Thursday, September 21, 2006

SANG PEMIMPI

Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Tebal : 280 halaman
Tahun : 2006

Buku ini mungkin tidak hanya novel, tetapi juga memoir penulisnya, menceritakan masa sejak remaja hingga dewasa.

Bagian awal berkisah tentang perjuangan tiga orang sahabat, dua orang diantaranya anak seorang pegawai miskin di Belitung dalam usahanya agar dapat tetap bersekolah. Untuk itu Ikal, nama tokoh dalam buku ini, bersama dengan saudara angkatnya Arai dan temannya Jambrong melakukan bermacam pekerjaan, dari mencari akar purun di rawa yang penuh buaya, menjual kue hingga menjadi kuli angkut nelayan. Meskipun demikian, di tengah kemiskinan yang melilit mereka memiliki cita-cita yang sangat tinggi, yaitu bersekolah di Paris. Hal ini tidak terlepas dari dorongan guru sastra di SMA yang sangat memotivasi para siswanya, yaitu Pak Balia, selain kedisiplinan dan didikan keras dari kepala sekolah yang penuh integritas, serta ayah yang sangat baik. Tampaknya inilah kunci dari semangat dan optimisme yang dimiliki para tokoh dalam buku ini, yaitu para pendidik yang langka di zaman kini…
Setelah menamatkan SMA, Ikal dan Arai pergi ke Jakarta hanya dengan berbekal tabungan seadanya, sedangkan Jambrong yang tergila-gila kuda tetap tinggal di desa bekerja di peternakan kuda. Namun nasib baik menghampiri mereka. Setelah melakukan bermacam pekerjaan kasar, antara lain tukang fotokopi, salesman door to door, buruh pabrik tali, berkat perjuangan yang tak kenal lelah akhirnya Ikal diterima menjadi juru sortir di kantor pos dan Arai bekerja di Kalimantan. Selanjutnya sambil bekerja mereka meneruskan kuliah hingga selesai, bahkan mendapatkan bea siswa ke Inggris dan Ikal bahkan melakukan riset ke Sorbonne. Tercapailah cita-cita yang tampaknya seperti mimpi bagi seorang remaja miskin Belitung.

Sampai disini kisah ini cukup bagus, karena dapat memberikan semangat bagi anak-anak muda untuk berani bermimpi atau bercita-cita tinggi, bersikap optimis dan pantang menyerah atau tidak membatasi diri apapun kesulitan yang dihadapi. Ditambah humor disana-sini, maka kisah ini cukup menarik (ada beberapa halaman yang membuat saya tertawa sendiri). Hal ini merupakan sisi positif buku ini. Setiap orang yang cukup sukses tahu bahwa konsisten pada cita-cita dan pantang menyerah ditambah sedikit keberuntungan dapat membawa kesuksesan, dan buku ini salah satu contoh yang baik untuk menyatakan hal itu.

Di sisi lain, penulis rupanya seorang yang sangat religius, berkat pendidikan agama yang didapat sejak kecil, ditambah keberhasilan yang berhasil diraihnya. Hal ini tampak dari pendapatnya tentang wanita berjilbab dan kebenciannya terhadap teori evolusi Darwin, sebagaimana terdapat dalam halaman 261 dan 262. Kalau dialog yang terdapat dalam sebuah buku dapat dianggap mewakili pendapat penulisnya, maka dialog Arai – yang disini merupakan saudara sekaligus teman yang dikagumi Ikal - sebagai sarjana biologi cum laude yang memohon bea siswa dengan menyatakan bahwa teori evolusi sudah bangkrut, bahwa “Harun Yahya memiliki wewenang ilmiah untuk menjustifikasi bualan evolusionis”, dan karena itu ia mengajukan teori baru berdasarkan kisah penciptaan dalam kitab-kitab suci, sungguh menggelikan sekaligus menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang sarjana seni (HY) memiliki otoritas untuk menilai teori dalam biologi? Bagaimana mungkin kisah dalam kitab suci dijadikan dasar untuk membuat teori dalam sains? Bayangkan jika ilmuwan terus mencoba membuktikan bahwa bumi itu datar atau berumur 6000 tahun, meskipun fakta yang ada jelas-jelas menunjukkan bahwa bumi bulat dan berumur miliaran tahun, apakah akan tetap bertahan dengan menyatakan bahwa bumi itu datar dan masih muda, karena demikian yang tertulis di kitab suci? Bagian ini tidak seimbang dengan dialog Ikal dalam wawancara dengan professor ekonomi yang tidak asal-asalan. Mungkin penulis merupakan pengagum berat Harun Yahya sehingga tidak bersedia untuk mencari sedikit saja informasi mengenai biologi evolusioner dari sumber yang benar. Padahal jika penulis tidak membenci teori tersebut dan bersedia meluangkan waktu sedikit saja untuk menjelajah internet atau berkonsultasi dengan sarjana biologi, maka dialog di atas akan lebih bermutu (lihat situs talkorigin.org mengenai penjelasan bagaimana membuktikan kesalahan teori evolusi). Halaman 261 dan 262 adalah bagian yang merusakkan dan menjatuhkan nilai novel ini.

Dialog di atas juga menunjukkan bahwa memperbandingkan Andrea dengan Pram jelaslah tidak sebanding dan Andrea jelas tidak akan bisa menggantikan Pramoedya. Pram adalah seorang yang berpikiran merdeka dan rasional, seorang individualis, yang demi kebenaran tidak merasa perlu untuk menyamakan pikirannya dengan massa, dan realisme yang ditampilkannya adalah realisme yang pahit, yang mengkritisi kondisi sosial sekitarnya, seperti agama, gaya hidup, kekuasaan. Sedangkan Andrea meskipun telah bersekolah sampai ke Inggris dan Prancis ternyata masih belum dapat sepenuhnya bersikap rasional dan berpikiran bebas, karena keterikatannya yang demikian kuat pada tradisi lama, sehingga ia belum dapat menilai lingkungan sekelilingnya dengan kekritisan yang tinggi, bahkan mendukung status quo. Karena itu bukunya kurang mengundang perenungan, sebab tidak banyak pergulatan pemikiran yang mempertanyakan hal-hal eksistensial tentang penderitaan dan kehidupan manusia, atau menanyakan kembali nilai-nilai yang telah diterima umum.

No comments: