Judul : God Against the Gods - The History of the War between Monotheism and Polytheism
Pengarang : Jonathan Kirschtof
Penerbit : Viking Compass
Tahun : 2004
Tebal : 336 hal
Darimanakah asalnya intoleransi dan perang agama? Monoteisme.
Melalui penelitian terhadap sejarah Mesir, penulis mengemukakan bahwa monoteisme bukanlah dimulai dari munculnya agama yahudi-kristen-islam. Firaun Anekhaton adalah orang pertama yang menganut monoteis, dengan menyingkirkan dewa-dewa lain dan hanya menyembah satu dewa yaitu Aton, dewa matahari. Bahkan ia memindahkan istananya ke tempat baru dan mengajak rakyatnya menyembah satu dewa saja. Namun Anekhaton tidak berhasil. Setelah kematiannya, istananya ditinggalkan dan rakyatnya kembali menyembah banyak dewa.
Hal yang menarik, meskipun polytheisme selalu diasosiasikan dengan kekejaman, pengurbanan manusia, dan kurangnya moralitas, namun prinsip dasarnya adalah toleransi. Merujuk pada kekaisaran Romawi sebelum berkuasanya Constantine, penulis menunjukkan, prinsip dasar dari kekaisaran tersebut adalah setiap orang bebas untuk menjadi pemuja dewa manapun atau tidak sama sekali. Semua kepercayaan dianggap benar, oleh karena itu semua dewa dihargai dan dipuja – dibuatkan patungnya dan diberi persembahan. Menghormati dewa-dewa juga dianggap merupakan kewajiban sosial sebagai warga negara. Masyarakat Romawi juga memiliki standar moral tertentu yang tidak jauh berbeda dengan moralitas yang kita anggap wajar, dan ritual yang berlebihan dan bersifat menyimpang juga dikendalikan pelaksanaannya oleh kaisar.
Keadaan di atas berubah setelah muncul agama Kristen yang bersifat monoteis. Penganut Kristen yang pertama menganggap politeisme salah dan sama sekali tidak menghormati kepercayaan tersebut, sehingga bagi Romawi mereka dianggap tidak memiliki kepatutan sebagai warga negara yang baik dan karenanya merupakan ancaman bagi negara.
Sifat monoteis yang merasa paling benar dan menganggap lainnya salah berkaitan dengan sifat totaliarisme, yang hanya mengakui satu Tuhan, satu raja, disertai dengan kehendak untuk memaksakan keyakinan kepada orang lain, jika perlu dengan menunjukkan diri sebagai martir, dan selanjutnya dengan kekerasan. Semua ini sesuatu yang baru dan asing bagi politeis dan masyarakat Romawi.
Keadaan di atas semakin memburuk ketika Constantine dan keturunannya menjadikan Kristen sebagai agama negara dan berusaha melenyapkan politeisme dengan menutup dan menghancurkan patung dan kuil-kuil serta melarang pengajaran sastra Yunani seperti karya-karya Homer yang menurut mereka bersifat politeis.
Mengenal sastra Yunani bagi masyarakat Romawi merupakan ukuran keberadaban seseorang dan salah satu sumber pelajaran untuk pembentukan karakter. Bagaimana mungkin penguasa Kristen melarang peradaban tinggi mereka sendiri? Masyarakat Romawi tidak percaya kitab suci saja dapat menghasilkan masyarakat yang baik sebagaimana telah berhasil dilakukan karya sastra dan filsafat mereka.
Konflik antara kedua hal di atas mencapai puncaknya dengan pembunuhan terhadap Hypathia – filsuf pagan terakhir – dan pembakaran perpustakaan Alexandria. Setelah itu mulailah pemaksaan dengan kekerasan untuk menganut satu agama tertentu dan lenyapnya pemikiran Yunani serta toleransi yang menjadi dasar budaya Romawi, yang kemudian dikenal dengan abad kegelapan.
Barat baru kembali bangkit setelah mempelajari kembali pemikiran Yunani dari buku-buku yang dipelihara oleh peradaban Islam setelah perang salib.
Membaca sejarah ini mengingatkan saya pada keadaan di Jawa. Mengapa Islam di Indonesia, khususnya Jawa, sangat berbeda dengan Islam di negara-negara lain, yaitu sangat toleran? Mungkin karena ia tidak disebarkan hanya dengan kekerasan. Sebelum Islam masuk, masyarakat yang beragama Hindu – seperti halnya masyarakat Romawi dengan mitologinya – telah memiliki mitologi sendiri (yang tercermin dalam budaya wayang) yang berfungsi sebagai pembentuk karakter dan moralitas, dan tidak seperti di Romawi, mitologi ini tidak dilarang atau dilenyapkan ketika muncul agama baru. Dengan demikian sifat monoteis yang keras dan tanpa kompromi masih didampingi oleh budaya lama, dalam hal ini sastra dan filsafat yang bersifat politeis, sehingga yang muncul adalah penganut agama yang toleran dan berbudaya.
Bandingkanlah hal ini dengan daerah lain di Indonesia yang tidak memiliki dasar budaya ini, tampak bahwa sifat beragamanya cenderung lebih keras atau fanatik.
Mungkinkah ini dapat menjelaskan mengapa kini fanatisme tampak lebih mudah bangkit? Apakah semakin jauhnya generasi masa kini dari budaya Jawa yang dididik dengan kearifan dari mitologi lama (misalnya wayang) tanpa ada pengganti – misalnya sastra Yunani – membuat mereka kehilangan kearifan, kebijaksanaan dan toleransi sehingga mudah menjadi fanatik?
No comments:
Post a Comment