Judul : Upheaval – Bagaimana Negara Mengatasi Krisis
dan Perubahan
Pengarang :
Jared Diamond
Penerjemah :
M. Iqbal Sukma
Penerbit :
CV Global Indo Kreatif, Manado
Tebal : 410 halaman
Tahun : 2019
Apa yang dapat kita pelajari dari sejarah, berdasarkan pengalaman
negara-negara yang berhasil mengatasi krisis yang dialaminya dan kemudian
menjadi lebih baik atau lebih kuat? Dapatkah kita belajar dari cara mereka
menangani krisis tersebut?
Menurut Jared Diamond, kita bahkan dapat menerapkan cara penanganan
krisis individual untuk meneliti krisis yang terjadi dalam suatu negara. Demikianlah,
maka tahapan dalam penyelesaian krisis individual diterapkan untuk melihat
penyelesaian krisis pada enam negara dalam buku ini, yaitu FInlandia, Jepang,
Chili, Indonesia, Jerman, dan Australia. Pemilihan terhadap enam negara ini
berdasarkan pada pengalaman pribadi Diamond yang pernah bekerja atau tinggal di
negara-negara tersebut.
Apakah sebenarnya yang dimaksud krisis disini? Pada tingkat individu,
seseorang mengalami krisis apabila terjadi hal-hal yang membuatnya harus
meninjau kembali atau mengubah nilai-nilai yang dianutnya, tujuan, atau cara
hidup. Faktor pemicu krisis misalnya kematian anggota keluarga, penyakit akut,
kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam studi, terjebak dalam perang, dan
lain-lain. Hasil dari upaya mengatasi krisis dapat menjadikan seseorang lebih
baik dan lebih kuat, atau sebaliknya mengarah pada keputusasaan seperti bunuh
diri. Meminjam dari terapis klinis, penulis menjelaskan bahwa terdapat selusin
faktor untuk berhasilnya penyelesaian krisis, antara lain pengakuan bahwa
seseorang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab pribadi untuk melakukan
sesuatu, menggunakan individu lain sebagai model dalam menyelesaikan masalah, adanya
pagar, yaitu batas-batas yang dapat dan tidak dapat dinegosiasikan dalam
penyelesaian masalah, sabar, nilai-nilai inti, dan mendapatkan bantuan dari
individu lain. Diletakkan dalam perspektif negara, hal itu menjadi: konsensus
bahwa negara sedang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab nasional untuk
melakukan sesuatu, menggunakan negara lain sebagai model, berurusan dengan
kegagalan nasional, nilai-nilai inti nasional, dan mendapatkan bantuan dari
negara lain. Selain itu, krisis dapat terjadi secara tiba-tiba atau secara
bertahap. Krisis yang tiba-tiba misalnya negara mengalami serangan militer,
kudeta, krisis bertahap yaitu apabila negara mengabaikan bahwa terdapat
masalah, sampai suatu ketika terdapat kejadian yang membuat negara tersebut
harus segera melakukan tindakan tertentu atau perubahan strategi.
Uraian mengenai penyelesaian krisis dibuat dalam bentuk perbandingan,
yaitu Finlandia dibandingkan dengan Jepang, Chili dengan Indonesia, dan Jerman
dengan Australia. Perbandingan didasarkan pada kesamaan krisis yang dialami.
Finlandia dan Jepang sama-sama mengalami krisis yang disebabkan oleh
guncangan eksternal, yaitu Finlandia mengalami serangan Soviet yang agresif secara
tiba-tiba, dan Jepang mengalami kedatangan kapal perang Amerika yang berteknologi
jauh lebih tinggi yang memaksa Jepang membuka isolasinya. Finlandia berperang mati-matian
melawan Soviet yang besar, namun jumlah
penduduk Finlandia yang sangat kecil (6 juta) dan tidak adanya bantuan dari
negara lain membuatnya berhati-hati, dalam beberapa hal mengalah, dan selalu
membuka komunikasi yang transparan dalam menghadapi Soviet yang berpenduduk
jauh lebih besar dan berbatasan langsung dengan negara tersebut. Sebaliknya,
krisis tersebut membuat Jepang segera melakukan restorasi Meiji untuk mengejar
ketertinggalannya dalam teknologi dari Barat, namun dengan tetap mempertahankan
tradisinya.
Chili dan Indonesia keduanya mengalami pemerintahan diktator militer
yang kejam setelah sebelumnya menumbangkan presiden lama yang cenderung kiri.
Presiden Allende yang menerapkan kebijakan bersifat sosialis dikudeta oleh
Pinochet pada tahun 1973. Bahkan pendukung Allende mengantisipasi ancaman
pembantaian oleh sayap kanan dengan poster bertulisan “Yakarta viene” atau
Jakarta akan datang, merujuk pada persitiwa pembantaian tahun 1965 di
Indonesia. Pinochet berkuasa hingga tahun 1990 dan 100.000 orang Chili
mengungsi ke luar negeri. Namun perbedaan dengan Indonesia ialah, setelah masa
pemerintahan Pinochet berakhir, para jendral yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan
diadili dan dihukum, dan pemerintah baru mendirikan museum yang menunjukkan
penyiksaan dan pembunuhan selama masa pemerintahan militer, sedangkan di
Indonesia hal itu tidak pernah terjadi bahkan hingga saat ini. Persamaannya,
keduanya merupakan krisis internal yang berasal dari polarisasi politik, adanya
revolusi kekerasan, dan adanya peran satu pemimpin yang luar biasa, yaitu
Pinochet dan Soeharto. Chili mengatasi krisis dengan kepercayaan diri rakyatnya bahwa mereka mampu mengatur diri
sendiri serta berbeda dengan negara Amerika Latin lainnya dan adanya bantuan
dari luar negeri untuk pemulihan ekonomi
setelah kudeta. Indonesia juga mendapat bantuan dari negara lain, dan dapat
bertahan dari krisis karena memiliki kebanggaan bersama yaitu perjuangan
bersama selama revolusi kemerdekaan 1945-1949, kebanggaan akan wilayah yang
luas, dan dimilikinya bahasa Indonesia sebagai persatuan serta Pancasila.
