Pengarang :
Putu Setia
Penerbit :
KPG
Tebal : 255 halaman
Tahun : 2019
Banyak sudah yang menulis tentang peristiwa 30 September. Namun sebagian besar adalah tentang kejadian di Jawa, di penjara maupun di pengasingan. Kali ini Putu Setia, wartawan yang lama bekerja di Tempo, menulis tentang peristiwa tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya di Bali.
Cukup menarik membaca kisahnya. Buku ini lebih merupakan autobiografi
seorang anak Bali yang meskipun hidup berkekurangan namun senantiasa gigih
bekerja, bersyukur, dan memiliki prinsip yang kuat. Mungkin itu pula sebabnya
ia menulis buku ini, agar dapat menjadi contoh bagi para pembaca yang lebih
muda dan hidup prihatin, bahwa apabila kita selalu berusaha dan bersyukur akan
selalu ada jalan untuk hidup lebih baik.
Sewaktu remaja Putu telah menjadi kader partai PNI, dan ketika terjadi
peristiwa 30 September dengan posisinya sebagai Ketua Pemuda GSNI ia melindungi
teman-teman sekolahnya yang rentan dituduh simpatisan PKI dan akan diculik atau
dibunuh tentara. Selain itu ia menjadi penulis drama Gong untuk partainya dan
sukses. Namun setelah peristiwa G 30 S,
mereka dipaksa membubarkan PNI dan menjadi anggota Golkar serta dilarang
berkesenian lagi. Sebagai aktivis partai, ia tidak bersedia, sehingga pergi ke
Denpasar sebelum menyelesaikan pendidikan STM dan kemudian bekerja menjadi loper koran, instalatur listrik, dan
akhirnya wartawan surat kabar. Bakat menulisnya kemudian akhirnya menuntunnya
menjadi wartawan majalah. Selama masa remaja tersebut, ia menyaksikan penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara bahkan terhadap mereka yang tidak tahu apa-apa tentang
komunis, termasuk penculikan terhadap salah satu keluarga besarnya, yang hilang
begitu saja, serta akibatnya bagi keluarga mereka.
Buku autobiografi ini memberi gambaran jelas bagaimana proses
penghancuran komunis dan PNI oleh tentara sebagaimana diulas oleh sejarawan
Rickfles dalam Mengislamkan Jawa, misalnya. PNI yang bersifat sekuler dan
kegiatan kesenian dihancurkan oleh tentara rezim Orba secara brutal. Proses ini
kemudian diikuti dengan pemilu yang penuh kecurangan serta pembangunan
masjid-mesjid dan pemaksaan untuk menganut salah satu agama serta menjalankan
ritualnya. Selanjutnya kita ketahui sendiri – fanatisme dan radikalisme agama
menjadi masalah baru.
Sampai saat ini tidak banyak yang diketahui kaum muda tentang
kekejaman ini, sehingga penerbitan buku-buku yang menjelaskan peristiwa
tersebut masih terus diperlukan. Oleh karena itu otobiografi Putu Setia ini
merupakan tambahan yang baik untuk
memperkaya informasi tentang sejarah gelap bangsa kita.
No comments:
Post a Comment