Tuesday, October 08, 2019

Manusia Digital - Revolusi 4.0

Manusia Digital


Judul                     :   Manusia Digital – Revolusi 4.0 Melibatkan Semua Orang
Pengarang            :   Chris Skinner
Penerjemah          :   Kezia Alaia  
Penerbit                :   Elex Media Komputindo, Jakarta
Tebal                     :   416 halaman
Tahun                    :   2019


Digitalisasi telah merambah semua bidang, dari perbankan hingga kehidupan sehari-hari. Buku ini memberi gambaran singkat tentang perkembangan tersebut dan prediksi untuk dua hingga tiga dekade  mendatang, yang terbagi atas 7 bab sebagai berikut:

Bagian pertama membahas tentang tahap-tahap evolusi manusia hingga mencapai tahap Manusia Digital. Penulis membaginya dalam 5 tahap. Tahap pertama yaitu penciptaan keyakinan bersama, tahap kedua penciptaan uang, tahap ketiga revolusi industri, tahap ke empat era jaringan, dan terakhir adalah masa depan, dimana manusia akan mengkolonisasi angkasa luar dan hidup lebih dari serratus tahun.

Bagian kedua buku membahas mengenai evolusi dalam digitalisasi. Era pertama yaitu penciptaan komputer dan pengembangan web, berupa proyek ARPANET yang merupakan cikal bakal internet dan penciptaan dasar-dasarnya yaitu HTML, URI, HTTP oleh Barnes Lee pada tahun 1990. Selanjutnya era kedua ditandai dengan dimulainya jaringan, dengan munculnya situs web pertama pada tahun 1991, yang kemudian memunculkan perdagangan melalui internet, ditandai oleh munculnya Amazon (1995), PayPal dan Alibaba (1999). Era ketiga ditandai dengan munculnya jaringan sosial yaitu blog (2003), Facebook (2004) dan Youtube (2005). Masa ini bersamaan dengan munculnya telepon pintar (2007). Era ke empat atau Web 3.0 adalah internet pasar. Pada masa ini muncul bank  terbuka, yaitu bank-bank yang menuju struktur layanan mikro, pasar terbuka, dan berfokus pada pengembangan digital. Akhirnya era ke lima atau Web 4.0 yang akan datang pada tahun 2020-an, dimana kecerdasan buatan akan mulai mencapai tingkat kesadaran.

Bagian ketiga membahas mengenai perkembangan dan kebangkitan platform dan marketplace. Penulis menjelaskan bagaimana hanya dalam waktu dua puluh tahun, kapitalisasi perusahaan-perusahaan digital (Apple, Microsoft, Amazon, Fb, Airbnb, PayPal, Ant Financial) telah melampaui perusahaan-perusahaan tradisional yang berusia ratusan tahun (Exxon, Citi, Braclays, Deutsch Bank). Selanjutnya berdasarkan data tersebut penulis menyarankan agar bank-bank tradisional mengubah system informasinya yang tertutup dengan sistem terbuka yang dapat dirancang ulang arsitekturnya setiap beberapa tahun sekali dan terbuka terhadap kecerdasan buatan sehingga dapat memberi informasi lebih banyak bagi nasabahnya dan diri sendiri, dengan demikian memberikan pelayanan lebih baik dan memberikan pendapatan lebih besar. Hal ini juga agar bank dapat bersaing dengan platform keuangan (fintek) yang akan semakin berkembang di masa depan.

Bagian ke empat membahas mengenai kebangkitan robot, dimana setiap peralatan yang kita miliki akan dapat saling berhubungan, sehingga hanya sedikit sekali yang perlu kita lakukan. Hal ini terkait dengan semakin majunya kecerdasan buatan, yang akan mencapai tahap ketiga yaitu kecerdasan buatan super, dimana mesin lebih pintar dari satu kesatuan umat manusia. Pekerjaan akan banyak diotomasi.

Bagian kelima khusus membahas tentang teknologi finansial, antara lain  Regtech untuk teknologi regulasi, insurtech untuk asuransi, dan tekfin untuk pembayaran, pinjaman, identitas digital, keamanan siber, inklusi keuangan, analitik, roboadvice, buku besar tersebar blockchain, dan lain-lain. Munculnya tekfin dapat menjadi ancaman bagi bank tradisional, karena sebagian dari mereka telah mampu mendirikan bank pula, meskipun masih terbatas memberikan kredit kecil dan menengah. Namun mereka berusaha menyatukan usaha perbankan mereka dengan tekfin yang mereka miliki.

Bagian ke enam berisi uraian mengenai perkembangan tekfin terutama di negara-negara berkembang dalam meningkatkan inklusi keuangan. Di Afrika Tekfin berhasil membuat identitas digital dan melayani pembayaran non tunai serta transfer dengan biaya murah, melalui penggunaan telepon pintar. Demikian pula di India. Sedangkan di Cina tekfin mengurangi penggunaan tunai hingga tingkat minimal.

Bagian ke tujuh adalah mengenai perlunya bank-bank mengubah teknologinya apabila tidak ingin ketinggalan zaman, dan bagian ke delapan tentang sekilas mengenai masa depan.

