Judul : Sang Muslim Ateis: Perjalanan dari Religi ke Akal Budi
Pengarang :
Ali A. Rizvi
Penerjemah :
Nanang Sukandar, Sukron Hadi
Penerbit :
LSM Indeks
Tahun : 2017
Tebal : 302 halaman
Penyerangan terhadap kaum minoritas seperti Ahmadiyah dan
dipersulitnya pembangunan tempat ibadah penganut agama Kristen di berbagai
daerah serta keberhasilan penggunaan isu agama untuk memenangkan pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta baru-baru ini menunjukkan, bahwa kebebasan beragama
baru menjadi milik mayoritas. Apabila kaum yang beragama minoritas saja belum
mendapatkan kebebasan yang setara, bagaimana dengan mereka yang tidak beragama
atau ateis?
Menurut Nanang Sukandar, Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan
Kesejahteraan Sosial (Indeks) yang menulis pengantar buku ini, sekitar 1,5%
penduduk Indonesia adalah ateis. Namun tentu saja mereka tidak bisa
mengekspresikan diri mereka secara terbuka, karena adanya diskriminasi bahkan
persekusi dari masyarakat. Indeks
kebebasan di Indonesia juga terus merosot, dari status negara “bebas” pada
tahun 2013 menjadi “setengah bebas” pada 2014. Oleh karena itu sebagai upaya
advokasi kebebasan beragama, termasuk kebebasan untuk tidak beragama, maka
dilakukan penerjemahan buku dari penulis ateis eks muslim ini.
Suatu upaya yang patut dihargai, meskipun sayangnya buku ini
diterbitkan sangat terbatas dan tidak tersedia di toko-toko buku. Tentu ini
karena tidak adanya kebebasan beragama (dan tidak beragama) tadi, sehingga
tidak ada toko buku yang berani menjual buku tentang pandangan ateisme atau
bahkan sekedar kritik terhadap agama, sama dengan terjemahan The God Delusion yang hanya dijual secara online oleh penjual perorangan. Sayang sekali bahwa
demokrasi kita hanya membawa kebebasan bagi kaum radikalis, sehingga buku
mereka banyak dijual di toko-toko buku
besar, betapapun absurdnya, sementara buku-buku yang membawa pencerahan seperti
ini tidak dapat diakses masyarakat luas.
Tulisan Ali A. Rizvi dianggap relevan untuk Indonesia, karena penulis
adalah eks muslim. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia,
masyarakat perlu mengetahui fenomena ateisme di negara-negara berpenduduk
mayoritas muslim, serta hal-hal yang menyebabkan seorang muslim menjadi tidak
percaya, dengan harapan muncul sifat lebih terbuka terhadap ateis eks muslim. Hal ini menjadi penting karena sekarang
masyarakat Indonesia telah menjadi sangat konservatif dalam beragama, berbeda
dengan empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu dimana dimana masyarakat
masih sangat moderat bahkan liberal.
Sang Muslim Ateis mengisahkan kehidupan Ali A. Rizvi sebagai seorang
dokter dari Pakistan yang pernah dibesarkan di Libya dan Arab Saudi. Sebagaimana kaum muslim di seluruh dunia, ketika
kecil ia belajar membaca dan menghafal Al Quran meskipun tidak bisa berbahasa
Arab, dan dibesarkan dengan nilai-nilai Islami, juga pendapat bahwa terorisme
bukanlah disebabkan agama, namun disebabkan masalah ekonomi, politik dan
lainnya. Ia mempercayai semua itu, hingga – seperti halnya Ayaan Hirsi Ali –
terjadi peristiwa September 1999. Peristiwa tersebut membuatnya meneliti
kembali agama yang dianutnya selama ini, termasuk mengingat masa kecilnya di
Saudi.
Disana sering terjadi hukuman pancung di alun-alun yang ditonton orang
banyak dalam hysteria, terutama jika korbannya berlainan agama, selain hukuman
potong lengan bagi pencuri, hukum cambuk bagi korban perkosaan, larangan
menjalankan agama bagi kaum minoritas, dan pelanggaran hak asasi manusia
terhadap perempuan. Ia merasa bahwa ada
yang salah dengan lingkungan tersebut, namun keluarganya selalu mengatakan
bahwa budaya Arab Saudi – tempat asal mula agamanya - tidak ada sangkut pautnya dengan Islam yang
sejati, negara tersebut memiliki Islam yang semuanya salah.
