Friday, November 16, 2018

Kelana



Judul                   :   Kelana – Perjalanan Darat dari Indonesia ke Afrika
Pengarang           :  Famega
Penerbit              :   KPG
Tebal                   :   250 halaman
Tahun                  :   2018, Juli


 Saat ini sudah banyak buku perjalanan ditulis oleh traveler Indonesia yang bepergian ke berbagai belahan dunia, namun sebagian besar perjalanan tersebut dilakukan melalui udara, atau jika pun melalui darat, masih dalam satu benua, seperti Trinity dan Jasmine yang mengelilingi Amerika Latin.  Famega, yang menulis buku ini melakukan perjalanan sendirian hanya melalui darat dan laut, dengan moda transportasi kapal, kereta api dan bus umum.


Penulis memulai perjalanannya dari pelabuhan Dumai, Riau dengan menyeberang ke Malaka menggunakan kapal ferry. Saya baru tahu bahwa kita dapat menyeberang ke Malaysia melalui Riau. Sebagian besar dari kita mungkin juga hanya mengetahui bahwa penyeberangan ke negara lain hanya dari Batam ke Singapore.  Selanjutnya dari Malaka Famega meneruskan perjalanan dengan bus dan kereta ke Bangkok, Hanoi, Vientine, dan Beijing. Dari Beijing ia ke Mongolia menggunakan kereta trans Mongolia, selanjutnya ke Rusia dengan kereta trans Siberia menuju Eropa Timur, mengunjungi Praha, Bulgaria, dan selanjutnya ke Spanyol dan Maroko.


Banyak hal menarik yang diuraikan Famega dalam buku ini. Misalnya kebaikan penumpang kereta ekonomi Cina yang bergantian memberinya tempat duduk dan makanan selama 24 jam - meskipun ia tidak paham Bahasa Cina dan mereka tidak bisa Bahasa Inggris - karena ia penumpang kereta berdiri. Mega kehabisan karcis kereta lainnya sehingga ia terpaksa membeli karcis kereta berdiri karena  mengejar waktu agar tiba di Rusia sesuai dengan tanggal visa yang diperolehnya.


Bagian pertama buku tidak banyak menceritakan tentang interaksinya dengan penduduk lokal, karena perjalanan dari Malaka ke China dilakukan non-stop, sedangkan dari Cina ke Mongolia dan Rusia terkendala oleh keterbatasan bahasa, sehingga tidak banyak terdapat percakapan dengan penduduk lokal atau orang lain yang ditemuinya, meskipun di Mongolia ia sempat mengikuti tour beberapa hari dengan beberapa turis Barat.  Baru setelah di Eropa Timur dan seterusnya terdapat kisah tentang penduduk lokal.
Selain menginap di hostel, Famega tinggal di rumah-rumah penduduk lokal dengan bantuan couchsurfing, aplikasi yang memungkinkan seorang pelancong menghubungi penduduk kota yang akan dikunjungi sebelum ia tiba dan menginap gratis di rumahnya. Melalui cara ini ia mendapatkan teman-teman baru yang mengajaknya berkeliling kota-kota yang dikunjungi. Disamping couchsurfing, penulis mengenal penduduk lokal melalui hitchhiking, atau menumpang mobil secara gratis, yang merupakan hal baru baginya.


Perjalanan sendirian melalui darat dengan kendaraan umum kereta api dan bus mengingatkan saya pada Paul Therox, yang selalu melakukan perjalanan melalui darat sendirian. Namun Famega telah mendapat banyak kemudahan dengan adanya internet beserta segala aplikasi di dalamnya. Disamping itu Famega tidak mencatat setiap dialog atau keadaan alam dengan rinci maupun bertemu orang-orang berpengaruh di daerah yang dikunjunginya sebagaimana Theroux, yang memiliki pengamatan sangat tajam terhadap hal-hal yang ditemuinya. Mungkin karena tujuan Theroux bepergian adalah memang untuk menulis buku, sedangkan tujuan Famega tidak sejauh itu, sehingga bukunya lebih merupakan catatan harian selama perjalanan. Meskipun demikian, buku ini cukup menarik, karena memberikan informasi bahwa sebagai bangsa Indonesia yang kemana-mana harus mengurus visa terlebih dulu dengan banyak persyaratan, seseorang tetap dapat bepergian ke tiga benua dalam waktu lama – asalkan bersedia mempersiapkan empat visa terlebih dulu dengan segala urusannya. Selain itu, buku ini juga memberi pengetahuan kepada perempuan muda lainnya, bahwa adalah cukup aman bagi seorang perempuan untuk pergi kemana pun sendirian pada zaman ini melalui jalan darat. 