Selain itu, terdapat bab khusus mengenai Ant Financial di bagian akhir buku, yang menurut penulis adalah perusahaan keuangan pertama untuk era manusia digital. Pada bagian ini diuraikan sejarah berdirinya Ali Baba, yang merupakan e-commerce. Tidak adanya kepercayaan terhadap penjual e-commerce dan tidak lazimnya penggunaan kartu kredit kemudian membuat didirikannya Alipay. Selanjutnya untuk memanfaatkan dana yang terdapat dalam Alipay, didirikan Yu’e Bao, platform untuk melakukan pembelian reksadana. Kemudian didirikan pula Taobao dan Tmall sebagai cabang Taobao untuk memasarkan produk para pengusaha kecil Cina. Akhirnya untuk melengkapi layanan pinjaman, didirikan MYbank pada tahun 2015. Alipay, Yu’e Bao dan MYbank menjadi Ant Financial. Tidak hanya di Cina, dalam jangka panjang Ant Financial memiliki tujuan untuk mendigitalkan semua layanan di seluruh dunia, dan sasaran pertama adalah Asia Tenggara.

Buku ini cukup memadai untuk mendapatkan pengetahuan dasar mengenai perkembangan ekosistem digital dan memahami perusahaan keuangan terbesar di Asia yaitu Ant Financial, yang mulai masuk ke Indonesia. Kesimpulannya, ekonomi digital lebih cepat berkembang di negara-negara dimana inklusi keuangan rendah, yaitu negara-negara miskin dan berkembang. Hal ini akan menguntungkan masyarakat apabila digunakan dengan baik, misalnya mengurangi biaya pencetakan uang, memudahkan transaksi perdagangan, dan meningkatkan dana untuk keperluan produktif. Di sisi lain, kecerdasan buatan dan data analitik akan menggantikan sebagian besar pekerjaan manusia, sehingga muncul tantangan bagaimana mempekerjakan tenaga yang digantikan oleh otomasi.

Sunday, October 06, 2019

Lentera Batukaru





Judul                   :   Lentera Batukaru
Pengarang          :   Putu Setia
Penerbit              :   KPG
Tebal                   :   255 halaman
Tahun                  :   2019




Banyak sudah yang menulis tentang peristiwa 30 September. Namun sebagian besar adalah tentang kejadian di Jawa, di penjara maupun di pengasingan. Kali ini Putu Setia, wartawan yang lama bekerja di Tempo, menulis tentang peristiwa tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya di Bali.

Cukup menarik membaca kisahnya. Buku ini lebih merupakan autobiografi seorang anak Bali yang meskipun hidup berkekurangan namun senantiasa gigih bekerja, bersyukur, dan memiliki prinsip yang kuat. Mungkin itu pula sebabnya ia menulis buku ini, agar dapat menjadi contoh bagi para pembaca yang lebih muda dan hidup prihatin, bahwa apabila kita selalu berusaha dan bersyukur akan selalu ada jalan untuk hidup lebih baik.

Sewaktu remaja Putu telah menjadi kader partai PNI, dan ketika terjadi peristiwa 30 September dengan posisinya sebagai Ketua Pemuda GSNI ia melindungi teman-teman sekolahnya yang rentan dituduh simpatisan PKI dan akan diculik atau dibunuh tentara. Selain itu ia menjadi penulis drama Gong untuk partainya dan sukses. Namun setelah peristiwa G 30 S,  mereka dipaksa membubarkan PNI dan menjadi anggota Golkar serta dilarang berkesenian lagi. Sebagai aktivis partai, ia tidak bersedia, sehingga pergi ke Denpasar sebelum menyelesaikan pendidikan STM dan kemudian bekerja menjadi loper koran, instalatur listrik, dan akhirnya wartawan surat kabar. Bakat menulisnya kemudian akhirnya menuntunnya menjadi wartawan majalah. Selama masa remaja tersebut, ia menyaksikan penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara bahkan terhadap mereka yang tidak tahu apa-apa tentang komunis, termasuk penculikan terhadap salah satu keluarga besarnya, yang hilang begitu saja, serta akibatnya bagi keluarga mereka.

Buku autobiografi ini memberi gambaran jelas bagaimana proses penghancuran komunis dan PNI oleh tentara sebagaimana diulas oleh sejarawan Rickfles dalam Mengislamkan Jawa, misalnya. PNI yang bersifat sekuler dan kegiatan kesenian dihancurkan oleh tentara rezim Orba secara brutal. Proses ini kemudian diikuti dengan pemilu yang penuh kecurangan serta pembangunan masjid-mesjid dan pemaksaan untuk menganut salah satu agama serta menjalankan ritualnya. Selanjutnya kita ketahui sendiri – fanatisme dan radikalisme agama menjadi masalah baru.

Sampai saat ini tidak banyak yang diketahui kaum muda tentang kekejaman ini, sehingga penerbitan buku-buku yang menjelaskan peristiwa tersebut masih terus diperlukan. Oleh karena itu otobiografi Putu Setia ini merupakan tambahan yang baik untuk  memperkaya informasi tentang sejarah gelap bangsa kita.