Penerbit: Harvard Univ. Press
Tahun : 2003
Tebal : 256 hal
Banyak yang beranggapan bahwa kehidupan manusia sewaktu masih menjadi pemburu-pengumpul dan hidup dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah sekitar 30-40 orang cukup damai dan selaras dengan alam, seperti kehidupan suku Bushman di Afrika masa kini.
Namun menurut LeBlanc, berdasarkan hasil penelitian arkeologi, gambaran di atas adalah mitos belaka, karena bahkan sejak zaman prasejarah manusia tidak pernah dapat menjaga alam lingkungan dan mengendalikan pertumbuhan populasinya, sehingga selalu terjadi peperangan untuk memperebutkan sumber daya alam yang terbatas. Dengan demikian, bukan manusia modern saja yang tidak bisa menjaga lingkungan, namun juga protohuman dan kaum pemburu-pengumpul.
Untuk membuktikan pernyataannya, LeBlanc menguraikan hasil-hasil penggalian terhadap fosil manusia purba dan tempat tinggalnya dalam jangka waktu hingga satu juta tahun yang lalu, terutama seratus ribu tahun ke belakang yang terdapat di berbagai belahan dunia.
Dalam setiap penggalian, selalu ditemukan tanda-tanda kekerasan yang menunjukkan konflik yang dapat disebut perang. Misalnya goresan pada tulang, sisa tulang manusia yang diambil sumsumnya (pertanda kanibalisme, yang biasanya dilakukan terhadap musuh), tumpukan batu runcing (untuk senjata) atau lembing serta perisai yang dibuat sangat teliti bahkan oleh kaum pemburu pengumpul seperti suku Aborigin. Selain itu, tempat tinggal yang dibuat di atas tebing terjal, bekas tempat tinggal yang terbakar dan tampak ditinggalkan terburu-buru, serta bermacam benteng semuanya menunjukkan bahwa peperangan merupakan bagian dari hidup sehari-hari.
Penemuan tersebut, dikaitkan dengan waktu perubahan iklim, jumlah penduduk, kebangkitan dan keruntuhan kota-kota serta penelitian terhadap suku pemburu-pengumpul dan masyarakat tradisional lainnya yang masih ada sampai dengan abad 19 dan 20 membawa penulis berkesimpulan bahwa peperangan telah melekat dalam kehidupan manusia, yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan populasi, sehingga wilayah mereka melebihi carrying capacity, meskipun masing-masing memiliki berbagai cara untuk menekan populasi, antara lain dengan infanticide (pembunuhan anak), penjarangan jarak kelahiran, selibat.
Untuk menelusuri penyebab agresivitas manusia ini, LeBlanc mencoba membandingkan dengan hasil penelitian terhadap primata lain yang terdekat, yaitu simpanse. Sudah lama diketahui para ahli bahwa simpanse memiliki banyak sifat yang mirip dengan manusia, antara lain simpanse adalah satu-satunya mamalia yang menyerang sesama spesiesnya untuk mengambil-alih wilayah kelompok lainnya, dengan membunuh semua anggota kelompok lain satu-persatu hingga habis secara bersama-sama, dengan cara yang mengingatkan pada cara manusia menghabisi musuhnya. Simpanse juga membunuh anak-anak musuhnya. Sebaliknya, bonobo memiliki cara hidup yang berbeda, yaitu jauh dari kekerasan. Mungkinkah agresivitas pada manusia dan simpanse terseleksi oleh gen?
Penulis membagi pembahasannya sesuai tahap perkembangan masyarakat. Pertama yaitu tahap pemburu-pengumpul (satu juta hingga seratus ribu tahun yang lalu), tahap pertanian (dimulai sepuluh ribu tahun yang lalu), tahap chiefdom, tahap state (dimulai tiga ribu tahun yang lalu di Mesir), dan tahap complex society.