Penulis juga menyebutkan bahwa di luar perubahan-perubahan yang dilakukan untuk
penyelesaian masalah, seperti perubahan kebijakan ekonomi, kepemimpinan oleh
diktator militer, terdapat hal-hal di luar pagar yang tidak dapat diubah atau
dinegosiasikan dalam kasus Indonesia, yaitu integritas wilayah, toleransi
beragama yang besar, dan pemerintahan non komunis. Namun berbeda dengan Chili, Indonesia kurang
memiliki kepercayaan diri yaitu perasaan identitas nasional sebagai bangsa
Indonesia, karena masih tergolong baru sebagai bangsa merdeka.
Berbeda dengan Chili dan Indonesia, krisis yang dialami Jerman dan
Australia terjadi secara perlahan, terkait dengan keengganan untuk mengakui
permasalahan yang dihadapi dan mengatasinya dengan segera. Jerman tidak segera
mengakui bahwa sebagai bangsa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Nazi,
sedangkan Australia untuk waktu lama selalu menganggap dirinya bagian dari
Inggris dan bangsa kulit putih. Perang Dunia II dan perubahan pemerintahan yang
lebih demokratis kemudian mengubah kebijakan kedua negara tersebut. Jerman
mengakui kesalahan Nazi dan meminta maaf kepada negara yang menjadi korban
kekejaman Nazi, Australia menerima
kenyataan sebagai bagian dari Asia dan mengubah kebijakannya dengan bersikap
lebih terbuka terhadap Asia. Hal yang menolong Jerman dalam mengatasi krisis
adalah adanya identitas nasional yang kuat, yang disasarkan pada kebanggan akan
musik, seni, sastra, filsafat dan sains Jerman, bahasa, serta kesabaran dari
kekalahan masa lalu, dan kepercayaan yang berasal dari keberhasilan masa lalu.
Berdasarkan analisis terhadap keenam negara di atas, penulis kemudian
menguraikan krisis yang sedang dihadapi Jepang dan Amerika Serikat saat ini
serta beberapa cara untuk mengatasi krisis tersebut. Pertanyaannya, mengapa
hanya Jepang dan Amerika Serikat yang dibahas? Mungkin karena dua negara
tersebut yang paling diketahui masalahnya oleh Jared Diamond pada saat ini. Masalah
Jepang yang dapat menjadi krisis ialah tingginya hutang, peran perempuan yang
belum setara, penuaan populasi dan penurunan jumlah penduduk sementara tidak
ada kebijakan imigrasi, serta keengganan untuk mengakui kesalahan atau
kejahatan yang diperbuat selama Perang Dunia II kepada negara-negara lain. Sementara itu masalah yang sedang dihadapi
Amerika dan akan menjadi krisis yang muncul secara perlahan antara lain polarisasi politik, intoleransi, menurunnya
kesopanan, dan ketimpangan yang semakin besar.
Selain hal-hal di atas, Diamond juga membahas krisis yang sedang
dihadapi dunia terkait pemanasan global dan cara yang sebaiknya dilakukan untuk
mengatasinya, yaitu mengingat yang menjadi kontributor terbesar CO2 dan output
ekonomi dunia adalah AS dan Cina (41%) dan kedua negara tersebut serta India,
Jepang dan Uni Eropa menyumbang 60%, maka upaya penyelesaian dapat difokuskan
terutama pada negara-negara tersebut.
Dibandingkan dengan Guns, Germs
dan Steel, uraian dalam Upheaval
tergolong sederhana, kurang terinci, dan tidak lengkap. Mungkin karena penulis
tidak mengikuti lagi secara cukup rinci perkembangan terakhir keenam negara
yang menjadi contoh dalam bukunya kecuali Jepang dan negaranya sendiri yaitu
Amerika Serikat. Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki banyak masalah
yang sewaktu-waktu dapat memicu krisis, misalnya meluasnya radikalisme,
terorisme, polarisasi, intoleransi yang kesemuanya telah mencapai tahap
mengkhawatirkan dan hal-hal lainnya, namun hal tersebut tidak dibahas di dalam
buku. Selain itu, metodenya yang menggunakan kerangka penanganan krisis individu untuk krisis suatu negara juga masih bisa dipertanyakan
validitasnya. Mungkin memang hanya sebagai langkah awal saja untuk penelitian
yang lebih mendalam pada lebih banyak negara dengan menggunakan metode yang
lebih baik.
Secara keseluruhan, buku ini masih cukup menarik. Kita dapat belajar
sejarah singkat enam negara yang diuraikan penulis dan membandingkannya satu
sama lain, termasuk dengan negara kita, dan mungkin mencoba menggunakan pendekatan
yang digunakan Diamond untuk memperkirakan krisis yang akan menimpa negara kita
untuk menguji gagasannya. Satu hal yang menurut saya juga penting
adalah, buku ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat AS dan dunia – yang
selama ini tidak atau kurang mengetahui tentang Indonesia – untuk mengenal
Indonesia beserta sejarah singkatnya, karena Jared Diamond adalah penulis
terkenal yang memiliki banyak pembaca setia.