Peristiwa lain yang membuatnya meneliti keyakinannya adalah penikaman seorang
tentara Inggris pada 2013. Pelakunya
menyebut bahwa tindakannya “terinspirasi oleh Al Quran..surat At Tawbah dan
banyak ayat lain, yang memerintah kami memerangi mereka seperti mereka
memerangi kami.” Dalam surat tersebut ayat 29,30, Rizvi menemukan perintah
untuk memerangi umat Kristiani dan Yahudi sampai mereka masuk Islam dan
membayar pajak jizyah – sebagaimana ISIS melakukannya di kota-kota seperti
Mosul. Rizvi juga menemukan bahwa hukuman penyaliban bagi para penentang
sebagaimana diklaim ISIS dapat ditemukan dalam surat Al Maaidah ayat 33 atau
ayat 4 surat Muhammad untuk pemenggalan musuh.
Rizvi mempelajari terjemahan Al Quran dan menemukan bahwa semua
tindakan bangsa Saudi memiliki dasar di Quran: pemancungan terhadap
disbelievers/ kafir (surat 8:12-13), pemotongan tangan bagi pencuri (surat
5:38), kekerasan dalam rumah tangga (surat 4:34), pembunuhan terhadap politeis
(surat 9:5). Hal tersebut cukup
mengejutkan baginya; mengapa selama ini keluarganya tidak pernah menyebutkan
bahwa hal-hal ini terdapat di Quran? Namun ketika ia bertanya kepada para ahli,
mereka semua memberikan apologi, yaitu bahwa:
- Ayat itu ditafsirkan dengan salah
- Jika penafsiran benar, ayat itu berada dalam konteks yang spesifik pada saat itu, atau keluar dari konteks
- Jika kandungan ayat itu keliru, maka itu karena metafor, dan ia memaknainya terlalu literal
- Jika banyak orang Saudi dan bangsa Arab lainnya menjelaskan dengan cara seperti Rizvi, maka ia diingatkan bahwa orang Saudi telah disuap Amerika sejak dulu dan orang Mesir membuat perjanjian perjanjian dengan Yahudi.
- Ayat itu ditafsirkan dengan salah
- Jika penafsiran benar, ayat itu berada dalam konteks yang spesifik pada saat itu, atau keluar dari konteks
- Jika kandungan ayat itu keliru, maka itu karena metafor, dan ia memaknainya terlalu literal
- Jika banyak orang Saudi dan bangsa Arab lainnya menjelaskan dengan cara seperti Rizvi, maka ia diingatkan bahwa orang Saudi telah disuap Amerika sejak dulu dan orang Mesir membuat perjanjian perjanjian dengan Yahudi.
Apabila semua pembelaan di atas gagal, maka mereka akan
mengatakan bahwa itu semua cuma kata-kata kecuali ditafsirkan dengan benar. Sama
dengan pendapat para ustad atau ahli agama Indonesia bukan? Rizvi menyadari
bahwa semua hal akan dilakukan untuk menyelamatkan Quran dari kritik, namun
ia terus meneliti untuk mendapatkan pembacaan
yang obyektif. Baginya agak aneh bahwa pemeluk Islam yang moderat seperti
keluarganya tidak bersedia mengikuti perintah Quran secara literal seperti Arab
Saudi mengikutinya, namun hanya mengambil surat-surat yang sesuai dengan ukuran
moralitas mereka sendiri. Jika demikian, bukankan hal itu berarti mereka telah
memiliki ukuran moralitas sendiri, yang lebih baik dari Quran, namun mengapa
mereka masih mempertahankan dan membela buku yang penuh kekejaman tersebut?
Hal lain yang disorot Rizvi adalah klaim Islam sebagai
agama damai. Tidak mudah menjelaskan hal ini karena Quran penuh dengan
kontradiksi. Selain surat-surat yang berisi kekerasan, terdapat pula yang
menyerukan kebaikan seperti memberi sedekah, tidak mencuri. Namun sebenarnya
anjuran berbuat baik ini biasa saja, karena telah ada sebelum Islam muncul,
antara lain pada bangsa Yunani maupun ajaran Konfusius. Bagaimana menafsirkan
kontradiksi ini? Menurut Rizvi, kontradiksi itu dapat dimengerti jika kita
memahami bahwa ayat-ayat yang bersifat kebaikan – seperti memberi makan anak
yatim – adalah untuk kaum muslim sendiri, sedangkan ayat yang bersifat
kekerasan adalah untuk kaum di luar Islam.
