Pengarang: Elfriede Jelinek
Penerjemah/Penyunting: Arpani Harun/ Ayu Utami
Penerbit: KPG
Tahun : 2006, Jan
Tebal : 293 hal
Banyak yang menganggap Sang Guru Piano adalah novel yang vulgar. Namun pengarang berhasil mengungkapkan keadaan jiwa-jiwa yang sakit, sehingga membaca novel ini seperti mengalami suatu penderitaan.
Novel ini mengisahkan Erika, seorang profesor di konservatori Wina, yang menjadi guru karena gagal menjadi pemain piano konser. Hidupnya dikendalikan oleh ibunya, meskipun ia telah berusia tiga puluh delapan tahun. Musik bukanlah kesenangan, tetapi kerja keras dan kewajiban, yang ditanamkan oleh ibunya sejak ia kecil. Dominasi ibu yang berlebihan membuat jiwa Erika tertekan dan sakit; ia menunjukkan kekuasaannya di kelas, ia terus membeli baju-baju baru hanya untuk dilihat-lihat, karena ibunya tidak mengizinkan ia memakainya, dan kerap mengunjungi tempat-tempat dimana seks dikomoditikan dan dilakukan secara brutal dan rendah. Erika adalah seorang perempuan yang malang; kesepian, sedih, dan tertindas, namun tidak mampu mengeluarkan diri dari situasi tersebut selain melakukan hal-hal yang semakin menjerumuskan dirinya: menyayat tubuhnya sendiri, menjalin hubungan dengan murid yang jauh lebih muda, dan menginginkan kesadisan dalam hubungan tersebut.
Semua hal di atas digambarkan pengarang secara rinci, tanpa perasaan, tanpa batas, membuat pembaca ikut merasa tertekan hingga jijik dan ingin melempar buku tersebut - terutama pada sepertiga bagian terakhir - karena bahasa yang digunakan tidak ada yang diperhalus, benar-benar seperti uraian tentang bagaimana suatu kegiatan dilakukan belaka dan tindakan para tokoh semakin berlebihan. Pembaca juga sulit untuk bersimpati kepada karakter di dalamnya: baik Erika, ibunya maupun murid Erika tidak memiliki cukup hal-hal baik yang mengundang simpati. Pembaca mungkin merasa kasihan pada nasib Erika yang tertindas, namun caranya mengatasi penindasan tersebut membuat pembaca sulit untuk memahaminya.
Hal menarik dari novel ini adalah tentang akibat kejiwaan dari dominasi ibu terhadap anak perempuannya, dan kontras antara keanggunan musik klasik dan kota Wina dengan kekelaman jiwa Erika sebagai pengajar konservatori serta sisi gelap kota Wina, yang menyimpan kemiskinan para pekerja imigran Turki beserta segala eksesnya yang menyedihkan.
Elfriede Jelinek memperoleh hadiah Nobel pada tahun 2004 untuk “suara dan kontrasuara di dalam novel dan dramanya yang mengalun bak musik, yang dengan semangat penjelajahan bahasanya yang luar biasa menyingkap kehampaan tata krama masyarakat beserta daya cengkeramnya.”
Berdasarkan penjelasan panitia Nobel, maka Sang Guru Piano, yang ditulis pada tahun 1983, dapat dipandang sebagai sebuah kritik terhadap kondisi masyarakat pengarang.
Buku ini juga telah difilmkan dan memperoleh tiga penghargaan dalam Festival Film Cannes 2001.
No comments:
Post a Comment