Thursday, October 27, 2011

ALL THINGS MUST FIGHT TO LIVE


    
    Judul : All Things Must Fight To Live –  Kisah
    tentang perang  dan pembebasan di Kongo 
    Pengarang : Bryan Mealer
    Penerjemah: Utti Setiawati
    Penerbit : Elex Media Komputindo
    Tahun : 2011, Juli
    Tebal : 430 hal


Bagaimanakah kehidupan reporter di medan-medan perang yang jauh, brutal dan terlupakan oleh dunia? Apa yang menarik mereka menempuh bahaya tinggal berbulan-bulan di wilayah yang hanya bersedia dikunjungi oleh pengamat dan pasukan PBB? Bagaimana kondisi negara tersebut saat ini, masihkah diliputi kegelapan? Semua pertanyaan tersebut dikisahkan oleh reporter perang Bryan Mealer dengan sangat menarik dalam buku ini.

Mealer mengunjungi Kongo antara tahun 2003 hingga pertengahan 2007 untuk meliput perang saudara di negara tersebut yang terus menerus terjadi sejak kemerdekaannya pada tahun 1962 dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 dengan korban jutaan jiwa. Negara dengan penduduk 72 juta jiwa dan luas 1,3 juta ha tersebut mewarisi kebrutalan perdagangan budak oleh Afro Arab serta penjajahan Raja Leopold dan Belgia dengan praktek perdagangan karet dan gading pada abad 19, kemudian perebutan pengaruh AS dan Soviet saat perang dingin, dan terakhir perebutan sumber daya alam berupa emas dan mineral lainnya disertai konflik antar etnis yang melibatkan beberapa negara tetangga seperti Uganda, Rwanda, Angola, serta korupsi akut yang menghancurkan negeri tersebut ke titik nadir.
Jumlah penduduk di wilayah Afrika lebih kurang satu miliar, sekitar seperempat hingga sepertiganya terlibat perang saudara berkepanjangan.  

Kisah dimulai dengan uraian Mealer saat meliput perang di timur Kongo (Bunia) pada tahun 2003 ketika terjadi pemberontakan suku Lendu melawan suku Hema. Ia mnguraikan dengan rinci kekejaman tak terperikan dari perang tersebut, namun tak pernah dapat memahami tujuannya. Apakah hanya untuk merebut emas yang tak seberapa? Mengapa tidak memerangi penguasa yang korup? Mengapa kelimpahan sumberdaya alam seolah selalu menjadi kutukan bagi pemiliknya? Mengapa manusia bisa demikian saling membenci? Darimana kekejaman dan kebrutalan yang demikian dalam itu muncul, bahkan pada anak-anak? Bagaimana manusia (para korban perang) bisa sedemikian menderita? Rincian liputannya tentang perang ini bisa membuat kita kembali teringat akan the problem of evil dalam filsafat.

Selanjutnya Mealer meliput wilayah barat, yaitu di ibukota, Kinshasha pada tahun 2004 untuk melihat pelaksanaan pemilu. Tahun 2006 ia kembali ke Bunia meliput upaya penyerahan diri pemmpin pemberontak terkejam bernama Cobra bersama pasukan perdamaian PBB dari Afrika Selatan dan Bangladesh.

Setelah perang mulai mereda, pada tahun itu juga bersama seorang pemuda Kinshasha dan reporter Italia ia naik kapal menyusuri sungai Kongo dari Kinshasha ke pedalaman sepanjang 1.734 kilometer hingga kota Kinsangani, tempat agen Crutz dalam novel Heart of Darkness (telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) mendirikan rumahnya yang dihiasi kepala manusia. Namun perjalanan 400 kilometer terakhir terpaksa dilalui dengan sepeda melewati desa-desa yang berada di dalam hutan.

Petualangan Mealer di Kongo diakhiri dengan naik kereta api di wilayah selatan menuju utara selama berhari-hari. Suatu perjalanan yang menimbulkan rasa frustrasi, karena hampir seluruh kereta tidak beroperasi disebabkan korupsi akut, demikian pula pabrik-pabrik tidak berjalan karena sebab yang sama, sehingga para pegawai mendambakan kembalinya orang kulit putih. Namun Mealer tidak hanya menceritakan kehancuran, pada akhir perjalanan ini ia mencoba untuk melihat harapan bagi negeri tersebut: dari para pedagang kecil yang gigih berusaha menembus pedalaman melalui sungai dengan kapal rakyat atau melalui jalan hutan, rakyat yang mulai pulang ke kampung halamannya setelah terpisah oleh perang, mulai dioperasikannya satu kereta penumpang, meskipun tersendat-sendat...

Tulisan Mealer mengesankan karena selain liputannya cukup rinci, ia juga melukiskan kehidupan sehari-hari para reporter di medan perang, dan bagaimana akhirnya kondisi tersebut mempengaruhi cara hidup dan perasaan penulis, seolah ia sendiri turut menjadi korban.
Hal menarik lainnya, entah kenapa, keruntuhan kondisi Kongo yang diuraikan penulis banyak mengingatkan saya pada negeri sendiri... seolah sedang menuju ke arah kehancuran yang sama, namun tanpa peperangan...

No comments: