Thursday, September 21, 2006

WAJAH LIBERAL ISLAM DI INDONESIA

Penyunting : Luthfi Assyaukanie
Penerbit : Jaringan Islam Liberal (JIL)
Jml hal. : 309 halaman
Tahun : 2002

Di tengah kecenderungan meningkatnya radikalisme dan pemahaman Islam yang lebih keras yang antara lain ditandai dengan semakin banyaknya pemakaian baju muslim, penafsiran literal atas Al Qur'an, dan kecenderungan untuk membagi masyarakat dalam kotak-kotak agama serta menyalahkan segala kegagalan bangsa ini karena tidak menerapkan syariat, buku ini menjadi penting karena menyuarakan Islam yang lain, yang berlawanan dengan kecenderungan di atas. Islam liberal mengajak umat Islam untuk menafsirkan kembali teks kitab suci secara kontekstual, mendorong emansipasi perempuan, dan mendukung sekularisme serta toleransi beragama yang lebih besar.
Buku ini merupakan kumpulan artikel yang pernah dimuat di Jawa Pos dan diskusi Jaringan Islam Liberal (JIL), terdiri dari 27 artikel, tiga wawancara dan 6 topik diskusi, baik off-line maupun on-line. Tema artikel terdiri dari : Wacana Islam liberal, Syariat Islam dan demokrasi, emansipasi perempuan, dan pluralitas agama, Konsep Tuhan, agama dan kitab suci. Topik wawancara antara lain mengenai Penerapan Syariat Islam di Indonesia, Emansipasi dan Hak-hak Perempuan, dan Pluralitas dan hubungan antar agama.
Apakah yang dimaksud dengan Islam liberal ? Menurut penyunting buku ini, Islam liberal adalah Islam yang mengutamakan semangat dasar Islam tentang keadilan dan persamaan, oleh karena itu penafsiran sebagian ulama klasik yang tidak sejalan dengan semangat dasar di atas wajib ditinjau ulang, dalam hal ini termasuk mengenai konsep negara Islam dan hak-hak perempuan. Selain itu kitab suci tidak dapat ditafsirkan secara literal, karena turunnya Alquran berlangsung secara bertahap selama 23 tahun dan sebagian merupakan jawaban atas permasalahan pada zaman tersebut, sehingga tidak dapat dilepaskan dari unsur sejarah pada masa itu bahkan kondisi lingkungan (tempat) diturunkannya, oleh karena itu tidak dapat begitu saja diterapkan untuk masa kini tanpa penafsiran ulang karena kondisinya telah sangat jauh berbeda. Kitab suci lebih bermakna sebagai kitab moral.
Pendapat di atas tentu saja tidak menyenangkan bagi mereka yang bermaksud mendirikan negara Islam dengan menerapkan syariat Islam berdasarkan kitab suci Alquran, yang dianggap telah lengkap dan dapat menjawab seluruh aspek permasalahan kehidupan manusia sepanjang zaman. Islam liberal menganggap Alquran saja – apalagi ditafsirkan secara literal – tidak memadai untuk menjawab kompleksitas kehidupan di zaman modern, karena itu urusan negara harus dipisahkan dari agama.
Dalam bagian pertama mengenai wacana Islam liberal, diuraikan permasalahan yang dihadapi umat Islam masa kini yang mendorong perlunya penafsiran terus menerus terhadap kitab suci. Permasalahan tersebut antara lain kondisi masyarakat yang bersifat heterogen (pluralis), timbulnya emansipasi perempuan, dll. Penafsiran kembali terhadap Alquran meliputi meneliti kembali konteks sejarah saat diturunkannya, sehingga dapat diketahui mana ajaran-ajaran yang bersifat lokal (tradisi Arab) dan yang bersifat universal.
