Sunday, September 11, 2011

NO MERCY



Judul: No Mercy – A Journey Into the Heart of the Congo
Pengarang: Redmond O’Hanlon
Penerbit: Vintage
Tahun: 1997
Tebal : 450 hal


Membaca kisah perjalanan ke belantara Afrika bagi saya merupakan sesuatu yang menarik, karena tidak mungkin dapat saya lakukan dan tidak banyak yang mampu melakukannya, mengingat kondisi negara-negara di benua tersebut yang minim infrastruktur dan cukup berbahaya, sebagaimana digambarkan penjelajah Inggris HM Stanley lebih seratus tahun yang lalu atau novelis Joseph Conrad.

Setelah menjelajah Amazon, Redmond O’Hanlon menjelajah Republik Congo untuk mencari danau Moleke Mbembe, yang konon masih dihuni makhluk sejenis dinosaurus. Untuk itu penulis ditemani oleh Marcellin, ahli biologi setempat, dan Lary, ahli biologi AS, serta beberapa saudara sepupu Marcelin.

Perjalanan ke danau Mokele Mbembe tidak mudah. Pertama, untuk mendapat izin ke pedalaman O’Hanlon harus menyuap pejabat kementrian, yang ternyata menipunya. Untunglah di saat-saat terakhir, ketika kapal akan berangkat, Marcellin membantunya untuk mendapatkan izin. Selanjutnya perjalanan dengan kapal rakyat membuat Lary sedih, karena harus melihat betapa kemiskinan membuat rakyat Congo tidak menghargai nyawa manusia, sehingga penumpang kapal atau pendayung kano yang jatuh ke sungai dibiarkan tenggelam. Kondisi kesehatan rakyat pedalaman, khususnya suku asli yaitu suku Pigmy juga membuat Lary meneteskan air mata, karena selain masih dianggap budak atau bukan manusia, mereka harus mengalami penyakit yang mengakibatkan kematian hanya oleh karena ketiadaan antibiotik, yang di AS harganya sangat murah. Satu-satunya yang menolong suku tersebut adalah misionaris AS, yang sempat bertemu dengan mereka di sebuah kota kecil. Mengapa sampai terjadi hal demikian, karena petugas yang ditugaskan ke daerah terpencil biasanya menjual obat tersebut ke apotik, atau menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadi.
Guru di daerah terpencil hanya mengajarkan marxisme, kadang tidak digaji, dan diancam oleh kepala desa, sehingga banyak anak di pedalaman tidak bersekolah.
Banyak hal menarik dari buku ini, karena selain menggambarkan keadaan alam dan fauna yang dilewati, penulis juga memasukkan pembicaraannya dengan Lary maupun dengan para pemandunya yang berasal dari Afrika, sehingga kita dapat mengetahui perasaan, sifat dan permasalahan yang dihadapi mereka, yang kadang mengingatkan pada kondisi di Indonesia. Misalnya kuatnya sifat korup, ketidakpedulian dan kurangnya tanggung jawab pelaksana negara, sifat keluarga besar yang rajin mendekati kerabat yang sukses, kurangnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang layak, hubungan bebas, dan masih kuatnya tahyul. Namun semua ketidakberesan tersebut tampak jelas bersumber dari kepemimpinan yang korup.

Republik Congo berpenduduk hanya dua juta lebih, dan pendapatan utamanya berasal dari minyak bumi dan mineral lainnya. Semula dijajah Prancis, kemudian saat penjelajahan O’Hanlon diperintah oleh partai beraliran marxis. Dengan hanya sedikit penduduk, tentu seharusnya kondisi negara tersebut jauh lebih baik apabila dikelola dengan benar.

Selama beberapa bulan O’Hanlon menelusuri sungai dan hutan rawa dengan kapal, kano dan berjalan kaki serta makan dengan menu setempat, antara lain monyet, gorilla, dan buaya. Ia juga mengikuti orang Pygmi berburu antelope, yang memotong binatang tersebut hidup-hidup setelah dijerat. Ia juga terancam dibunuh oleh suku-suku yang berseteru di pedalaman, dan mendapat ancaman apabila berani ke danau Moekele Mbembe yang dianggap keramat, sehingga ia meminta jimat kepada dukun setempat, meskipun ditertawakan oleh Marcelin.

Buku ini tidak sekedar kisah perjalanan biasa, karena selain ketegangan karena perjalanan yang menyengsarakan dan berbahaya, terdapat dialog-dialog yang dapat mewakili gambaran masyarakat negara maju dan berkembang. Misalnya dialog penulis dengan Marcelin sebagai bangsa Afrika tentang agama, kesetiaan, keluarga, atau rasa sedih O’Hanlon ketika mendengar harapan Marcellin yang sebagai ilmuwan meminta dicarikan pekerjaan sebagai dosen di Inggris. O’Hanlon lalu teringat akan melimpahnya fasilitas dan buku di negerinya, sedangkan Marcellin di kantornya hanya memiliki dua jurnal ilmiah. Bukankah ini tidak berbeda jauh dengan kondisi di negara-negara berkembang lainnya, seperti Indonesia?

Dengan demikian, meskipun perjalalan ini hanya meliputi sebagian kecil dari benua Afrika, namun dapat mewakili kondisi bangsa Afrika pada khususnya dan masyarakat dunia ketiga pada umumnya.

No comments: