Judul : Nyanyian Kematian Sirenes –
Etnografi Kritis Manusia-manusia Starbucks
Pengarang: Eduardo Erlangga Destranta
Penerbit: Bidik Phronesis Publishing
Tahun : 2012
Tebal : 122 hal
Tidak semua orang muda memiliki daya kritis terhadap konsumerisme dan kapitalisme. Eduardo, dengan pengalamannya sebagai pelanggan setia hingga menjadi pekerja Starbucks, masih memiliki hal itu, sehingga pengalamannya menjadi sebuah kritik terhadap jaringan kedai kopi tersebut. Namun sebenarnya kritiknya dapat juga berlaku untuk semua jaringan toko atau fast food lainnya yang sejenis.
Sebagai mahasiswa, dengan lugu semula Eduardo mengira bahwa para pekerja disana sangat ramah dan perhatian terhadap dirinya, dan segala sesuatu yang berada disana demikian menyenangkan, sehingga kedai kopi tersebut menjadi favoritnya, atau rumah ketiga, menurut istilah Starbukcs. Namun setelah beberapa waktu menjadi pekerja disana, ia menemukan hal yang sebaliknya.
Bertolak dari logo Starbucks, yaitu Sirenes – makhluk laut dalam mitologi Yunani yang dengan nyanyiannya membawa para pelaut yang melewatinya kepada kematian – penulis menyimpulkan bahwa kedai kopi tersebut tidak ada bedanya dengan sirenes: tujuannya adalah menyeret para pelanggannya dalam ilusi kenyamanan dengan tujuan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Mengapa semua itu ilusi, karena keramahan para pekerja (barista) kepada pelanggan tidak tulus – semua hanya kewajiban dan hafalan, pembuatan kopi dirancang sangat mekanis sehingga pekerja tak ubahnya robot, balas jasa kepada pekerja sangat rendah dibandingkan keuntungan yang didapat, dan pelanggan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tanpa sadar mereka mengikuti kemauan Starbucks melayani diri sendiri, membayar mahal untuk hal-hal yang dapat dihemat, dan menuruti semua promosi dengan patuh, yang semuanya sebenarnya hanya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan kedai. Untuk itu penulis memberikan saran bagaimana agar pembaca dapat tetap kritis menghadapi semua itu jika berada disana.
Saat ini jaringan Starbucks di Indonesia telah mencapai lebih dari 100 kedai, bahkan telah masuk kampus. Bagi saya dari generasi lama, yang ketika kuliah terbiasa hidup hemat dan sederhana, masuknya Starbucks ke kampus terasa kurang pas, bahkan sampai saat ini, saya tetap dapat mengambil jarak terhadap semua jaringan sejenis. Namun dari buku ini saya jadi mengetahui, bahwa tidak demikian halnya dengan generasi muda, yang rupanya lebih mudah terkesan dan mengikuti apapun yang disodorkan di depan mereka oleh jaringan kedai dan restoran asing dengan segala macam taktiknya, sehingga buku Eduardo ini tentunya cukup berguna untuk membuka kesadaran akan sisi buruk kapitalisme.
4 comments:
Sepertinya masalah seperti itu bukan cuman terjadi di Starbuck, karena sebagian besar pelayan/pramuniaga, sudah 'di-setting' untuk menjadi ramah ketika menghadapi pembeli. :D
Memang benar, keramahan tersebut bahkan juga telah diterapkan di jaringan restoran lokal. Saya rasa penulis menyampaikan kritik tersebut karena semula mengira (dan mengharapkan) bahwa keramahan tersebut murni dari hati pramuniaga, bukan karena tugas semata, dan agar pembaca muda menyadari hal tersebut sehingga tidak terlalu konsumtif, disamping agar pemilik usaha tersebut di Indonesia lebih memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
Mbak / Bu Rati....saya tertarik membaca buku tersebut. boleh saya tahu alamat email ibu? ada beberapa hal yg hendak saya tanyakan.
trimakasih
raticf@gmail.com
Post a Comment