Pelajaran yang didapat oleh penulis – dan  pembaca – adalah bahwa selama kita cukup berhati-hati dan berani, banyak orang baik yang akan bersedia membantu, dan di balik perbedaan ras dan iklim, pada dasarnya masih banyak orang baik di bumi ini.

Sayangnya ukuran buku ini sangat kecil, covernya kurang menarik, dan gambar peta yang menunjukkan rute perjalanan Famega berwarna, sehingga membuatnya tidak jelas dibaca, demikian pula beberapa foto yang terdapat di dalamnya kurang tajam, padahal harga buku ini cukup mahal. Mungkin karena biaya percetakan sekarang semakin tinggi?   

Tuesday, October 02, 2018

Pemenang Book Giveaway


Selamat buat pemenang Book Giveaway bulan September, yaitu:

1. Agoes Santosa   
2. Windy A. Alicia Putri

Agoes Santosa akan mendapatkan buku terjemahan The Selfish Gene dan Windy Alicia Putri akan mendapatkan buku Cosmos.
Terima kasih ya sudah mengikuti Book Giveaway.

Selanjutnya untuk pengiriman buku agar mengirimkan alamat ke email:  raticf@gmail.com.

Tuesday, September 11, 2018

Book Giveaway


Tanpa terasa, ternyata blog ini telah berumur 12 tahun, meskipun ada tahun tertentu  dimana dalam satu tahun hanya ada satu atau dua review. Sebagai rasa terima  kasih kepada pembaca yang telah setia membaca blog ini, selama 4 bulan ke depan saya ingin membagikan buku kepada para pembaca yang beruntung, setiap bulan 2 buku.



Untuk bulan ini buku yang akan dibagi adalah buku klasik dari Richard Dawkins dan Carl Sagan, yaitu  The Selfish Gene  dan Cosmos, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Cara mengikuti Book Giveaway sangat mudah, yaitu cukup dengan menjadi follower dan menuliskan hal tersebut pada kolom comment. Pemenang akan diundi menggunakan random.org.

Book Giveaway bulan ini diadakan sampai dengan tanggal 30 September 2018 dan pemenang akan diumumkan pada tanggal 2 Oktober 2018. 

Hayo buruan ikut Book Giveaway...

Tuesday, August 28, 2018

Homo Deus





Judul                     :   Homo Deus – A Brief History of Tomorrow
Pengarang          :    Yuval Noah Harari
Penerbit              :    Vintage, UK
Tebal                     :   513 halaman
Tahun                   :   2017






Sebagaimana sedang kita alami saat ini, dunia mengalami perubahan yang  sangat cepat  karena  pesatnya   kemajuan sains dan teknologi, sehingga banyak orang tidak mampu lagi mengikuti perkembangannya. Bahkan  sejumlah   ilmuwan   mengungkapkan  kekhawatiran   akan ketidakmampuan manusia melawan kekuasaan artificial intelligence di masa depan.

Melalui Homodeus, Harari mencoba untuk melihat arah yang akan dituju manusia di masa depan, dengan berdasarkan pada sejarah di masa lalu dan perkembangan ilmu pengetahuan di saat ini. Pokok yang hendak disampaikan oleh penulis adalah, tujuan manusia atau homo sapiens di masa mendatang ialah untuk meraih imortalitas dan kesempurnaan.. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu secara organik, misalnya dengan modifikasi DNA sehingga sangat cerdas dan selalu muda; menggabungkan mesin dengan tubuh, misalnya pemasangan implan yang meningkatkan kemampuan penglihatan, dan penggunaan mesin sebagai kepanjangan dari fungsi tubuh, misalnya melakukan operasi dari jarak jauh. Hal-hal tersebut, ditambah penggunaan robot dan artificial  intelligence yang menggantikan jutaan pekerja, akan memperlebar kesenjangan antara elit dengan massa lebih daripada masa-masa sebelumnya, sehingga muncul superhuman dan useless society.   Perubahan yang dibawa oleh teknologi ini merupakan tantangan bagi aliran humanisme, yang selama ini mendasari tercapainya peningkatan kesejahteraan manusia di seluruh dunia.

Pembahasan dibagi dalam tiga bagian.
Bagian pertama mencoba menjawab pertanyaan mengapa homo sapiens (manusia) dapat menguasai dan mengubah dunia dan apakah hal tersebut karena homo sapiens mempunyai keistimewaan yaitu memiliki jiwa. Berdasarkan sejarah, homo sapiens ketika masih menjadi pemburu peramu memandang dan memperlakukan hewan hampir sebagai makhluk yang setara, karena kehidupan mereka tergantung pada kemurahan alam. Namun munculnya kemampuan bertani atau revolusi pertanian mengubah hubungan tersebut, karena homo sapiens telah mampu mengendalikan pertumbuhan tanaman dan menjinakkan binatang untuk kepentingannya. Seiring dengan itu animisme digantikan oleh agama yang bersifat vertikal: homo sapiens memuja dewa-dewa atau Tuhan agar hasil pertanian melimpah dan  agama digunakan untuk mensahkan eksploitasi hewan guna kepentingan homo sapiens. Namun ketika perkembangan ilmu pengetahuan memungkinkan homo sapiens memproduksi hasil pertanian dan peternakan secara lebih efisien, pemujaan kepada dewa dewa atau Tuhan tidak lagi diperlukan. Homo sapiens menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.  
Mengapa homo sapiens dapat menguasai dan mengubah dunia? Apa yang membedakannya dari hewan? Apakah jiwa, sebagaimana masih dipercaya sebagian besar manusia? Ilmu pengetahuan tidak dapat membuktikan adanya jiwa, tulis Harari. Homo sapiens dapat menaklukkan dunia karena ia memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam jumlah besar secara fleksibel, tidak seperti semut yang kemampuan kerjasamanya terbatas oleh instink. Hal yang mendasari kerjasama itu adalah imajinasi atau fiksi yang dipercaya bersama (inter subjective level) sebagai sesuatu yang nyata, yaitu agama, dewa atau tuhan, uang, korporasi, bangsa atau negara. Namun disini tampaknya penulis tidak membedakan fiksi murni dan fiksi, imajinasi atau kepercayaan yang harus didasari fakta tertentu. Agama atau dewa dapat diciptakan atau diimajinasikan sesuai kehendak pengikutnya tanpa berdasarkan fakta apapun, namun uang, korporasi dan bangsa harus didasari oleh fakta atau realitas tertentu untuk dapat dipercaya sebagai alat pembayaran, entitas usaha, dan bangsa, yaitu kekayaan yang dimiliki penerbit uang, aktivitas dan kemampuan ekonomi, sekelompok orang yang memiliki kepentingan atau tujuan bersama.

Bagian kedua menguraikan ideologi yang memungkinkan homo sapiens mencapai kemajuan sebagaimana saat ini. Menurut Harari, fiksi, yaitu agama, uang, korporasi dan negara, memiliki kemampuan untuk memaksa mayoritas tunduk, sehingga semua aktivitas dapat berjalan secara efisien. Efisiensi dicapai melalui algoritma, yaitu serangkaian tahapan tertentu yang harus dilakukan untuk setiap kegiatan.
Dalam perkembangannya, muncul konflik antara agama - yang berkepentingan dengan terpeliharanya keteraturan sosial melalui pengaturan moralitasnya - dengan ilmu pengetahuan, yang mementingkan kekuatan, yaitu kemampuan untuk memperbaiki kondisi manusia dan menaklukkan alam. Kekuatan ilmu pengetahuan membawa modernitas, yang memaksa seluruh homo sapiens tunduk pada system jika ingin hidup layak, antara lain dengan mengikuti pendidikan, tunduk pada hukum, dan seterusnya. Modernisme dibangun oleh kapitalisme, yang berjalan berdasarkan invisible hand and tidak peduli. Namun kapitalisme murni menuntut pertumbuhan terus menerus dan cenderung mendorong keserakahan, sementara dunia memerlukan kerjasama, sehingga muncul Humanisme.

