Tuesday, September 27, 2011

PENGUASA LALAT

Judul : Penguasa Lalat (Lord of the Flies)
Pengarang: William Golding

Penerjemah: Dhewi Harjono
Penerbit: Pustaka Baca, Yogya
Tahun : 2011
Tebal : 315 hal


Sebuah pesawat terbang yang mengevakuasi anak-anak dari wilayah berlangsungnya perang dunia jatuh di sebuah pulau koral di Pasifik Selatan. Tidak ada orang dewasa yang selamat. Pulau tersebut tidak berpenghuni, namun memiliki air, buah-buahan, dan babi.

Ralph, seorang anak berumur 12 tahun yang berpikiran jernih, berkenalan dengan Piggy yang cerdas, seorang anak berkaca mata yang tidak menarik. Dengan petunjuk Piggy, Ralph mengumpulkan anak-anak lain menggunakan kerang yang ditiup, yang ditemukannya ketika berenang di laguna. Setelah semua berkumpul, Ralph berusaha menerapkan aturan seperti yang diajarkan selama ini di sekolah: mengadakan pemilihan ketua, membuat rencana dan pembagian kerja untuk bertahan hidup dan penyelamatan diri keluar dari pulau. Namun Jack, ketua grup paduan suara merasa marah tidak terpilih menjadi pemimpin, sehingga Ralph memberinya jabatan sebagai pemburu bersama kelompoknya.

Usaha Ralph untuk menjalankan rencana penyelamatan dengan membuat asap pemberi sinyal di atas gunung, membuat tempat berteduh, menjaga sanitasi serta anak-anak yang lebih kecil tidak berjalan dengan baik karena tidak adanya kerja sama dari Jack, yang hanya memikirkan daging sehingga tidak menjaga api sinyal dan sibuk berburu babi bersama kelompoknya. Sementara itu anak-anak kecil mengutarakan ketakutannya karena di kegelapan melihat si buas, atau hantu, yang membuat semua resah.
Konflik terus meningkat antara Ralph yang berusaha menegakkan aturan dan Jack yang semakin terobsesi untuk menjadi pemimpin dan pemburu, sebab untuk memasak hasil buruannya Jack mencuri api dari Ralph dan Piggy, karena hanya kelompok Ralph yang bisa membuat api dari kacamata Piggy. Kekerasan yang dilakukan Jack akhirnya membawa korban beberapa anak, bahkan Ralph sendiri diburu. Hanya kedatangan kapal yang akan dapat menyelamatkan Ralph dan anak-anak lainnya dari kekejaman Jack.

Meskipun seperti sebuah petualangan anak-anak biasa, namun novel ini menyimpan pesan yang dalam, karena kehidupan anak-anak dalam pulau tersebut mencerminkan kehidupan di dunia dan kekelaman jiwa manusia. Ralph yang selalu berusaha bertindak sesuai aturan untuk kebaikan dan Piggy yang dengan ilmu pengetahuannya berusaha membantu Ralph, harus menghadapi Jack yang hanya dilandasi emosi dan sifat-sifat dasar manusia untuk survive: pemenuhan kebutuhan dasar (makanan), keserakahan, keinginan berkuasa, pemaksaan kehendak dengan kekerasan,atau hilangnya rasionalitas dan pengetahuan digantikan oleh emosi. Bukankah pertentangan antara kedua hal ini yang selalu dihadapi manusia sepanjang zaman dan mengakibatkan konflik, kerusakan dan peperangan yang tak terhitung jumlahnya hingga saat ini?

Novel ini memang bersifat simbolis. Judul novel merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, baal-zevuv, yang artinya chief devil – Setan. Sedangkan dalam bahasa Inggris - yang diambil dari bahasa Yunani yaitu beelzebub, artinya Setan. Dalam novel hal ini ditunjukkan dengan kerumunan lalat di atas kepala babi yang ditancapkan kelompok Jack di atas tongkat yang ditanam di tanah.