Selanjutnya, Rizvi menunjukkan bahwa agama tidak dapat
dipisahkan dari politik, itu sebabnya Palestina mendapat dukungan kaum muslim
dan para jihadis selalu meneriakkan Allahu Akbar dan ISIS memperbudak
gadis-gadis Yahudi. Agama juga bukan budaya, meskipun kaum Islam moderat
mengatakan demikian. Sebagai contoh, Rizvi menunjuk banyaknya hadis yang
menyebutkan bahwa Nabi menikahi Aisyah pada umur 6 tahun dan menggaulinya pada
umur 9 tahun, sesuatu yang mengerikan bagi muslim liberal namun di Saudi hal
tersebut masih dilakukan dan mendapat dukungan dari otoritas. Hal ini didukung
oleh Quran surat 65:4 mengenai petunjuk menceraikan perempuan-perempuan
tertentu, termasuk “mereka yang belum menstruasi”, sehingga ditafsirkan
menikahi perempuan di bawah umur diperbolehkan. Oleh karena itu Khomeini
menurunkan batas minimum perkawinan menjadi 9 tahun bagi perempuan, sementara
Saudi tidak memiliki batas minimum.
Rizvi juga mengkritik kaum muslim moderal atau liberal
yang selalu menyangkal adanya kaitan antara agama dengan tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh teroris, dengan mengatakan bahwa tindakan mereka tidak ada
hubungannya dengan Islam, atau bahwa Islam yang sebenarnya tidak seperti itu.
Hal itu tidak benar, karena para teroris atau jihadis tersebut jelas-jelas
mengutip ayat-ayat Quran sebagai hal yang memotivasi mereka melakukan tindakan tersebut.
Masalah yang dihadapi kaum muslim adalah bahwa “keyakinan agama begitu mendarah
daging dalam identitas personal, social, dan kultural dari berbagai mmasyarakat
di dunia muslim, sehingga kritik apapun terhadap agama langsung dianggap
sebagai serangan personal.”
Selain hal di atas, Risvi mengungkapkan hal-hal yang
membuatnya meninggalkan Islam. Mungkin banyak orang lain mengalaminya juga,
namun karena ajaran agama dari kecil yang begitu kuat, tidak berani
mempertanyakannya. Hal-hal tersebut yaitu:
a.
The problem of evil: jika Tuhan maha penyayang,
mengapa ia memberi penyakit kanker pada orang-orang baik? Mengapa doa meminta
kesembuhan tidak ada gunanya, namun pengobatan – yang berasal dari sains –
dapat menyembuhkan secara efektif? Mengapa keharusan mencintai Tuhan disertai
dengan ancaman neraka?
b.
Sains: pemahaman akan luasnya alam semesta yang
didapat antara lain dari Carl Sagan, membuat ayat-ayat yang menjelaskan tentang
penciptaan alam terasa tidak berarti, karena banyak hal tidak dijelaskan disana
yang kini dapat kita ketahui dari sains.
c. Moralitas: kisah Nabi Ibrahim yang bersedia
membunuh anaknya demi Tuhan menimbulkan pertanyaan: apakah cinta kepada Tuhan
berarti membolehkan apapun, termasuk membunuh anak sendiri?
d. Sebagai seorang dokter, maka Rizvi membandingkan
klaim Quran mengenai perkembangan pertumbuhan janin dengan ilmu kedokteran.
Diantaranya surat 23:13-14 yang menyebutkan bahwa perkembangan janin dimulai
dari telinga, mata, lalu hati. Hal tersebut tidak benar, karena seharusnya
dimulai dari jantung, kemudian telinga dan mata bersamaan. Yang paling fatal
adalah bahwa Quran tidak pernah menyebutkan ovum atau sel telur - penyumbang
lebih dari setengah materi genetik - sebagai sumber embrio. Selain itu masih
banyak kesalahan klaim Quran terkait
embriologi yang membuktikan bahwa Quran hanya mengulangi penemuan sebelumnya
oleh Hippocrates, Aristoteles, Galen, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sains dapat lebih
diandalkan sementara agama mengaburkan segala sesuatu.