Uraian tentang Humanisme cukup mendalam. Humanisme didasari oleh prinsip pengakuan atas individualisme,  kebebasan berekspresi, kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menentukan yang baik bagi dirinya maupun masyarakat tanpa bersandar pada perintah Tuhan atau agama, dan bahwa kemajuan dan kesejahteraan manusia dapat diperoleh dengan kerja sama, ilmu pengetahuan, dan partisipasi aktif setiap orang untuk kebaikan. Pandangan humanisme mendasari draft konvensi hak asasi manusia yang diratifikasi 130 negara anggota PBB tahun 1947.
Dominasi humanisme terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II membuat negara-negara di dunia memperbaiki kondisi rakyatnya dengan program-program pertanian, kesehatan, dan pendidikan, sehingga taraf hidup jauh meningkat. 
Humanisme tidak selalu sejalan dengan agama, yang meminta ketundukan total, namun meningkatnya radikalisme serta jumlah pemeluk agama tersebut tidak dianggap penting oleh penulis, dengan pertimbangan bahwa mereka tidak mengerti sains dan teknologi, miskin dan terbelakang, sementara dunia masa depan akan dibentuk dan diubah oleh segelintir elit yang menguasai teknologi tersebut. Mungkin benar, tetapi jika segelintir militant dari mereka dapat merampas sistem teknologi tinggi, maka kerusakan yang ditimbulkan akan lebih berbahaya. Sebagai liberal Harari juga tidak memperhitungkan bahaya dari meningkatnya jumlah imigran atau penduduk beraliran radikal pada negara-negara sekuler, yang dapat mengubah ideologi Humanisme menjadi teokrasi, apakah kemajuan teknologi dapat membuat mereka tidak berdaya, atau sebaliknya dapat menguasai negara-negara yang mereka tumpangi.

Bagian ketiga menguraikan efek dari kemajuan teknologi yang demikian pesat pada mayoritas homo sapiens.
Revolusi humanisme mendorong munculnya sifat-sifat baik homo sapiens, yaitu kebebasan individu, kerja sama, perhatian pada perasaan. Humanisme mendorong negara menyelenggarakan pendidikan massal, vaksinasi, pemeliharaan kesehatan, karena negara memerlukan pekerja dan tentara untuk memajukan negara. Hal ini mendorong meningkatnya kesejahteraan rakyat miskin pada abad 20.  Namun hal ini belum tentu terjadi pada abad 21, karena pada masa mendatang robot dan mesin-mesin dapat melakukan jauh lebih baik dan murah hal-hal yang selama ini dilakukan oleh manusia, misalnya mobil tanpa pengemudi akan menghilangkan kebutuhan akan jutaan pekerja transportasi, drone dan pesawat tanpa awak akan mengurangi jumlah tentara secara signifikan. Hilangnya pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak akan dapat diimbangi dengan kemampuan pekerja untuk selalu belajar hal-hal baru, sehingga akan muncul segolongan pekerja yang tidak dapat dipekerjakan atau useless society. Sementara itu segolongan kecil elit menguasai mayoritas alat produksi, kekuasaan, dan kecerdasan serta fisik yang lebih baik. Perubahan ini dapat mengubah ideologi yang dianut homo sapiens. Humanisme memandang semua manusia sama dan memberi penghargaan terhadap hidup dan kontribusi yang diberikan setiap warga. Jika artificial intelligence telah demikian cerdas sehingga kontribusi manusia tidak diperlukan lagi karena kualitasnya di bawah AI, apakah humanisme akan tetap dianut? Apakah kaum elit tidak akan lebih mementingkan peningkatan performa kaumnya sendiri dan tidak mempedulikan lagi massa yang miskin atau tidak beruntung karena mereka tidak lagi diperlukan oleh negara? Hal ini terutama untuk negara-negara miskin berpenduduk ratusan juta atau miliar yang harus berkompetisi dengan negara-negara maju, mengingat biaya pendidikan dan kesehatan ratusan juta penduduk sangat besar.

Konsekuensi dari uraian mengenai perkembangan teknologi di masa depan terhadap homo sapiens mengingatkan pada novel Brave New World, dimana manusia direproduksi oleh mesin, dan segolongan elit superior merencanakan jumlah dan tingkat kecerdasan serta kondisi fisik untuk masing-masing kelas yang akan mengisi pekerjaan-pekerjaan yang diperlukan. Manusia kembali dikuasai oleh segelintir elit yang kini merupakan superhuman hasil rekayasa biologi.

