Judul : The End of The Affair (Akhir Satu Cinta)
Pengarang: Graham Greene
Alih bahasa: Mala Suhendra & Rosi L. Simamora
Penerbit: GPU
Tahun : 2004, Sept
Tebal : 376 hal
Sudah lama saya memiliki buku ini, tapi belum sempat membacanya. Baru-baru ini, setelah tidak sengaja menonton filmnya, timbul keinginan untuk membandingkannya dengan bukunya, karena buku biasanya lebih lengkap dan lebih bagus. Benarkah?
The End Of The Affair adalah kisah seorang penulis novel yang menjalin hubungan cinta dengan istri seorang pegawai negeri yang memiliki jabatan cukup tinggi pada masa perang dunia kedua di London. Bendrix, seorang penulis yang kurang sukses, ingin menulis novel tentang kehidupan pegawai negeri, sehingga ia mewawancarai Sarah, yang kemudian menjadi hubungan cinta. Hubungan ini pada akhirnya putus karena tiba-tiba Sarah tidak ingin menemuinya lagi setelah terjadi sebuah peristiwa.
Setelah dua tahun tidak bertemu, Bendrix merasa marah dan cemburu, mengira Sarah memiliki kekasih lain, sehingga ia menawarkan Henry, suami Sarah, untuk menyewa detektif guna menyelidiki Sarah. Henry menolak tawarannya, sehingga kemudian ia menghubungi sendiri detektif tersebut.
Apa yang ditemukannya kemudian justru membuat Bendrix menyadari besarnya cinta Sarah – Sarah tidak meninggalkannya untuk orang lain tetapi untuk menepati janjinya kepada Tuhan, yang telah mengabulkan doanya.
Bagi Bendrix, tidak mungkin Sarah begitu mudah berubah, karena mereka berdua tidak percaya, dan tidak ada mujizat atau apapun yang cukup untuk membuat seseorang harus percaya pada Tuhan, oleh karena itu kebencian dan kecemburuannya demikian dalam kepada Tuhan, yang telah merenggut Sarah dari sisinya. Ketika semakin banyak mujizat yang ditemuinya, ia tetap tidak bersedia mengakuinya, sehingga berkata, ”Oh Tuhan, cukup sudah yang Engkau lakukan. Cukup sudah Engkau merampas dariku, aku terlalu lelah dan tua untuk belajar mencintai, jangan ganggu aku. Selamanya.”
Novel ini ditulis dari sisi Bendrix, sang penulis novel yang cemburu, pertama kepada suami Sarah, kemudian kepada Tuhan. Tidak hanya kisah cinta biasa, ada renungan mengenai perkawinan, kepercayaan kepada Tuhan, pergolakan jiwa seorang ateis, dan jiwa seorang perempuan yang terbelah antara cinta kepada kekasih, suami, dan perasaan berdosa kepada Tuhan.
Apakah perkawinan - yang membuat seseorang merasa aman – meskipun sangat membosankan atau mengecewakan jauh lebih baik daripada hubungan cinta yang membara namun penuh kecemburuan dan kekhawatiran karena tidak ada pengikat apapun selain cinta itu sendiri? Dapatkah perkawinan seperti itu membuat seseorang bahagia?
Membaca buku ini memang memberi kesan bahwa pengarang adalah seorang yang religius, yang percaya bahwa setiap orang akan memiliki perasaan berdosa jika melakukan hal-hal yang terlarang, dan pada saat krisis pasti akan kembali kepada Tuhan – disini adalah agama Katolik – dan bahwa Tuhan akan mengabulkan doa yang sungguh-sungguh, termasuk memberi mujizat. Namun hal ini mungkin akan terlalu sulit bagi seorang ateis, karena hidup tidak selalu memberikan hal-hal yang baik atau kita inginkan.
Ketegangan antara kedua hal di atas digambarkan dalam karakter Sarah dan Bendrix, sedangkan Henry digambarkan sebagai orang yang pasrah, namun tidak religius.
Kecenderungan pengarang yang membela pentingnya keyakinan agama sebenarnya tidak menarik bagi saya, kalau saja tidak ada tokoh Bendrix, yang konsisten pada keyakinannya apapun yang terjadi.
Bahasa Indonesia mungkin kurang bagus dalam mengungkapkan perasaan Bendrix dalam buku ini, namun dalam film, aktor Ralph Fiennes dapat menampilkan perasaan cinta, kecemburuan, kemarahan dan kepedihan dengan sangat baik, sebagaimana penampilannya dalam The English Patient.
Ralph Fiennes |
Buku ini sebagian mungkin berasal dari pengalaman pengarang sendiri, karena tokoh Bendrix adalah pengarang novel dan penulis review. Graham Greene adalah juga penulis novel dan review, yang semula agnostic kemudian menjadi Katolik setelah menikah, mengikuti keyakinan istrinya, Vivian. Ia juga pernah memiliki affair dengan seseorang yang tidak bersedia meninggalkan suaminya.
Novel ini tampaknya mewakili pandangan pengarang yang berpendapat bahwa kehidupan manusia hanya dapat berarti dengan adanya keyakinan kepada Tuhan, meskipun perjuangan untuk percaya adalah sesuatu yang berat.
Sebagian novel ini membuat saya teringat pada The English Patient: kekasih yang kehidupannya tampak agak menyedihkan namun sangat memikat, perempuan pelaku affair yang seolah mendapat hukuman dengan kematiannya, dan kekasih yang diliputi kesedihan dan kekecewaan.
Graham Greene yang berasal dari Inggris (1904-1990) dikenal dengan buku-bukunya yang banyak dijadikan film, antara lain Brighton Rock, The Quiet American, A Gun for Sale dan The Fallen Idol. Setelah pada awal karirnya ia banyak menulis mengenai hal yang berkaitan dengan keyakinan Katolik, tulisannya kemudian lebih bersifat humanis, dengan kisah berlatar negara-negara jajahan di daerah tropis.
3 comments:
ohhh mau beli bukunya nih
Widih, baru tau kalo bukunya Graham Greene udah diterjemahin ;)
Kayaknya udah pernah nonton filmnya deh, baru tahu ini ada bukunya. :))
Post a Comment