William Golding sendiri menjelaskan novel ini sebagai berikut,”Tema adalah usaha untuk menelusuri jejak kerusakan masyarakat kembali kepada kerusakan masyarakat kembali ke kerusakan alam manusia. Moral adalah saat bentuk suatu masyarakat harus bergantung pada sifat etis individu dan bukan pada system politis apapun, bagaimanapun tampak logis dan dapat dihargai. Keseluruhan buku bersifat simbolis secara alami kecuali penyelamatan di akhir cerita ketika ketika kehidupan orang dewasa muncul, bermartabat dan cakap, namun pada kenyataannya terperangkap dalam jaring kejahatan yang sama seperti kehidupan simbolis anak-anak di pulau. …”

Terjemahan novel ini dalam bahasa Indonesia cukup baik, namun ada beberapa kesalahan cetak di beberapa halaman (pengulangan cetak).

Buku ini merupakan novel pertama (1954) William Golding, yang mendapat hadiah nobel sastra pada tahun 1983. Konon kisahnya diilhami novel The Coral Island oleh R.M. Ballantyne yang mengisahkan terdamparnya tiga anak laki-laki di sebuah pulau hingga diselamatkan, serta pengalaman Golding selama bertugas di angkatan laut.

Sunday, September 18, 2011

TEPIAN TANAHAIR

Judul : Tepian Tanahair – 92 Pulau Terdepan Indonesia, Indonesia Bagian Tengah
Pengarang : Wanadri dan Rumah Nusantara
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2011, Mei
Tebal : 412 hal



Belasan tahun yang lalu, ketika menyusuri Kalimantan Barat yang sunyi sepi, hingga Sumatera Utara yang indah, seorang teman merasa sangat bersyukur, karena dapat melihat sisi lain Indonesia (selain kota-kota besarnya) dan tiba-tiba menyadari, betapa indah dan luas tanah airnya.

Mungkin juga banyak orang yang akan mengalami hal yang sama, jika mereka sempat menjelajah banyak wilayah Indonesia dan masih mampu menghargai keindahan alam. Namun demikian, menjelajahi 92 pulau-pulau terluar Indonesia tentu memerlukan usaha yang luar biasa, mengingat luasnya wilayah dan terbatasnya sarana transportasi laut, sehingga Tepian Tanah Air sangat menarik untuk memenuhi rasa ingin tahu dan hasrat bertualang yang tidak mungkin dilakukan sendiri.

Melanjutkan buku pertama, yaitu Tepian Tanah Air Indonesia Bagian Barat yang meliputi 40 pulau di sekitar Sumatera, Tepian Tanahair Indonesia Bagian Tengah mencakup 24 pulau terluar yang berada di enam provinsi, dari provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, hingga Nusa Tenggara Timur, yang ditempuh sejauh 9.181 km dengan menggunakan kapal perintis, perahu nelayan dan perahu sewaan berukuran kecil. Selanjutnya akan diterbitkan buku ketiga, yang akan meliputi 28 pulau di Indonesia bagian timur.

Sebagai catatan ekspedisi yang dilandasi semangat nasionalisme - dilakukan Wanadri dan Rumah Nusantara dalam rangka memperingati 100 tahun hari kebangkitan nasional – maka Tepian Tanah Air setidaknya akan membangkitkan optimisme pembacanya, karena nadanya nyaris seperti iklan televisi Kompas baru-baru ini, yang demikian optimis menyatakan bahwa wilayah-wilayah Indonesia memiliki potensi yang demikian besar dan beragam, sehingga kita bisa berharap besar pada kemajuan bangsa ini. Namun demikian data rinci mengenai masing-masing pulau misalnya data demografi dan ekonomi seperti jumlah penduduk, pendapatan, atau bahkan luas wilayah dalam bentuk angka tidak ada, sehingga kita tidak mendapatkan informasi cukup mengenai seberapa besar potensi yang ada yang membuat penulis buku ini demikian optimis.
Paling tidak, membaca buku ini akan mengingatkan kita akan pentingnya menjaga pulau-pulau terluar dari gangguan negara tetangga dan membuat kita lupa sejenak bahwa pulau-pulau yang terindah telah disewakan atau dijual kepada asing, sementara bangsa sendiri tidak pernah tertarik dengan keindahan pulau-pulau yang dimilikinya.

Selain dokumentasi dalam bentuk buku, film dan lainnya, tim juga menancapkan penanda berupa patung kedua proklamator dan logam tahan karat pada setiap pulau yang dikunjungi, yang diisi kertas bertuliskan antara lain,”...Ekspedisi Garis Depan Nusantara berhasrat mengingatkan kita bersama untuk menghayati kebesaran negeri tercinta, Ibu Pertiwi, Indonesia.”
Buku ini dilengkapi banyak foto-foto pulau dan pantai yang indah dalam ukuran besar, sehingga menyenangkan untuk dilihat dan cocok untuk diletakkan di meja kopi. Namun demikian, karena kertasnya bagus dan banyak gmbar berwarna, maka harganya lumayan mahal, sehingga misi untuk menjangkau sebanyak mungkin masyarakat, khususnya kaum muda, mungkin agak kurang tercapai.