Alternatif lainnya adalah manusia terserap dalam Internet of All Things dan kehilangan arti. Humanisme yang mengutamakan perasaan, kebebasan, privacy, dan individualisme, di era Internet dan digitalisasi berubah menjadi Dataisme seiring dengan melimpahnya data dan informasi. Sebagaimana ekonomi liberal yang menekankan pentingnya informasi dan pergerakan barang secara bebas untuk kemajuan ekonomi, Dataisme berpendapat bahwa kemajuan akan berjalan secara optimal jika terdapat kemudahan akses terhadap informasi. Semakin banyak data yang terhubung dalam internet yang dapat diakses secara bebas, semakin bermanfaat bagi manusia. Sebagai contoh, adanya informasi mengenai kendaraan yang tidak dipakai seseorang pada jam-jam tertentu dapat meningkatkan efisiensi karena di luar jam tersebut kendaraannya dapat digunakan oleh orang lain. Semakin pentingnya data dalam internet mendorong orang untuk berpartisipasi dengan membagikan informasi dan pengalaman pribadinya, sehingga berlawanan dengan humanisme yang menekankan privacy, penganut Dataisme merasa tidak berarti jika tidak membagikan informasi dan pengalamannya dalam internet.

Tujuan dari Dataisme adalah menggabungkan seluruh data dan informasi di dunia untuk diolah dalam internet guna memaksimalkan penggunaannya. Saat ini sistem tersebut masih memerlukan data dari manusia. Namun terdapat kemungkinan bahwa suatu hari nanti sistem tersebut menjadi demikian maju sehingga tidak lagi memerlukan data dari manusia dan berjalan sendiri. Pada saat itu maka manusia hanya akan menjadi chip atau komponen tak berarti dari Internet of All Things. 
Kesimpulan ini diperoleh Harari setelah melihat cara bekerja sistem informasi di internet. Sistem algoritma Google dibuat oleh sebuah tim besar yang masing-masing mengerjakan bagiannya sendiri. Setelah itu sistem berjalan sendiri namun masing-masing tim tidak tahu persis keterkaitan maupun hasil akhirnya karena sistem tersebut akhirnya demikian kompleks. Kecanggihan sistem dalam menghasilkan informasi juga dapat terlihat dari lengkapnya informasi yang dimiliki perusahaan-perusahaan financial technology yang menggabungkan semua data (data supplier, buyer, penjualan, dll), yang mampu menghasilkan informasi sangat rinci hingga jam terjadinya penjualan tertinggi, wilayah penjualan terbanyak, dan lain-lain secara otomatis.

Telah banyak buku yang mencoba menguraikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan berdasarkan perkembangan teknologi saat ini.  Michiio Kaku menulis beberapa buku berdasarkan wawancara dengan puluhan ilmuwan yang sedang melakukan riset. Dalam The Future of the Mind, ia menceritakan bahwa para ilmuwan sedang melakukan penelitian untuk mencatat mimpi, memindahkan pikiran ke dalam komputer, komunikasi melalui sejenis telepati, dan sebagainya.
Homodeus melangkah lebih jauh, yaitu mencoba membayangkan perubahan ideologi atau struktur masyarakat yang akan terjadi di masa depan sejalan dengan adanya perubahan teknologi.
Sebagian berpendapat, bahwa setiap terjadi revolusi teknologi manusia selalu merasa khawatir akan  hilangnya banyak pekerjaan dan meningkatnya pengangguran, namun kekhawatiran tersebut tidak pernah menjadi kenyataan, karena selalu ada pekerjaan-pekerjaan baru. Apakah perubahan yang terjadi saat ini tidak sama saja sehingga tidak perlu dikhawatirkan?  Namun banyak contoh dalam buku ini yang menunjukkan bahwa AI dapat bekerja jauh lebih baik dari manusia dalam banyak bidang, sehingga pada akhirnya kelebihan yang dimiliki manusia hanyalah perasaan. Kita juga dapat melihat hal-hal yang sedang terjadi pada saat ini: penutupan cabang-cabang bank dan pengurangan karyawan karena digitalisasi, toko-toko tanpa kasir, mobil tanpa pengemudi, diagnosa oleh AI yang lebih akurat dari dokter berpengalaman, drone yang sukses membunuhi para teroris. Apabila prediksi kemajuan teknologi terasa berlebihan, masa lalu mungkin perlu diingat. Dua puluh lima tahun yang lalu ponsel berukuran sebesar handy talky dan harganya seperlima sedan mahal, sedang kemampuannya hanya untuk menelpon. Saat ini seorang tukang kebun pun memiliki ponsel saku yang bisa digunakan untuk internet, foto, video, dan lain-lain. Siapa yang bisa meramalkan masa depan?

