Judul : Alpha God – The Psychology of Religious
Violence and Oppression
Pengarang :
Hector A. Gracia
Penerbit :
Prometheus Books, NY
Tebal : 287 halaman
Tahun : 2015
Gambaran mengenai Tuhan – terutama dalam agama Yudaisme, Kristen dan
Islam – memunculkan dua sisi. Di satu sisi Tuhan digambarkan sebagai penuh
kasih, pemaaf, sumber segala kebaikan, keindahan, dan tujuan utama hidup
manusia. Di sisi lain, sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab suci, Tuhan
digambarkan memiliki sifat laki-laki agresif, tercermin dari kisah-kisah
hukuman dan perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak percaya atau tidak
mematuhi perintahnya, peraturan yang ketat terhadap kehidupan seksual penganut
agama tersebut, dan obsesi berlebihan atas kesetiaan dan kepatuhan pihak yang
dianggap subordinat yaitu perempuan. Dalam prakteknya, sejarah menunjukkan
bahwa kekerasan berdasarkan agama mendominasi sebagian besar sejarah manusia,
bahkan hingga saat ini. Penjajahan bangsa Eropa ke benua Asia, Afrika dan Amerika
selain dimotivasi oleh kekayaan dan teritori juga oleh semangat untuk
menyebarkan agama Kristen, demikian pula invasi agresif bangsa Arab untuk
menyebarkan agama Islam ke wilayah sekitarnya setelah kematian Nabi, dan
tindakan perang, perebutan wilayah, perampasan sumber daya serta penaklukan
rakyat di wilayah-wilayah tersebut dianggap sejalan dengan ajaran agama atau
teks dalam kitab-kitab suci yang berisi kisah-kisah tentang keutamaan berperang
untuk membela agama, janji akan wilayah baru, dan hukuman yang keras dari Tuhan
apabila manusia tidak patuh total atau meragukan doktrin yang dibawa oleh
nabi-nabinya, dari hukuman berupa pemusnahan kota, banjir, hingga pembakaran
selama-lamanya di neraka. Ajaran agama juga menganjurkan perempuan patuh kepada
laki-laki, yang diberi kelebihan dari perempuan dan memperoleh hak untuk
menghukum perempuan yang tidak patuh.
Penafsiran literal terhadap isi kitab-kitab suci ini, sebagaimana
dilakukan oleh para fundamentalis, radikalis dan ekstrimis, menghasilkan perang
agama, penaklukan agama lain, pembunuhan perempuan penyihir, penindasan
perempuan dalam bentuk antara lain mutilasi genital, pembunuhan atas nama
kehormatan, dan akhirnya terorisme. Fanatisme dengan kontrol ideologi yang
ketat juga melarang pemeluknya untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan maupun
doktrin terkait, yang pada akhirnya
melahirkan takhayul dan kebodohan.
Apabila banyak aspek dalam agama yang mengandung kekerasan, seperti
perang, penindasan terhadap perempuan, dan pembodohan serta prasangka, maka perlu
dilakukan penelitian mengenai penyebab hal tersebut, yaitu: mengapa demikian
banyak unsur kekerasan di dalamnya?
Untuk menelusuri akar kekerasan yang terdapat dalam ajaran agama,
Hector Gracia memulainya dari fakta bahwa pada umumnya pelaku kekerasan tersebut
adalah pria, dan Tuhan yang digambarkan dalam ketiga agama di atas adalah Tuhan
laki-laki (male God). Jadi Tuhan
diciptakan dengan gambaran seorang laki-laki termasuk sifat-sifatnya.
Selanjutnya apabila kita meneliti sejarah peradaban manusia, penguasa
atau raja selalu mengaitkan dirinya dengan Tuhan – misalnya sebagai keturunan
Dewa atau wakil Tuhan di bumi – untuk meneguhkan kekuasaan dan penindasannya.
Oleh karena itu cara untuk memahami sifat Tuhan yang bersifat opresif tersebut
adalah dengan memahami jiwa laki-laki. Dan mengingat manusia berkembang melalui
proses evolusi, maka pemahaman mengenai hal tersebut dapat diperoleh dari sains
evolusi, yang berarti bahwa sifat-sifat tersebut tidak dapat dilepaskan dari
asal mula manusia yang berasal dari primata non manusia, dan bisa kita lihat
jejaknya pada primata yang masih ada sekarang dimana manusia berbagi 99% DNA.