PONDOK BACA


Judul : Pondok Baca - Kembali ke Semarang
Pengarang : Nh Dini
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2011
Tebal : 251 hal

Sebagai kelanjutan seri Cerita Kenangan, yang terakhir yaitu Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri (2008), Pondok Baca adalah kisah kehidupan Dini sejak pulang ke Indonesia pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1998.
Dalam Pondok Baca dikisahkan bagaimana Dini memulai hidup baru setelah kembali ke Semarang – tempat tinggalnya di masa kecil, kemudian asal mula gagasan membangun Pondok Baca, yaitu taman bacaan untuk anak-anak dan pra remaja di sekitar tempat tinggalnya, usahanya dalam membangun dan mempertahankan Pondok Baca serta tempat tinggal yang layak, termasuk ketika harus menghadapi musibah bencana alam, dan kegiatan-kegiatannya yang lain.
Apabila diteliti, seluruh tulisan Dini, baik seri Cerita Kenangan maupun novel-novelnya, semuanya bersifat otobiografis, artinya bersumber dari pengalaman nyata dan kisah sehari-hari penulisnya yang diceritakan dengan lancar dan jujur. Mungkin ini yang menjadi daya tarik buku-bukunya selama ini. Kejujuran seorang perempuan yang menceritakan pengalaman dan perjuangan hidupnya yang tidak selalu beruntung, namun selalu dijalani dengan rasa syukur dan usaha keras, dan dibagikan kepada banyak orang secara terbuka.
Mungkin banyak perempuan yang mengalami hal-hal yang dialami Dini, seperti mendapatkan suami yang salah, mengalami kesulitan keuangan dan banyak masalah lainnya, walau telah bekerja atau berusaha keras hampir seumur hidup untuk mencapai apa yang diimpikan, namun tetap hidup dengan baik sehingga dapat mengatasi semua kesulitan, memberikan manfaat bagi sekelilingnya dan akhirnya berbahagia.
Namun berapa orang yang bersedia membagikan pengalaman hidupnya yang kurang menyenangkan serta perasaannya kepada banyak orang secara jujur dan terbuka dalam bentuk novel atau cerita kenangan? Padahal mungkin kisah-kisah tersebut dapat membantu perempuan lain yang mengalami hal yang hampir sama bahwa dia tidak sendirian, bahwa kadang demikianlah hidup: tidak selalu seperti yang dicita-citakan, tetapi harus tetap dijalani dan diatasi dengan kesungguhan.
Membaca buku-buku Dini kita tidak akan menemukan banyak hal yang bersifat fiksi, karena tokoh-tokoh maupun ceritanya hanya sekitar kehidupan pengarang sendiri, namun mungkin justru akan mengingatkan kita kepada diri sendiri, orang tua, keluarga, atau orang-orang yang kita kenal... hidup tidak selalu seperti yang dicita-citakan, tetapi apapun yang terjadi, tetap harus dijalani dan diatasi dengan baik....

Sunday, September 11, 2011

NO MERCY



Judul: No Mercy – A Journey Into the Heart of the Congo
Pengarang: Redmond O’Hanlon
Penerbit: Vintage
Tahun: 1997
Tebal : 450 hal


Membaca kisah perjalanan ke belantara Afrika bagi saya merupakan sesuatu yang menarik, karena tidak mungkin dapat saya lakukan dan tidak banyak yang mampu melakukannya, mengingat kondisi negara-negara di benua tersebut yang minim infrastruktur dan cukup berbahaya, sebagaimana digambarkan penjelajah Inggris HM Stanley lebih seratus tahun yang lalu atau novelis Joseph Conrad.

Setelah menjelajah Amazon, Redmond O’Hanlon menjelajah Republik Congo untuk mencari danau Moleke Mbembe, yang konon masih dihuni makhluk sejenis dinosaurus. Untuk itu penulis ditemani oleh Marcellin, ahli biologi setempat, dan Lary, ahli biologi AS, serta beberapa saudara sepupu Marcelin.

