Monday, July 09, 2018

Aib dan Martabat




Judul               :   Aib dan Martabat
Pengarang      :   Dag Solstad
Penerjemah    :   Irwan Syahrir
Penerbit           :   Marjin Kiri
Tebal               :    138 halaman
Tahun              :   2017





Tidak banyak novel Norwegia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah Aib dan Martabat, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Norwegia.
Negara-negara Skandinavia dikenal sebagai negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi, tertib, dan aman, dengan tingkat yang lebih baik dari negara Eropa lainnya. Namun demikian, dalam novel ini kita akan menemukan kesepian yang dialami masyarakat modern.

Alur cerita dalam novel ini sangat sederhana, karena yang hendak disampaikan pengarang adalah perasaan kekosongan dan kesepian yang dialami masyarakat modern, yang mungkin juga telah dialami oleh sebagian dari masyarakat negara dunia ketiga yang tinggal di kota-kota besar.

Tokoh utama adalah Elias Rukla, seorang guru bahasa sekolah menengah berusia 50-an tahun yang telah mengajar selama dua puluh lima tahun. Pelajaran bahasa atau sastra Norwegia bukanlah pelajaran favorit murid-murid, dan suatu hari Elias merasakan kesia-siaan dirinya ketika mendapati betapa para muridnya tidak memiliki minat sedikit pun terhadap bidang yang diajarkannya bahkan menampakkan kebencian, sehingga membuatnya merasa sia-sia dan membenci kondisi yang dihadapinya saat itu karena telah melakukan pekerjaan tersebut selama lebih dari dua puluh tahun. Rasa kesia-siaan dan putus asa itu demikian mendalam sehingga tanpa sadar Elias melampiaskannya di sekolah, yang berakibat fatal  karena membuatnya tidak pantas menjadi guru kembali.  Dalam keputus-asaannya ia kemudian berjalan menyusuri kota, memikirkan hidupnya selama ini – perkawinannya yang semakin tidak bahagia, pengkhianatan sahabatnya di kala muda, kehidupan yang datar, rekan-rekan kerja yang tidak bisa diajak bercakap-cakap tentang hal-hal yang berarti selain soal pekerjaan dan masalah remeh sehari-hari, pekerjaan dan pengabdian yang tidak dihargai karena masyarakat telah menjadi dangkal, lebih menghargai budaya pop murahan daripada sastra dan peradaban tinggi.  Dan kini pekerjaan tersebut tampaknya harus dilepaskannya, meskipun sebenarnya dia tidak lama lagi pensiun. Semua itu ada dalam pikiran Elias Rukla selama menyusuri kota Oslo setelah keluar dari sekolah dengan marah.  

Novel ini adalah monolog. Namun demikian banyak hal menarik di dalamnya. Misalnya kekecewaan Elias Rukla bahwa semua rekan gurunya tidak ada yang membicarakan ide-ide, perkembangan pengetahuan masing-masing bidangnya, atau hal-hal berarti lainnya ketika mereka bercakap-cakap di sekolah, melainkan hanya membicarakan tentang hutang-hutang yang mereka miliki, atau bahwa mereka telah bebas dari hutang, sehingga Elias menyebut mereka budak hutang. Bagian ini sungguh menggelikan, karena mengingatkan saya pada rekan-rekan kerja di  kantor.
“Orang-orang dalam lingkungan pergaulan Elias Rukla tidak lagi berbicara. Hanya singkat dan ala kadarnya. …Karena ruang publik yang diperlukan oleh sebuah percakapan sudah terisi.”

Tokoh novel adalah seorang idealis, seorang pemikir, namun harus menghadapi mayoritas yang dangkal, yang didukung oleh demokrasi. 
Novel ini sangat menarik karena mengingatkan saya pada kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.

No comments: