Pengarang : Dag Solstad
Penerjemah : Irwan Syahrir
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal
: 138 halaman
Tahun
: 2017
Tidak banyak novel Norwegia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah Aib dan Martabat, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Norwegia.
Negara-negara Skandinavia
dikenal sebagai negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi, tertib, dan aman,
dengan tingkat yang lebih baik dari negara Eropa lainnya. Namun demikian, dalam
novel ini kita akan menemukan kesepian yang dialami masyarakat modern.
Alur cerita dalam novel
ini sangat sederhana, karena yang hendak disampaikan pengarang adalah perasaan
kekosongan dan kesepian yang dialami masyarakat modern, yang mungkin juga telah
dialami oleh sebagian dari masyarakat negara dunia ketiga yang tinggal di
kota-kota besar.
Tokoh utama adalah Elias
Rukla, seorang guru bahasa sekolah menengah berusia 50-an tahun yang telah
mengajar selama dua puluh lima tahun. Pelajaran bahasa atau sastra Norwegia bukanlah
pelajaran favorit murid-murid, dan suatu hari Elias merasakan kesia-siaan
dirinya ketika mendapati betapa para muridnya tidak memiliki minat sedikit pun
terhadap bidang yang diajarkannya bahkan menampakkan kebencian, sehingga
membuatnya merasa sia-sia dan membenci kondisi yang dihadapinya saat itu karena
telah melakukan pekerjaan tersebut selama lebih dari dua puluh tahun. Rasa
kesia-siaan dan putus asa itu demikian mendalam sehingga tanpa sadar Elias
melampiaskannya di sekolah, yang berakibat fatal karena membuatnya tidak pantas menjadi guru
kembali. Dalam keputus-asaannya ia
kemudian berjalan menyusuri kota, memikirkan hidupnya selama ini –
perkawinannya yang semakin tidak bahagia, pengkhianatan sahabatnya di kala
muda, kehidupan yang datar, rekan-rekan kerja yang tidak bisa diajak
bercakap-cakap tentang hal-hal yang berarti selain soal pekerjaan dan masalah
remeh sehari-hari, pekerjaan dan pengabdian yang tidak dihargai karena masyarakat
telah menjadi dangkal, lebih menghargai budaya pop murahan daripada sastra dan
peradaban tinggi. Dan kini pekerjaan
tersebut tampaknya harus dilepaskannya, meskipun sebenarnya dia tidak lama lagi
pensiun. Semua itu ada dalam pikiran Elias Rukla selama menyusuri kota Oslo
setelah keluar dari sekolah dengan marah.
Novel ini adalah monolog.
Namun demikian banyak hal menarik di dalamnya. Misalnya kekecewaan Elias Rukla
bahwa semua rekan gurunya tidak ada yang membicarakan ide-ide, perkembangan pengetahuan
masing-masing bidangnya, atau hal-hal berarti lainnya ketika mereka
bercakap-cakap di sekolah, melainkan hanya membicarakan tentang hutang-hutang
yang mereka miliki, atau bahwa mereka telah bebas dari hutang, sehingga Elias
menyebut mereka budak hutang. Bagian ini sungguh menggelikan, karena
mengingatkan saya pada rekan-rekan kerja di
kantor.
“Orang-orang dalam
lingkungan pergaulan Elias Rukla tidak lagi berbicara. Hanya singkat dan ala
kadarnya. …Karena ruang publik yang diperlukan oleh sebuah percakapan sudah
terisi.”
Tokoh novel adalah
seorang idealis, seorang pemikir, namun harus menghadapi mayoritas yang dangkal,
yang didukung oleh demokrasi.
Novel ini sangat menarik karena mengingatkan saya pada kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.
Novel ini sangat menarik karena mengingatkan saya pada kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.
No comments:
Post a Comment