Judul : Wajah Telanjang Perempuan
Pengarang : Nawal El Saadawi
Penerjemah : H. Azhariah, Lc
Tebal : 346 hal
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun : 2003 (1st ed)
The Naked Face of Eve adalah buku klasik feminisme Islam yang penting, karena untuk pertama kalinya seorang wanita Arab dengan berani melakukan kritik terhadap filsafat Islam termasuk Al Qur’an secara obyektif. Buku ini seharusnya dibaca oleh setiap perempuan agar menyadari posisinya dalam masyarakat dengan benar.
Nawal adalah seorang Muslim, karena itu pada dasarnya ia tidak sepenuhnya menyalahkan agama atas penindasan dan pembatasan yang diterapkan masyarakat Arab kepada perempuan, karena bagi Nawal yang menjadi sumber permasalahan adalah sistem masyarakat yang bersifat patriarkis. Menurut penulis, semua agama samawi (Yahudi,Nasrani, Islam) merendahkan perempuan, karena semua berasal dari masyarakat patriarkat.
Berdasarkan sejarah zaman kuno dan penelitian antropologi, pada suku-suku primitif (suku pemburu pengumpul/hunter gatherer) yang belum mengenal kelas, masyarakat masih berdasarkan sistem matriarkat. Pada tahap ini kedudukan perempuan tinggi, karena dianggap sebagai yang melahirkan kehidupan, sehingga pada saat itu yang menjadi pemujaan adalah dewi-dewi. (Ingat kisah Dewi Sri di Jawa, istilah Mother Nature dalam bahasa Inggris?) Selanjutnya dengan berkembangnya masyarakat menjadi menetap, mulai timbul kepemilikan kekayaan dan kelas-kelas, dan laki-laki mulai berusaha menguasai kekayaan dengan menetapkan pembatasan terhadap perempuan sehingga perempuan mulai tersingkir serta kedudukannya menjadi rendah seperti barang. Sebagai akibatnya, kedudukan dewi-dewi sebagai sosok yang dipuja secara perlahan hilang dari masyarakat, digantikan oleh sosok maskulin sesuai dengan masyarakat patriarkat. Tidak mengherankan bahwa Tuhan dalam agama samawi sifatnya seperti laki-laki.
Menurut Nawal, agama samawi telah ditafsirkan sesuai sistem patriarkat, bukan sesuai ajaran itu sendiri, sehingga munculnya agama justru menurunkan posisi perempuan, baik itu dalam masyarakat Arab, Romawi maupun Yahudi. Namun masyarakat Barat telah dapat membebaskan diri dari kekuasaan gereja yang terlalu kuat sehingga memungkinkan munculnya pemisahan antara agama dan negara, yang memberi kontribusi pada peningkatan status perempuan. Sebaliknya dalam masyarakat Arab Islam, hal itu tidak pernah terjadi, sehingga agama justru dijadikan alat bagi sistem patriarkat untuk melanggengkan kekuasaannya yang merendahkan perempuan.
Nawal mengkritik pandangan Al Gazhali tentang kedudukan perempuan, dan menguraikan mengapa perempuan Arab setelah munculnya agama Islam harus dipisahkan dari laki-laki, dikurung di rumah, dianggap setan jika tampak di luar rumah sehingga harus ditutupi seluruh tubuhnya dengan hijab dan harus ditemani salah seorang keluarga berjenis laki-laki. Semua itu bukan untuk melindungi perempuan, namun untuk melindungi laki-laki agar tidak tergoda. Dalam sistem tersebut, perempuan tidak ada harganya, karena itu tindakan yang diberlakukan terhadap perempuan bukanlah untuk melindungi perempuan itu sendiri, tetapi untuk menjaga kehormatan laki-laki yang memiliki perempuan tersebut. Itulah sebab yang sebenarnya dari perintah mengenakan hijab.
Nawal el Sadaawi yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, adalah dokter, tokoh feminis Mesir yang telah menulis banyak novel yang menggambarkan penindasan terhadap perempuan di Mesir sehingga membuatnya memiliki banyak musuh di negerinya. Namun ia wanita yang pemberani dan konsisten terhadap perjuangannya. Ia tidak mengenakan kerudung maupun kosmetik (postmodern veil), karena menganggapnya sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan. Buku-bukunya yng telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor antara lain Perempuan di Titik Nol dan Memoar Dari Penjara.
Buku klasik ini tidak hanya penting bagi perempuan Arab, tapi juga perempuan Islam pada umumnya untuk memahami asal mula ajaran-ajaran konservatif yang ditafsirkan oleh kaum ulama (pada umumnya laki-laki), agar tidak begitu saja menerimanya tanpa mengerti bahwa dibalik ajaran yang dibungkus kata-kata “untuk melindungi wanita” sebenarnya bersembunyi kepentingan melanggengkan kekuasaan patriarkat.
