Judul : Kelana – Perjalanan Darat dari Indonesia ke
Afrika
Pengarang : Famega
Penerbit :
KPG
Tebal : 250 halaman
Tahun : 2018, Juli
Penulis memulai perjalanannya dari pelabuhan Dumai, Riau dengan
menyeberang ke Malaka menggunakan kapal ferry. Saya baru tahu bahwa kita dapat
menyeberang ke Malaysia melalui Riau. Sebagian besar dari kita mungkin juga
hanya mengetahui bahwa penyeberangan ke negara lain hanya dari Batam ke
Singapore. Selanjutnya dari Malaka
Famega meneruskan perjalanan dengan bus dan kereta ke Bangkok, Hanoi, Vientine,
dan Beijing. Dari Beijing ia ke Mongolia menggunakan kereta trans Mongolia,
selanjutnya ke Rusia dengan kereta trans Siberia menuju Eropa Timur,
mengunjungi Praha, Bulgaria, dan selanjutnya ke Spanyol dan Maroko.
Banyak hal menarik yang diuraikan Famega dalam buku ini. Misalnya kebaikan
penumpang kereta ekonomi Cina yang bergantian memberinya tempat duduk dan
makanan selama 24 jam - meskipun ia tidak paham Bahasa Cina dan mereka tidak
bisa Bahasa Inggris - karena ia penumpang kereta berdiri. Mega kehabisan karcis
kereta lainnya sehingga ia terpaksa membeli karcis kereta berdiri karena mengejar waktu agar tiba di Rusia sesuai
dengan tanggal visa yang diperolehnya.
Bagian pertama buku tidak banyak menceritakan tentang interaksinya
dengan penduduk lokal, karena perjalanan dari Malaka ke China dilakukan
non-stop, sedangkan dari Cina ke Mongolia dan Rusia terkendala oleh
keterbatasan bahasa, sehingga tidak banyak terdapat percakapan dengan penduduk
lokal atau orang lain yang ditemuinya, meskipun di Mongolia ia sempat mengikuti
tour beberapa hari dengan beberapa turis Barat. Baru setelah di Eropa Timur dan seterusnya
terdapat kisah tentang penduduk lokal.
Selain menginap di hostel, Famega tinggal di rumah-rumah penduduk
lokal dengan bantuan couchsurfing, aplikasi
yang memungkinkan seorang pelancong menghubungi penduduk kota yang akan
dikunjungi sebelum ia tiba dan menginap gratis di rumahnya. Melalui cara ini ia
mendapatkan teman-teman baru yang mengajaknya berkeliling kota-kota yang
dikunjungi. Disamping couchsurfing,
penulis mengenal penduduk lokal melalui hitchhiking,
atau menumpang mobil secara gratis, yang merupakan hal baru baginya.
Perjalanan sendirian melalui darat dengan kendaraan umum kereta api
dan bus mengingatkan saya pada Paul Therox, yang selalu melakukan perjalanan
melalui darat sendirian. Namun Famega telah mendapat banyak kemudahan dengan
adanya internet beserta segala aplikasi di dalamnya. Disamping itu Famega tidak
mencatat setiap dialog atau keadaan alam dengan rinci maupun bertemu
orang-orang berpengaruh di daerah yang dikunjunginya sebagaimana Theroux, yang
memiliki pengamatan sangat tajam terhadap hal-hal yang ditemuinya. Mungkin
karena tujuan Theroux bepergian adalah memang untuk menulis buku, sedangkan
tujuan Famega tidak sejauh itu, sehingga bukunya lebih merupakan catatan harian
selama perjalanan. Meskipun demikian, buku ini cukup menarik, karena memberikan
informasi bahwa sebagai bangsa Indonesia yang kemana-mana harus mengurus visa
terlebih dulu dengan banyak persyaratan, seseorang tetap dapat bepergian ke
tiga benua dalam waktu lama – asalkan bersedia mempersiapkan empat visa
terlebih dulu dengan segala urusannya. Selain itu, buku ini juga memberi
pengetahuan kepada perempuan muda lainnya, bahwa adalah cukup aman bagi seorang
perempuan untuk pergi kemana pun sendirian pada zaman ini melalui jalan darat.
Pelajaran yang didapat oleh penulis – dan pembaca – adalah bahwa selama kita cukup
berhati-hati dan berani, banyak orang baik yang akan bersedia membantu, dan di
balik perbedaan ras dan iklim, pada dasarnya masih banyak orang baik di bumi
ini.
Sayangnya ukuran buku ini sangat kecil, covernya kurang menarik, dan
gambar peta yang menunjukkan rute perjalanan Famega berwarna, sehingga
membuatnya tidak jelas dibaca, demikian pula beberapa foto yang terdapat di
dalamnya kurang tajam, padahal harga buku ini cukup mahal. Mungkin karena biaya
percetakan sekarang semakin tinggi?