat dipercaya
atau memiliki integritas. Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu dan
Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: mengapa begitu banyak
bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi yang inklusif?
Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian lemah, atau pada
dasarnya juga memiliki sifat korup, yang tercermin dari para
pemimpin/pemerintahnya? Mengapa sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika jauh
lebih ekstraktif dari pada Asia? Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah
dari Asia? Mengapa kudeta dan perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari
pada di Asia? Mengapa bangsa Eropa Barat
dapat mencapai revolusi yang memungkinkan tahap dimilikinya institusi politk ekonomi
inklusif, sedangkan banyak bangsa lain tidak, bahkan meskipun telah didorong
dengan adanya tekanan internasional?
Mengapa Negara Gagal memberikan cukup
banyak informasi dan sejarah yang menarik untuk direnungkan. Guns, Germs and Steel - yang banyak dikritik
kedua penulis – memberikan teori tentang asal mula kesenjangan kemakmuran antar
bangsa yang terjadi di masa awal peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba
menerangkan kondisi di masa kini. Namun, masih ada banyak hal yang memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan.
5 comments:
Review yg bagus
Terima kasih
Keren resensinya
Terima kasih.
Permisi kalau kita mau lihat isi buku ini melalui digital dimana ya?
Post a Comment