Mengapa kita dapat memahami kekerasan dan penindasan agama dari pemahaman
mengenai leluhur primata non manusia? Penulis menjelaskan bahwa terdapat
kejanggalan dari sifat yang dilekatkan pada Tuhan, yaitu meskipun Tuhan
digambarkan sebagai maha kuasa, maha mengetahui, berada dimana saja, tanpa
wujud fisik (immaterial) dan abadi, namun masih mementingkan hal-hal yang
bersifat fisik berupa kebutuhan mendasar dari
manusia bahkan primata, yaitu makanan, seks dan teritori. Mengapa dalam
kitab suci Tuhan meminta persembahan makanan dan memerintahkan penaklukan
wilayah? Hal tersebut adalah kebutuhan dasar manusia bahkan ape sebagai makhluk
organik.
Penulis menjelaskan, bahwa terdapat beberapa sifat yang dilekatkan
pada Tuhan yang nyatanya merupakan pantulan dari sifat laki-laki, yang pada
dasarnya dapat ditelusuri ke leluhur manusia pada awal evolusinya, yaitu:
1.
Dominasi seksual atau penindasan dan kekerasan
terhadap perempuan
2.
Pembunuhan yang dilakukan bersama dan identitas
in-goup
3. Berlutut sebagai simbol pengakuan terhadap alpha male
4.
Penyerahan maladaptive kepada dewa
5.
Pentingnya reputasi
6.
Wilayah Tuhan
7.
Membenarkan diri sendiri
Bagi pembaca yang pernah membaca atau mempelajari psikologi evolusioner, ketujuh hal di atas bukanlah hal
baru. Desmond Morris dalam The Naked Ape,
Robert Wright dalam The Moral Animal,
Frans de Waal, dan banyak evolusionis lainnya telah menulis buku-buku yang
menjelaskan sifat-sifat primata yang jejaknya masih melekat pada manusia
modern. Gracia menambahkan bahwa sifat-sifat tersebut melekat pula pada Tuhan
yang disembah oleh mayoritas manusia, pada Tuhan dari tiga agama yang paling
sukses memperoleh pengikut.
Perebutan sumber daya yang terbatas, perang terkait perebutan
teritori, dan persaingan ketat antar jantan untuk menjadi alpha male, yang mendapat keistimewaan memperoleh akses lebih besar
terhadap sumber daya baik makanan maupun betina, merupakan perilaku yang telah
terdapat pada primata non manusia. Oleh karena itu berdasarkan sejarah evolusi,
maka sifat dan perilaku manusia yang penuh kekerasan tersebut dapat ditelusuri
asalnya dari leluhurnya jutaan tahun lalu, yang kini dapat dilihat pada sepupu
manusia yaitu primata, dan tercermin dalam
agama yang diciptakannya. Tidak mengherankan apabila Tuhan dalam agama-agama
tersebut memiliki sifat tidak jauh berbeda dengan manusia yang menciptakannya,
dalam hal ini adalah kaum laki-laki.
Tesis Gracia bersandar pada keyakinan bahwa agama adalah hasil dari
akal budi manusia untuk bertahan hidup. Agama bukanlah sesuatu yang suci yang
benar-benar diturunkan Tuhan dari langit, sebagaimana dianut oleh orang-orang
beriman penganut ketiga agama yang dibahas dalam buku ini.
Teori evolusi bisa menerangkan banyak hal dengan baik sekali, hingga
ada yang mengatakan bahwa saking banyak dan luasnya hal yang dapat diterangkan berdasarkan teori
tersebut maka jadinya sampai seperti buku Just So Stories Rudyard Kipling: apa
saja bisa dijelaskan asal mula atau sebabnya.
Buku ini menarik karena pembaca yang terbuka dan pernah membaca atau
mempelajari psikologi evolusioner akan melihat banyak kebenaran dari hal-hal yang
diuraikan oleh penulis. Namun demikian pembahasan masih terbatas pada Tuhan tiga
agama, yang mungkin dianggap telah mewakili agama atau kepercayaan lain yang
dominan dianut manusia sepanjang sejarah. Mungkin ada Tuhan atau agama yang
sifat dominannya tidak mencerminkan kekerasan, namun hal tersebut tidak dibahas
dalam buku ini. Fakta bahwa yang mendominasi kepercayaan mayoritas manusia di
dunia adalah Tuhan dan agama yang bersifat agresif dan penuh kekerasan mungkin
telah cukup untuk membuktikan bahwa sifat seperti itulah yang disukai oleh
manusia, karena mencerminkan dirinya sendiri.