Sejalan dengan hal di atas, pada bab berikutnya yang membahas mengenai syariat Islam dan demokrasi maka Islam liberal (Saiful Muljani) berpendapat bahwa penerapan syariat Islam tidak sejalan dengan demokrasi, karena dalam masyarakat demokrasi tidak boleh ada kekuatan primordial (a.l. agama) yang memaksakan diri menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain di dalam wilayah publik. Penulis lainnya menyatakan, bahwa prinsip dan substansi demokrasi yang mensyaratkan adanya persamaan, non diskriminasi dan kebebasan individu, sulit diterapkan dalam negara yang menerapkan syariat Islam. Selain itu dalam demokrasi negara tidak boleh digunakan sebagai instrumen ajaran tertentu, karena akan melanggar netralitas negara dalam hal keharusan memberi perlakuan yang sama terhadap kemajemukan agama dan bermacam tafsiran dalam satu agama serta kebebasan setiap individu untuk mengikutinya. Masalah lainnya adalah beragamnya penafsiran akan syariat Islam, sehingga syariat Islam yang bagaimana yang akan diterapkan ?
Bagian berikutnya tentang emansipasi perempuan menguraikan secara singkat sejarah kondisi perempuan yang pada masa Nabi cukup aktif di bidang sosial, politik, agama namun setelah Nabi wafat berangsur-angsur semakin mundur yang mencapai puncaknya pada pertengahan abad 13 di zaman Abbasiyah dengan system haremnya. Pada masa inilah muncul tafsir-tafsir Alquran klasik yang mengabaikan kesetaraan gender dan merendahkan perempuan. Meskipun kemudian terdapat pemikir yang berupaya mengembalikan posisi perempuan seperti pada zaman Nabi, namun tafsir klasiklah yang umumnya digunakan oleh negara-negara yang menerapkan syariat Islam, seperti Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Sudan, dll, termasuk beberapa daerah di tanah air seperti Aceh. Bentuknya antara lain kewajiban pemakaian jilbab dan pembatasan ruang gerak.
Artikel lainnya mengenai konsep Tuhan dan kitab suci menekankan kembali perlunya penafsiran atas Alquran dengan mempelajari konteks kesejarahan turunnya Alquran serta pentingnya menjaga toleransi antar agama.
Hal yang cukup menarik dari buku ini adalah wawancara dan diskusi antara para anggota Islam liberal. Wawancara dan diskusi ini mampu memberikan gambaran yang lebih mendalam kepada pembaca mengenai para pendiri dan anggota Jaringan Islam Liberal, sehingga kita mengetahui bahwa diantara mereka terdapat yang sangat rasional dan liberal namun ada pula yang masih sedikit konservatif.
Buku ini akan sangat menarik bagi mereka yang mampu bersikap rasional dan terbuka. Namun pemikiran Islam liberal tidak disukai oleh mereka yang bersifat dogmatis dan beranggapan bahwa Alquran sangat suci sehingga tidak dapat ditafsirkan lagi, atau bahwa penerapan syariat Islam merupakan satu-satunya cara membangun negara dan umat yang baik. Tidak mengherankan, artikel pendiri JIL yaitu Ulil Abshar-Abdalla di suatu harian beberapa waktu yang lalu sempat menimbulkan reaksi keras bahkan ancaman hukuman dari Islam garis keras. Tampaknya memang demikianlah nasib bagi umat Islam yang mencoba bersikap rasional. Hal ini pernah pula menimpa Ahmad Wahib, penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam. Yang menjadi pertanyaan, apakah memang sebagian besar umat Islam sama sekali tidak bersedia menggunakan rasio sedikit pun dalam beragama ? Menurut saya, bagi negara seperti Indonesia yang bersifat heterogen baik dari segi suku bangsa, agama dan adat istiadat, pemahaman Islam seperti JIL adalah yang paling sesuai, karena memberikan kebebasan berpikir dan bertindak bagi setiap warga negara tanpa kehilangan agama yaitu Islam. Kebebasan berpikir adalah syarat pertama untuk memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagaimana telah dibuktikan oleh negara-negara Barat.

No comments: