Sunday, March 18, 2012

Sebutir Peluru dalam Buku


Judul    :        Sebutir Peluru dalam Buku – Kumpulan Cerpen
Pengarang:  Olyrinson
Penerbit:      Palagan Press, Pekanbaru
Tahun   :       2011, April
Tebal    :       108 hal


Tidak banyak kumpulan cerpen yang cerpen-cerpen di dalamnya memiliki kualitas setara. Seperti album lagu, pada umumnya hanya terdapat beberapa cerpen yang bagus, sebagian besar lainnya kurang, sehingga sering membuat kecewa.

Tidak demikian halnya dengan Sebutir Peluru. Selain temanya sejenis, kualitasnya juga merata, sehingga membaca empat belas cerpen dalam buku ini tidak mengecewakan. Tidak mengherankan juga, karena ternyata sebagian besar diantaranya pernah memenangkan lomba sayembara.

Tema dari seluruh cerpen yang terdapat dalam buku ini adalah penderitaan rakyat akibat kesewenang-wenangan penguasa dalam menjual tanah air, dengan menyingkirkan rakyat dari tanah adat mereka untuk perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan minyak, khususnya di wilayah Riau.

Kisah-kisah kemiskinan dan penderitaan yang terdapat dalam kumpulan ini mungkin tampak ekstrim, namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan realitas yang tampil dalam acara “Jika Aku Menjadi” yang dihadirkan setiap hari melalui televisi. Disamping itu, dalam pengantarnya, pengarang menulis, “Kumpulan cerpen ini, adalah hampir seluruhnya realita. ….Karena begitu banyak kesusahan, kesengsaraan, air mata yang tumpah di negeri yang sangat saya cintai ini.”

Hampir semua cerpen mengambil sudut pandang seorang anak. Cerpen pertama tentang kegugupan seorang anak yang  berburu rusa sendirian untuk mencari nafkah karena ayahnya harus melawan pabrik gula yang merampas tanahnya. Cerpen berikut tentang seorang anak yang berusaha mencari nafkah dengan memperbaiki jalan karena ayahnya ditahan akibat mencuri kayu, disebabkan tanah mereka telah dirampas. Dua cerpen lainnya adalah kisah tentang perjuangan para wanita miskin berjuang hidup. Kisah-kisah lainnya adalah tentang penderitaan seorang anak yang ayahnya ditembak mati karena mencuri kelapa sawit, pipa bekas milik perusahaan minyak, kawat listrik, aluminium. Kisah paling mengharukan adalah tentang seorang anak yang terpaksa hendak menjual trenggiling kesayangan adiknya karena ayahnya ditangkap, namun tak berhasil karena adiknya melepas hewan tersebut, dan kisah tertembaknya seorang anak yang berusaha menyelamatkan gajah yang hendak dibunuh sebuah perusahaan minyak.

Meskipun semua kisahnya berakhir tragis, namun penulis tidak menyampaikannya secara berlebihan, meskipun ada beberapa yang seperti didramatisir, misalnya gambaran keluarga sangat miskin yang memiliki banyak anak, termasuk bayi (jumlah anak memang hanya akan menurun jika ekonomi membaik, lagipula tidak ada program pengendalian kelahiran lagi).  Cerita berjalan cepat dan cukup ringkas, namun menyisakan kesedihan yang dalam bagi pembacanya. Mungkin itulah kelebihan sastra dari berita: dapat membuat kita merasakan penderitaan orang lain, kehidupan orang lain.

Namun benarkah permasalahan perampasan tanah dan penderitaan rakyat demikian parah di Riau? Saya mencoba mencari datanya.
Menurut Jikalahari dan Kelompok Advokasi Masyarakat Riau, sampai dengan tahun 2007 jumlah hutan alam yang tersisa tinggal 2.254.188 hektar atau 25 % dari luas daratan Riau, dengan laju kerusakan hutan akibat perluasan perkebunan  sawit dan HTI secara massif mencapai 160 ribu hektar per tahun. Penyebabnya antara lain adalah target 6 juta hektar kebun sawit pada tahun 2015 oleh Presiden SBY. Sedangkan luas kebun sawit saja di Riau pada tahun 2010 telah mencapai 2,7 juta hektar.
Sementara itu pada tahun 2007 terdapat  35 sengketa lahan antara petani dan perusahaan sawit, yang meningkat menjadi 52  kasus pada tahun berikutnya. Sengketa tanah ini seringkali menimbulkan korban jiwa maupun harta benda rakyat di sekitar perkebunan. Misalnya konflik  di desa Batang Kumu, yang berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, sengketa tanah antara penduduk dengan perusahaan sawit di daerah tersebut mengakibatkan penembakan, penangkapan dan pembakaran puluhan rumah rakyat. Dapat dibayangkan bahwa  penanganan puluhan kasus lainnya tidak jauh berbeda pula.
Berdasarkan data-data di atas, maka cerpen-cerpen Olyrinson merupakan gambaran dari kondisi masyarakat asli Riau yang terpinggirkan dan termiskinkan akibat dirampasnya tanah-tanah mereka oleh pengusaha perkebunan atau sumberdaya alam lainnya yang didukung oleh aparat negara.
Sebuah realitas menyedihkan yang harus dihadapi rakyat negara kita, dan bukan saja di Riau, tetapi juga di wilayah lain Indonesia yang sumberdaya alamnya dieksploitasi habis-habisan. Kumpulan cerpen ini adalah suara rakyat yang tertindas.

No comments: