Pengarang :
Ramayda Akmal
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 272 halaman
Tahun : 2019, Maret
”Dalam sebuah masa, yang kita lewati dengan sadar dan rasa syukur yang paling besar sekalipun, ada sebuah tipuan dan permainan yang sedang berjalan, yang menangisi kita, karena kita menamakan kejatuhan sebagai penyelamatan dan bencana sebagai masa depan kasih. Permainan itu adalah rantai, yang memberikan kunci pada satu derita berupa derita lain.”
“Apakah nasib itu? Sebuah
keputusan yang engkau ambil demi memperpanjang umur, yang saat kau lupakan, ia
telah berubah menjadi kalung besi yang menggantungi sisa hidupmu.”
Tidak banyak novel Indonesia yang dapat mengisahkan kehidupan orang-orang yang terpinggirkan dengan baik
dan mencekam. Salah satunya adalah novel ini.
Kisah dalam buku ini terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama adalah
tentang kehidupan Nini Randa, seorang perempuan yang ketika bayi ditemukan
terapung di sungai Cimanduy oleh seorang
perempuan tua yang kemudian mengasuhnya
selama dua tahun sebelum ia meninggal. Selanjutnya Nini Randa dibesarkan oleh
alam dan para penambang pasir di sungai dekat tempat tinggalnya.
Tanpa keluarga dan pendidikan serta dalam kemiskinan, Nini Randa
memanfaatkan apapun yang dimilikinya untuk hidup. Ia menjual diri dan makanan
untuk mandor dan pekerja pembangun dam di sungai, dan mendapat seorang anak
yaitu Cainah yang diasuhnya sendiri. Kemudian ia membuka rumah bordil, dan
digerebek warga desa dipimpin oleh Haji Misbach. Namun Haji Misbach takluk pada
Nini Randa dan menghasilkan anak gelap
yaitu Sadimin, yang dibesarkan oleh Uwa Mono.
Bagian kedua kisah tentang Sadimin dan Tango. Sadimin dengan hasutan
Mono memanfaatkan kelemahan Haji Misbach untuk mendapatkan sebagian kekayaannya
sehingga ia menjadi juragan. Sadimin
menikahi Tango, salah seorang perempuan penghibur dari rumah Nini Randa.
Sementara itu Cainah yang oleh Nini Randa diharapkan bersekolah dan
meneruskan usahanya, melarikan diri bersama pemuda miskin bernama Dana. Namun
sebagai pasangan belasan tahun yang tidak berpendidikan, akhirnya mereka demikian
miskin sehingga Dana sempat menjadi
buruh tani di sawah Tango dan Sadimin, sebelum akhirnya kembali ke rumah Nini
Randa ketika tidak mampu menopang hidup sendiri.
Bagian ke empat adalah tentang kehidupan pasangan pengemis Ozog dan
Sipon, yang dulu sempat menemukan Nini Randa ketika bayi namun melepaskannya
kembali ke sungai. Sedangkan bagian kelima kisah tentang Haji Misbach beserta
ketiga isterinya, yang meskipun dikenal alim namun masih mengejar ambisi keduniawian
dengan segala cara.
Melalui kisah tokoh-tokoh di atas pembaca diajak untuk mengenal
kehidupan masyarakat terpinggirkan yang keras, penuh kemiskinan, kriminalitas,
kesedihan, dan tanpa tuntunan pendidikan, moralitas, maupun cita-cita tinggi,
yang dipadukan dengan kemunafikan tokoh agama. Suatu kehidupan yang seperti
mimpi buruk dan tak terbayangkan oleh kelas menengah. Dalam melukiskan
tokoh-tokohnya penulis cukup imajinatif dan dapat menggambarkan kerasnya
kehidupan mereka tanpa belas kasihan. Tampaknya karena penulis juga mengenal dengan
baik lokasi dan lingkungan yang menjadi setting dari kisah dalam novelnya.
Novel ini menjadi juara kedua lomba penulisan novel kultural
Universitas Negeri Semarang (UNNES) tahun 2017.
Penulisnya, Ramayda Akmal (32 tahun) adalah pengajar di Fakultas Ilmu
Budaya UGM dan telah menulis beberapa buku, antara lain novel Jatisaba.
1 comment:
Saya sdh beli buku ini dan membacanya. Kebetulan namaku Sadimin.
Post a Comment