Pengarang : Wilfred Thesiger
Tebal : 325 hal dan 250 hal
Penerbit : Folio Society, London
Tahun : 2005
Edisi : Hardcover dengan slipcase, ilustrasi foto hitam putih 10 halaman
Ini adalah kisah Thesiger - penjelajah (eksplorer) Inggris terkenal terakhir yang menjelajahi tanah Arab – di Arab Saudi dan Irak. Penjelajah sebelumnya seperti Richard Burton – yang menerjemahkan buku 1001 Malam – melakukan perjalanannya pada abad 19. Wilfred Thesiger melakukannya pada abad 20, yaitu antara tahun 1950 – 1955 di gurun pasir Arab, khususnya di Empty Quarter, bagian selatan Arab Saudi, hingga wilayah Uni Emirat Arab. Selain itu ia menjelajahi bagian selatan wilayah Irak, suatu daerah rawa tempat tinggal kaum Kurdi. Dalam kedua penjelajahan tersebut ia tinggal dan hidup seperti penduduk asli Arab (bangsa Bedui) dan Irak serta mengabadikannya dalam sekitar 30 ribu foto selain buku, yang sangat berharga saat ini, karena setelah itu modernisasi mengubah semuanya, baik gaya hidup penduduknya maupun alam gurun pasir dan rawa. Gurun pasir Arab sebagian menjadi ladang minyak, jalan raya dan kota-kota modern, dan penduduk daerah rawa Irak telah jauh menyusut jumlahnya dengan lingkungan yang rusak setelah terus menerus diserang semasa pemerintahan Saddam Husein.
Menurut Tim, penulis kata pengantar buku ini, Thesiger adalah seorang romantis yang mengagumi suku-suku yang hidup dengan penuh keterbatasan di wilayah yang keras, khususnya suku Bedui, yang mampu bertahan hidup di wilayah gurun pasir yang kejam dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu dalam buku ini kita akan membaca bagaimana Thesiger melakukan perjalanan bersama mereka dengan menggunakan unta, berlayar dengan kapal bora terakhir yang masih ada di abad 20, memakai pakaian dan sepatu Arab, membawa bahan makanan secukupnya yang dimasak di perjalanan ditambah berburu binatang setempat jika ada, minum air yang pahit dari oase, memberi minum unta dari sumur dengan susah payah, mengalami kelaparan, kehausan dan kedinginan. Penderitaan ini biasa bagi suku Bedui. Namun mereka tidak mengeluh dan lebih mencintai gurun pasir daripada kota, karena di gurun pasir terdapat kebebasan.
Buku Arabian Sands adalah buku yang paling terkenal dari penjelajahannya. Dalam buku ini Thesiger banyak menggambarkan kebaikan sifat-sifat suku Bedui - antara lain teman seperjalanannya - yang bersifat pemberani, bebas, tangguh menghadapi keganasan alam dan tidak fanatik, sekalipun mereka sangat miskin dan bahkan buta huruf. Bagi Thesiger gurun pasir yang sepi dan luas adalah tempat paling ideal dimana seseorang dapat menemukan kebebasan sejati dan tempat yang memungkinkan munculnya sifat-sifat baik penduduknya, karena hanya mereka yang tahan menderita dan mengatasi keganasan alam yang dapat bertahan.
Buku lainnya, The Marsh Arab mengisahkan perjalanan Thesiger ke wilayah selatan Irak pada tahun 1955. Wilayah tersebut terdiri dari rawa dengan rumah-rumah sederhana yang didirikan mengapung di atasnya, terdiri dari berbagai macam suku yang dipimpin oleh para sheikh, yang mengatur irigasi, perdagangan, dan menangani perselisihan atau masalah hukum lain dari warganya. Rumah-rumah di wilayah ini terbuat dari sejenis alang-alang yang tumbuh di rawa tersebut, dengan ternak utama kerbau, yang selain berfungsi untuk diambil susunya juga dapat dipekerjakan di sawah. Penduduk sangat miskin dan sederhana, namun Thesiger tinggal disana selama delapan tahun, makan bersama mereka, bahkan memberikan pengobatan dan sunatan bagi para anak laki-laki secara cuma-cuma. Perubahan politiklah yang membuat Thesiger tidak dapat kembali.
Membaca buku-buku Thesiger sangat menarik namun juga agak menyedihkan bagi saya. Thesiger mungkin terlalu ekstrim karena ia membenci semua teknologi termasuk kendaraan bermotor dan sangat pesimis karena tidak yakin dalam 100 tahun mendatang manusia masih dapat bertahan di planet bumi. Namun membaca bukunya dapat mengingatkan kita akan betapa banyaknya yang telah hilang dan rusak selama 30 tahun terakhir di alam sekeliling kita dan betapa sayangnya semua itu terjadi.
Saya jadi ingat kota-kota tempat saya tinggal sewaktu kecil dulu dan suasananya… betapa berbedanya dengan saat ini. Ketika saya ke Balikpapan, Puncak, Bandung, Malang, dan melihat Jakarta kini, seperti Thesiger, saya tidak merasa senang. Kesedihan itu mungkin karena banyak hal yang menurut saya seharusnya dipelihara atau dipertahankan telah hilang, khususnya keindahan alam, kesederhanaan kota-kota. Sehingga saya merasa sedih ketika melihat pohon bakau di pantai Balikpapan telah hilang, pohon pinus di Puncak hampir lenyap, Bandung menjadi macet, panas dan penuh toko, Malang semakin banyak mall, jalanan di Jakarta semakin padat dan kotor oleh kendaraan serta tepinya semakin penuh dengan bangunan kumuh, dan penduduk Indonesia semakin materialistis..
Hal lainnya yang dapat diambil dari buku Thesiger, mungkin kita perlu juga membuat dokumentasi alam dan kebudayaan suku-suku di Indonesia dengan rinci, sebelum mereka rusak atau punah ditelan modernisasi dan keserakahan masyarakat lainnya…
Sebagai penjelajah terkenal,Thesiger yang meninggal pada tahun 2003 dalam usia 93 tahun mendapakan gelar ksatria (Sir) dan pada tahun 1997 pernah berkunjung ke Abu Dhabi atas undangan raja Uni Emirat Arab serta bertemu kembali dengan teman-teman seperjalanannya selama di gurun Arab. Namun seperti ditulisnya, kesan yang diperoleh empat puluh tahun yang lalu tersebut tidak mungkin bisa kembali lagi, karena segalanya telah berubah… Teman suku Bedui tersebut dan gurun pasir Arab tidak sama lagi seperti dulu, mereka telah menjadi modern. Thesiger di masa tua juga tidak menjelajah lagi dan hidup tenang di sebuah kota suburb di Inggris.
Terlepas apakah Thesiger mendramatisir kesannya atas suku Bedui atau bangsa Irak selatan, seperti kita mendramatisir tenangnya hidup masyarakat desa pada zaman dahulu, buku ini tetaplah mengesankan.
Bacalah bukunya, buku kisah penjelajahan ini rasanya seperti puisi, karena menimbulkan banyak perasaan kehilangan bagi pembacanya.
No comments:
Post a Comment