Homodeus jauh lebih menarik dari Sapiens, buku Harari sebelumnya. Namun untuk menyimpulkan apa yang hendak disampaikannya pembaca harus membaca dengan teliti, karena cara pembahasan yang meluas sehingga pokok yang hendak disampaikan tidak tertulis secara tegas.  Secara keseluruhan buku ini dapat meningkatkan kesadaran pembaca bahwa perubahan semakin cepat, sehingga kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja jika tidak ingin menjadi korban perubahan.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, begitu pula Sapiens, buku pertama Harari. 

Tuesday, July 31, 2018

Ledhek dari Blora



Judul                     :   Ledhek dari Blora
Pengarang             :   Budi Sardjono
Penerbit                :   Araska
Tebal                    :   250 halaman
Tahun                   :   2018, Februari






Blora terkenal sebagai tempat kelahiran sastrawan Indonesia terkemuka yang menulis antara lain kumpulan cerpen “Cerita dari Blora”, selain sebagai penghasil kayu jati bermutu tinggi dan minyak mentah, serta kuliner sate Blora. Namun mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Blora juga terkenal dengan seni tayub beserta para ledheknya yang memikat. Sebagaimana diketahui, tayub adalah kesenian rakyat dimana penayub laki-laki memberikan uang kepada penari tayub yang disebut ledhek atau ronggeng pada saat menari.  

Novel ini menceritakan kisah Sam, seorang wartawan yang kehilangan pekerjaan karena majalah tempatnya bekerja bangkrut akibat kalah bersaing dengan media online. Kesulitan ekonomi kemudian membuatnya terpaksa menanggalkan idealismenya, sehingga ia menerima tawaran teman lamanya sesama mantan wartawan untuk menjadi ghost writer,  yaitu menulis biografi seseorang dengan isi sesuai kehendak pemesan dan namanya tidak akan dicantumkan dalam buku sebagai penulis, karena si pemesan seolah menjadi penulis biografinya sendiri.
Sesuai saran teman lamanya, maka Sam akan menulis biografi seorang pengusaha kaya. Namun sebelum memulai penulisan, sang pengusaha memintanya untuk terlebih dahulu melakukan investigasi ke Blora, untuk melacak keberadaan seorang bekas ledhek bernama Sriyati.    
Tugas mencari jejak Sriyati ke Blora ternyata tidak mudah, karena dalam investigasinya Sam  ternyata mengalami penculikan dan hampir dibunuh di tengah hutan jati, yang membuat Sam bertanya-tanya. Apakah hubungan antara bahaya yang dialaminya dengan tugas mencari ledhek? Apakah ada hal lain yang ditakutkan oleh mereka yang ingin membunuhnya? Siapakah sebenarnya Sriyati?

Kisah di atas disampaikan oleh pengarang dengan bahasa yang ringan dan mengalir serta sedikit humor, sehingga mudah dibaca. Tidak mengherankan karena ternyata penulisnya adalah pengarang senior yang telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen dan novel, antara lain Api Merapi, Roro Jonggrang, dan Nyai Gowok.

Membaca novel ini terasa ringan dan menghibur karena – seperti novel pop - berakhir dengan happy ending dan terdapat beberapa kejadian kebetulan, namun demikian pembaca mendapatkan pengetahuan tentang sejarah dan kondisi wilayah Blora dan sekitarnya, kesenian tayub, sepenggal sejarah kelam Indonesia, dan kondisi kehidupan masa kini, sehingga Ledhek dari Blora menjadi novel yang cukup menarik.