Semakin tinggi tahap yang dilalui, semakin besar tekanan populasi, kerusakan alam dan intensitas peperangan. Namun frekuensi perperangan semakin menurun, karena masyarakat kompleks memiliki pemerintahan yang lebih efektif dan berkuasa, sehingga dapat menekan sebagian masyarakat – misalnya petani – yang ingin berontak dan membiarkan mereka kelaparan. Selain itu, dibandingkan kehidupan tahap pemburu pengumpul atau tahap pertanian dimana semua pria sewaktu-waktu harus berperang, dengan tingkat kematian rata-rata 25%, pada tahap state atau complex society tingkat kematian dan proporsi penduduk pria yang terlibat perang sangat kecil. Dengan demikian maka dibandingkan ribuan tahun lalu kekerasan di masa kini telah jauh menurun. Kekerasan hanya terjadi secara lokal di beberapa wilayah, yang apabila diteliti merupakan daerah yang mengalami krisis sumber daya atau terdapat permusuhan lama. Misalnya wilayah Afrika atau Timur Tengah. Wilayah Timur Tengah merupakan wilayah pertama yang mengenal pertanian yaitu sejak sepuluh ribu tahun yang lalu, sehingga tingkat kerusakan alamnya paling parah. Disamping itu terdapat permusuhan lama yang berkaitan dengan ideologi.
Memang, apabila kita membaca sejarah, maka yang terlihat hanyalah perang dan perang yang silih berganti dengan kekejaman yang tak terperi untuk ukuran saat ini. Juga apabila kita membaca kehidupan suku pemburu pengumpul yang masih ada, misalnya di Papua atau Amazon, maka kekerasan atau perang menjadi bagian hidup sehari-hari, kecuali setelah mereka bersentuhan dengan dunia luar.
Menurut LeBlanc, semua kekerasan atau perang pada dasarnya bersumber dari pertumbuhan populasi, yang membuat sumber daya yang ada (makanan, wilayah) tidak cukup. Namun pertumbuhan populasi tidak dapat dikendalikan oleh satu pihak saja, karena apabila pihak lain tidak menekan populasinya, maka pihak yang populasinya stabil tidak dapat menahan ekspansi pihak lain yang memiliki populasi lebih besar. Itu sebabnya hampir semua wilayah di dunia tidak dapat mengendalikan populasinya. Selain itu, manusia pada umumnya tidak memiliki kemampuan mengantisipasi masalah tekanan populasi atau kerusakan lingkungan jauh hari sebelumnya.
Uraian LeBlanc sepanjang buku mengingatkan pada Collapse oleh Jared Diamond, namun apabila menurut Diamond tekanan populasi dan kerusakan lingkungan mengakibatkan keruntuhan suatu bangsa, menurut LeBlanc hal tersebut mengakibatkan perang terus menerus.
Meskipun sepanjang buku tergambar sejarah manusia yang lekat dengan pertempuran terus menerus atau constant battles, pada bagian akhir penulis mencoba untuk bersikap optimis dengan menguraikan bahwa dengan teknologi yang dimiliki saat ini maka pengendalian populasi dan pelipatgandaan produksi dapat dilakukan, sehingga perang akan dapat diturunkan secara drastis dan kerusakan lingkungan lebih jauh dapat dihindarkan. Benarkah? Mungkin benar apabila semua negara di dunia telah mencapai tahap seperti Eropa, AS dan Jepang dimana jumlah populasi relatif stabil bahkan menurun, teknologi telah tinggi dan masyarakatnya terdidik, serta penyebab konflik hanya disebabkan oleh perebutan sumber daya. Namun masih banyak negara yang tidak bersedia mengendalikan populasinya, berteknologi rendah, dengan ideologi atau tahap masyarakat yang tidak mendukung konservasi alam atau perdamain, sehingga harapan penulis tampaknya terlalu optimis, dan perang tampaknya masih akan menjadi bagian dari kehidupan manusia di banyak wilayah.
No comments:
Post a Comment