Perjalanan ke danau Mokele Mbembe tidak mudah. Pertama, untuk mendapat izin ke pedalaman O’Hanlon harus menyuap pejabat kementrian, yang ternyata menipunya. Untunglah di saat-saat terakhir, ketika kapal akan berangkat, Marcellin membantunya untuk mendapatkan izin. Selanjutnya perjalanan dengan kapal rakyat membuat Lary sedih, karena harus melihat betapa kemiskinan membuat rakyat Congo tidak menghargai nyawa manusia, sehingga penumpang kapal atau pendayung kano yang jatuh ke sungai dibiarkan tenggelam. Kondisi kesehatan rakyat pedalaman, khususnya suku asli yaitu suku Pigmy juga membuat Lary meneteskan air mata, karena selain masih dianggap budak atau bukan manusia, mereka harus mengalami penyakit yang mengakibatkan kematian hanya oleh karena ketiadaan antibiotik, yang di AS harganya sangat murah. Satu-satunya yang menolong suku tersebut adalah misionaris AS, yang sempat bertemu dengan mereka di sebuah kota kecil. Mengapa sampai terjadi hal demikian, karena petugas yang ditugaskan ke daerah terpencil biasanya menjual obat tersebut ke apotik, atau menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadi.
Guru di daerah terpencil hanya mengajarkan marxisme, kadang tidak digaji, dan diancam oleh kepala desa, sehingga banyak anak di pedalaman tidak bersekolah.
Banyak hal menarik dari buku ini, karena selain menggambarkan keadaan alam dan fauna yang dilewati, penulis juga memasukkan pembicaraannya dengan Lary maupun dengan para pemandunya yang berasal dari Afrika, sehingga kita dapat mengetahui perasaan, sifat dan permasalahan yang dihadapi mereka, yang kadang mengingatkan pada kondisi di Indonesia. Misalnya kuatnya sifat korup, ketidakpedulian dan kurangnya tanggung jawab pelaksana negara, sifat keluarga besar yang rajin mendekati kerabat yang sukses, kurangnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang layak, hubungan bebas, dan masih kuatnya tahyul. Namun semua ketidakberesan tersebut tampak jelas bersumber dari kepemimpinan yang korup.

Republik Congo berpenduduk hanya dua juta lebih, dan pendapatan utamanya berasal dari minyak bumi dan mineral lainnya. Semula dijajah Prancis, kemudian saat penjelajahan O’Hanlon diperintah oleh partai beraliran marxis. Dengan hanya sedikit penduduk, tentu seharusnya kondisi negara tersebut jauh lebih baik apabila dikelola dengan benar.

Selama beberapa bulan O’Hanlon menelusuri sungai dan hutan rawa dengan kapal, kano dan berjalan kaki serta makan dengan menu setempat, antara lain monyet, gorilla, dan buaya. Ia juga mengikuti orang Pygmi berburu antelope, yang memotong binatang tersebut hidup-hidup setelah dijerat. Ia juga terancam dibunuh oleh suku-suku yang berseteru di pedalaman, dan mendapat ancaman apabila berani ke danau Moekele Mbembe yang dianggap keramat, sehingga ia meminta jimat kepada dukun setempat, meskipun ditertawakan oleh Marcelin.

Buku ini tidak sekedar kisah perjalanan biasa, karena selain ketegangan karena perjalanan yang menyengsarakan dan berbahaya, terdapat dialog-dialog yang dapat mewakili gambaran masyarakat negara maju dan berkembang. Misalnya dialog penulis dengan Marcelin sebagai bangsa Afrika tentang agama, kesetiaan, keluarga, atau rasa sedih O’Hanlon ketika mendengar harapan Marcellin yang sebagai ilmuwan meminta dicarikan pekerjaan sebagai dosen di Inggris. O’Hanlon lalu teringat akan melimpahnya fasilitas dan buku di negerinya, sedangkan Marcellin di kantornya hanya memiliki dua jurnal ilmiah. Bukankah ini tidak berbeda jauh dengan kondisi di negara-negara berkembang lainnya, seperti Indonesia?

Dengan demikian, meskipun perjalalan ini hanya meliputi sebagian kecil dari benua Afrika, namun dapat mewakili kondisi bangsa Afrika pada khususnya dan masyarakat dunia ketiga pada umumnya.