Tidak seperti novel Ronggeng Dukuh Paruh yang mencekam, Ledhek dari Blora memberi gambaran mengenai upaya masyarakat lokal mempertahankan seni tradisi yang nyaris hilang ditengah desakan modernisasi dan stigma buruk dari masa lalu yang selalu mengaitkan kesenian rakyat dengan gerakan kiri, serta  desakan konservatisme masa kini yang mengatasnamakan moralitas. Hal itu tampak antara lain dari tokoh Mbah Mantan Lurah yang berani mengadakan pertunjukan tayub meski sering mendapat ancaman pelarangan, dan para ledhek yang digambarkan sebagai perempuan-perempuan mandiri yang berani berbeda dari perempuan pada umumnya. Ada nuansa feminis dan liberal dalam buku ini.


Monday, July 09, 2018

Aib dan Martabat




Judul               :   Aib dan Martabat
Pengarang      :   Dag Solstad
Penerjemah    :   Irwan Syahrir
Penerbit           :   Marjin Kiri
Tebal               :    138 halaman
Tahun              :   2017





Tidak banyak novel Norwegia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah Aib dan Martabat, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Norwegia.
Negara-negara Skandinavia dikenal sebagai negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi, tertib, dan aman, dengan tingkat yang lebih baik dari negara Eropa lainnya. Namun demikian, dalam novel ini kita akan menemukan kesepian yang dialami masyarakat modern.

Alur cerita dalam novel ini sangat sederhana, karena yang hendak disampaikan pengarang adalah perasaan kekosongan dan kesepian yang dialami masyarakat modern, yang mungkin juga telah dialami oleh sebagian dari masyarakat negara dunia ketiga yang tinggal di kota-kota besar.

Tokoh utama adalah Elias Rukla, seorang guru bahasa sekolah menengah berusia 50-an tahun yang telah mengajar selama dua puluh lima tahun. Pelajaran bahasa atau sastra Norwegia bukanlah pelajaran favorit murid-murid, dan suatu hari Elias merasakan kesia-siaan dirinya ketika mendapati betapa para muridnya tidak memiliki minat sedikit pun terhadap bidang yang diajarkannya bahkan menampakkan kebencian, sehingga membuatnya merasa sia-sia dan membenci kondisi yang dihadapinya saat itu karena telah melakukan pekerjaan tersebut selama lebih dari dua puluh tahun. Rasa kesia-siaan dan putus asa itu demikian mendalam sehingga tanpa sadar Elias melampiaskannya di sekolah, yang berakibat fatal  karena membuatnya tidak pantas menjadi guru kembali.  Dalam keputus-asaannya ia kemudian berjalan menyusuri kota, memikirkan hidupnya selama ini – perkawinannya yang semakin tidak bahagia, pengkhianatan sahabatnya di kala muda, kehidupan yang datar, rekan-rekan kerja yang tidak bisa diajak bercakap-cakap tentang hal-hal yang berarti selain soal pekerjaan dan masalah remeh sehari-hari, pekerjaan dan pengabdian yang tidak dihargai karena masyarakat telah menjadi dangkal, lebih menghargai budaya pop murahan daripada sastra dan peradaban tinggi.  Dan kini pekerjaan tersebut tampaknya harus dilepaskannya, meskipun sebenarnya dia tidak lama lagi pensiun. Semua itu ada dalam pikiran Elias Rukla selama menyusuri kota Oslo setelah keluar dari sekolah dengan marah.  

Novel ini adalah monolog. Namun demikian banyak hal menarik di dalamnya. Misalnya kekecewaan Elias Rukla bahwa semua rekan gurunya tidak ada yang membicarakan ide-ide, perkembangan pengetahuan masing-masing bidangnya, atau hal-hal berarti lainnya ketika mereka bercakap-cakap di sekolah, melainkan hanya membicarakan tentang hutang-hutang yang mereka miliki, atau bahwa mereka telah bebas dari hutang, sehingga Elias menyebut mereka budak hutang. Bagian ini sungguh menggelikan, karena mengingatkan saya pada rekan-rekan kerja di  kantor.
“Orang-orang dalam lingkungan pergaulan Elias Rukla tidak lagi berbicara. Hanya singkat dan ala kadarnya. …Karena ruang publik yang diperlukan oleh sebuah percakapan sudah terisi.”

Tokoh novel adalah seorang idealis, seorang pemikir, namun harus menghadapi mayoritas yang dangkal, yang didukung oleh demokrasi. 
Novel ini sangat menarik karena mengingatkan saya pada kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.