Pengarang :
Budi Sardjono
Penerbit :
Araska
Tebal : 250 halaman
Tahun : 2018, Februari
Blora terkenal sebagai
tempat kelahiran sastrawan Indonesia terkemuka yang menulis antara lain kumpulan
cerpen “Cerita dari Blora”, selain sebagai penghasil kayu jati bermutu tinggi
dan minyak mentah, serta kuliner sate Blora. Namun mungkin tidak banyak yang
tahu bahwa Blora juga terkenal dengan seni tayub beserta para ledheknya yang
memikat. Sebagaimana diketahui, tayub adalah kesenian rakyat dimana penayub
laki-laki memberikan uang kepada penari tayub yang disebut ledhek atau ronggeng
pada saat menari.
Novel ini menceritakan
kisah Sam, seorang wartawan yang kehilangan pekerjaan karena majalah tempatnya
bekerja bangkrut akibat kalah bersaing dengan media online. Kesulitan ekonomi
kemudian membuatnya terpaksa menanggalkan idealismenya, sehingga ia menerima
tawaran teman lamanya sesama mantan wartawan untuk menjadi ghost writer, yaitu menulis
biografi seseorang dengan isi sesuai kehendak pemesan dan namanya tidak akan
dicantumkan dalam buku sebagai penulis, karena si pemesan seolah menjadi
penulis biografinya sendiri.
Sesuai saran teman
lamanya, maka Sam akan menulis biografi seorang pengusaha kaya. Namun sebelum
memulai penulisan, sang pengusaha memintanya untuk terlebih dahulu melakukan
investigasi ke Blora, untuk melacak keberadaan seorang bekas ledhek bernama
Sriyati.
Tugas mencari jejak
Sriyati ke Blora ternyata tidak mudah, karena dalam investigasinya Sam ternyata mengalami penculikan dan hampir
dibunuh di tengah hutan jati, yang membuat Sam bertanya-tanya. Apakah hubungan
antara bahaya yang dialaminya dengan tugas mencari ledhek? Apakah ada hal lain
yang ditakutkan oleh mereka yang ingin membunuhnya? Siapakah sebenarnya
Sriyati?
Kisah di atas disampaikan
oleh pengarang dengan bahasa yang ringan dan mengalir serta sedikit humor,
sehingga mudah dibaca. Tidak mengherankan karena ternyata penulisnya adalah
pengarang senior yang telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen dan novel,
antara lain Api Merapi, Roro Jonggrang, dan Nyai Gowok.
Membaca novel ini terasa
ringan dan menghibur karena – seperti novel pop - berakhir dengan happy ending dan terdapat beberapa
kejadian kebetulan, namun demikian pembaca mendapatkan pengetahuan tentang
sejarah dan kondisi wilayah Blora dan sekitarnya, kesenian tayub, sepenggal
sejarah kelam Indonesia, dan kondisi kehidupan masa kini, sehingga Ledhek dari
Blora menjadi novel yang cukup menarik.
Tidak seperti novel
Ronggeng Dukuh Paruh yang mencekam, Ledhek dari Blora memberi gambaran mengenai
upaya masyarakat lokal mempertahankan seni tradisi yang nyaris hilang ditengah
desakan modernisasi dan stigma buruk dari masa lalu yang selalu mengaitkan
kesenian rakyat dengan gerakan kiri, serta
desakan konservatisme masa kini yang mengatasnamakan moralitas. Hal itu
tampak antara lain dari tokoh Mbah Mantan Lurah yang berani mengadakan
pertunjukan tayub meski sering mendapat ancaman pelarangan, dan para ledhek
yang digambarkan sebagai perempuan-perempuan mandiri yang berani berbeda dari
perempuan pada umumnya. Ada nuansa feminis dan liberal dalam buku ini.