Dalam buku ini penulis juga menceritakan kehidupan kaum
muslim di Amerika Utara – tempat ia tinggal – yang relatif liberal dan tidak
berbeda jauh dengan penduduk Amerika pada umumnya. Agama lebih merupakan suatu
tradisi, namun nilai-nilai yang dianut bersifat liberal. Kaum perempuan juga
jarang yang berhijab. Baginya, hal itu lebih baik, karena kaum radikal dan
teroris sangat berbahaya; mereka tidak menghargai kehidupan, karena bagi mereka
yang berharga hanyalah akhirat. Dasar yang mereka ajukan adalah ayat-ayat Quran,
antara lain surat 3:169-170, 2:154.
Rizvi bertanya, bagaimana ia melawan pendapat mereka tanpa menentang
Quran?
Banyak lagi hal lain yang disampaikan Rizvi yang menurut
saya perlu dibaca oleh kaum muslim Indonesia yang semakin lama semakin fanatik pandangan
agamanya, agar pikiran mereka sedikit terbuka. Rizvi menulis dengan baik dan
sopan, tidak seperti para penulis hard atheist, sehingga tidak akan menimbulkan
kemarahan kaum muslim. Terbukti bahwa ia tidak dikejar-kejar para Islamis.
Buku ini menjadi harapan saya karena saat ini saya sudah
semakin lelah menghadapi teman-teman yang demikian relijius hingga taraf
absurd. Grup media sosial setiap saat ditaburi dakwah atau ayat-ayat Quran, seolah-olah
tidak ada teman yang beragama Kristen atau yang tidak percaya, seolah-olah
mereka berbuat baik dengan berdakwah tiap hari. Selama ini tulisan-tulisan itu
saya hapus begitu saja tanpa kritik atau balasan berupa tulisan yang
“mencerahkan”. Di kantor, semua rajin sembahyang lima waktu dan 90% telah
berhijab, satu demi satu teman-teman dan pegawai baru mengenakannya, seolah
takut berbeda, dan setiap kali ada yang “berhijrah”, sambutannya demikian
hangat: “selamat”, “semakin cantik,” dan yang baru mengenakan menjawab dengan
malu-malu, “ah, baru belajar, masih berantakan…”. Sementara saya tidak bisa
berbuat apa-apa, karena agama adalah urusan pribadi. Sudah untung di kantor tidak ada yang berani
menyuruh saya sembahyang, berhijab atau belajar membaca Quran huruf Arab. Di
lingkungan rumah, ibu saya sering disindir untuk mengenakan hijab dan mengikuti
pengajian. Dengan tekanan sosial seperti ini, hanya segelintir perempuan yang
sanggup bersikap liberal, dan tidak seorang pun berani meninggalkan agamanya.
Teman saya yang paling liberal pun
melakukan ibadah haji. Ya, masyarakat Indonesia telah berubah, begitu
mudahnya menjadi konservatif. Mengapa? Sebagaimana ditulis juga dalam buku ini,
meninggalkan agama yang memberi makna, perlindungan dan lingkungan tidaklah
mudah. Sebelum itu, seseorang harus memiliki pikiran kritis dan curiousity atau rasa ingin tahu yang
besar terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran berbeda, dengan membandingkan
ajaran agamanya dengan penemuan dari ilmu pengetahuan, sejarah, dan mungkin
sedikit filsafat…dengan sifat orang Indonesia yang malas membaca buku dan
bersifat komunal, siapa yang mau peduli melakukan semua itu? Sementara setiap saat khotbah-khotbah di
masjid dan televise terus memborbardir setiap orang dengan ancaman neraka
apabila tidak percaya dan mengikuti ajaran
mereka. Berapa orang yang masih mau meluangkan waktu untuk berpikir dan membaca
buku?
Mudah-mudahan buku ini dicetak kembali kelak, agar dapat
memberi dampak lebih besar bagi sikap beragama yang lebih liberal dan toleran
di Indonesia. Golongan ateis dan agnostik Indonesia tetap tidak akan dapat
bersikap terbuka di masyarakat, namun paling tidak mereka dapat menyebarkan
buku ini kepada sekelilingnya agar tidak terlalu fanatik.