Judul : Cerita Cinta Enrico
Pengarang: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Tahun : 2012, Feb.
Tebal : 241 hal
Buku ini tampaknya adalah riwayat hidup pasangan pengarang, sekaligus mungkin penjelasan kepada para pembacanya selama ini, mengapa ia yang selama ini dikenal anti pernikahan, akhirnya toh menikah juga.
Riwayat hidup Prasetya Riska, yang dalam novel ini disebut Enrico – nama yang semula ingin diberikan sang ibu untuknya – dikisahkan secara urut, dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia di masa lahir dan kecilnya, dan terutama menceritakan konflik batin seorang laki-laki antara cinta dan pemujaan dengan kemarahan dan kekecewaan pada sang ibu.
Seperti menegaskan teori Freud, dikisahkan bagaimana pengaruh ibu Enrico demikian kuat mempengaruhi jiwanya. Enrico memuja ibunya, yang periang, cerdas dan modern – dalam novel digambarkan dengan bekerja di kantor, mengenakan rok dan sepatu pantovel yang gagah, di saat masih jarang terdapat perempuan bekerja - sampai kemudian kakaknya meninggal dan ibunya yang terlalu sedih kemudian berubah, menjadi penganut aliran Yehova yang fanatik, kehilangan kepribadiannya semula yang menyenangkan, dan berubah sikap kepadanya. Perubahan sifat ibunya karena agama, membuat Enrico membenci agama, berusaha mencari kebebasan jauh dari keluarga, dan tidak ingin terikat. Ia tidak mau menikah, memiliki anak, bekerja di suatu lembaga, atau memiliki anak buah, dan memilih menjadi fotografer lepas. Sampai suatu saat, yaitu ketika kedua orang tuanya telah tiada, ia merasakan kebebasan yang dimilikinya tiada artinya lagi, karena tidak ada siapapun yang dimilikinya.. Saat itulah ia bertemu kekasihnya…sang penulis novel - yang mengingatkannya pada ibunya - yang datang kepadanya begitu saja, seolah ada yang mengirimkannya…
Sangat sederhana. Seperti sebuah kebetulan. Seperti sebuah novel. Bagaimana mungkin dua orang yang sama-sama menghindari ikatan tiba-tiba bertemu begitu saja pada saat yang tepat? Apakah hidup umumnya memang seperti sebuah novel, berisi banyak kebetulan, namun tidak kita sadari? Apakah langkanya suatu kebetulan yang menyenangkan, membuat kehidupan sebagian besar dari kita membosankan atau mengecewakan?
Yang membuat saya teringat tulisan Milan Kundera,”Kehidupan sehari-hari kita dipenuhi dengan kebetulan-kebetulan, atau lebih tepatnya, dengan pertemuan tak disengaja dengan orang lain serta peristiwa-peristiwa yang terjadi kebetulan lainnya yang kita sebut coincidence…dipandu oleh rasa keindahannya, seseorang akan mentransformasikan sebuah kejadian kebetulan menjadi sebuah motif, yang kemudian mengambil tempat permanen dalam kehidupannya. ...Tanpa disadari, seseorang akan menyusun hidupnya mengikuti hukum-hukum keindahan walau dalam keadaan yang paling menyusahkan sekalipun.”
No comments:
Post a Comment