Penerjemah : H. Azhariah, Lc
Tebal : 346 hal
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun : 2003 (1st ed)
The Naked Face of Eve adalah buku klasik feminisme Islam yang penting, karena untuk pertama kalinya seorang wanita Arab dengan berani melakukan kritik terhadap filsafat Islam termasuk Al Qur’an secara obyektif. Buku ini seharusnya dibaca oleh setiap perempuan agar menyadari posisinya dalam masyarakat dengan benar.
Nawal adalah seorang Muslim, karena itu pada dasarnya ia tidak sepenuhnya menyalahkan agama atas penindasan dan pembatasan yang diterapkan masyarakat Arab kepada perempuan, karena bagi Nawal yang menjadi sumber permasalahan adalah sistem masyarakat yang bersifat patriarkis. Menurut penulis, semua agama samawi (Yahudi,Nasrani, Islam) merendahkan perempuan, karena semua berasal dari masyarakat patriarkat.
Berdasarkan sejarah zaman kuno dan penelitian antropologi, pada suku-suku primitif (suku pemburu pengumpul/hunter gatherer) yang belum mengenal kelas, masyarakat masih berdasarkan sistem matriarkat. Pada tahap ini kedudukan perempuan tinggi, karena dianggap sebagai yang melahirkan kehidupan, sehingga pada saat itu yang menjadi pemujaan adalah dewi-dewi. (Ingat kisah Dewi Sri di Jawa, istilah Mother Nature dalam bahasa Inggris?) Selanjutnya dengan berkembangnya masyarakat menjadi menetap, mulai timbul kepemilikan kekayaan dan kelas-kelas, dan laki-laki mulai berusaha menguasai kekayaan dengan menetapkan pembatasan terhadap perempuan sehingga perempuan mulai tersingkir serta kedudukannya menjadi rendah seperti barang. Sebagai akibatnya, kedudukan dewi-dewi sebagai sosok yang dipuja secara perlahan hilang dari masyarakat, digantikan oleh sosok maskulin sesuai dengan masyarakat patriarkat. Tidak mengherankan bahwa Tuhan dalam agama samawi sifatnya seperti laki-laki.
Menurut Nawal, agama samawi telah ditafsirkan sesuai sistem patriarkat, bukan sesuai ajaran itu sendiri, sehingga munculnya agama justru menurunkan posisi perempuan, baik itu dalam masyarakat Arab, Romawi maupun Yahudi. Namun masyarakat Barat telah dapat membebaskan diri dari kekuasaan gereja yang terlalu kuat sehingga memungkinkan munculnya pemisahan antara agama dan negara, yang memberi kontribusi pada peningkatan status perempuan. Sebaliknya dalam masyarakat Arab Islam, hal itu tidak pernah terjadi, sehingga agama justru dijadikan alat bagi sistem patriarkat untuk melanggengkan kekuasaannya yang merendahkan perempuan.
Nawal mengkritik pandangan Al Gazhali tentang kedudukan perempuan, dan menguraikan mengapa perempuan Arab setelah munculnya agama Islam harus dipisahkan dari laki-laki, dikurung di rumah, dianggap setan jika tampak di luar rumah sehingga harus ditutupi seluruh tubuhnya dengan hijab dan harus ditemani salah seorang keluarga berjenis laki-laki. Semua itu bukan untuk melindungi perempuan, namun untuk melindungi laki-laki agar tidak tergoda. Dalam sistem tersebut, perempuan tidak ada harganya, karena itu tindakan yang diberlakukan terhadap perempuan bukanlah untuk melindungi perempuan itu sendiri, tetapi untuk menjaga kehormatan laki-laki yang memiliki perempuan tersebut. Itulah sebab yang sebenarnya dari perintah mengenakan hijab.
Nawal el Sadaawi yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, adalah dokter, tokoh feminis Mesir yang telah menulis banyak novel yang menggambarkan penindasan terhadap perempuan di Mesir sehingga membuatnya memiliki banyak musuh di negerinya. Namun ia wanita yang pemberani dan konsisten terhadap perjuangannya. Ia tidak mengenakan kerudung maupun kosmetik (postmodern veil), karena menganggapnya sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan. Buku-bukunya yng telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor antara lain Perempuan di Titik Nol dan Memoar Dari Penjara.
Buku klasik ini tidak hanya penting bagi perempuan Arab, tapi juga perempuan Islam pada umumnya untuk memahami asal mula ajaran-ajaran konservatif yang ditafsirkan oleh kaum ulama (pada umumnya laki-laki), agar tidak begitu saja menerimanya tanpa mengerti bahwa dibalik ajaran yang dibungkus kata-kata “untuk melindungi wanita” sebenarnya bersembunyi kepentingan melanggengkan kekuasaan patriarkat.
No comments:
Post a Comment