Judul : Dark Star Safari: overland from Cairo to
Cape Town
The Last Train To Zona Verde: my ultimate African safari
The Last Train To Zona Verde: my ultimate African safari
Penerbit: Houghton Mifflin Company & Mariner Books,
USA
Pengarang: Paul Theroux
Tahun : 2003 & 2014
Tebal :
472 & 353 halaman
Salah
satu manfaat buku perjalanan adalah, kita dapat bepergian
kemana pun, bahkan ke tempat-tempat yang paling berbahaya hanya dengan membaca
buku di rumah yang nyaman. Bagi pembaca yang berjiwa petualang namun tidak
memiliki kesempatan untuk berkeliling dunia – baik karena kendala waktu, dana
maupun kekuatan fisik - maka membaca
buku perjalanan nyaris seperti melakukan petualangan itu sendiri.
Bahkan
di abad 21, benua Afrika masih seperti heart
of darkness – meminjam judul novel Joseph Conrad – karena dibandingkan
benua lainnya yang mengalami kemajuan pesat dan relatif aman, Afrika masih terasa
berbahaya dan tertinggal: minim infrastruktur, didera banyak penyakit,
kemiskinan parah, dan perang berkepanjangan, sehingga tidak banyak orang berani
melakukan perjalanan biasa kesana, dan tidak banyak informasi yang dapat kita
ketahui tentang wilayah tersebut. Padahal benua tersebut dihuni satu miliar
jiwa atau sepertujuh penduduk dunia dan pertumbuhan populasinya tergolong yang
paling pesat di dunia. Kita pada umumnya
hanya tahu bahwa disana banyak terdapat padang-padang savanna dan taman-taman nasional yang menjadi atraksi
turis untuk melihat alam dan binatang liar seperti singa, jerapah, gajah,
burung-burung, dan sejenisnya. Atau
bahwa disana banyak terdapat anak-anak kelaparan dan berbagai epidemi.
Paul
Theroux, yang terkenal dengan buku perjalanannya melintasi Asia dengan kereta The Great Railway Bazaar menjadi anggota
Peace Corps pada tahun 1970-an di wilayah Uganda dan Malawi, dengan menjadi
guru dan kemudian mengajar di universitas selama beberapa tahun sebelum
meninggalkan Afrika menjelang Idi Amin berkuasa. Sebagai pemuda yang baru lulus
sekolah dan idealis, pengalaman mengajar di Afrika turut membentuk karakternya
dan meninggalkan kenangan indah, membuatnya ingin selalu kembali untuk melihat
perkembangan Afrika.
Tiga
puluh tahun sesudahnya, yaitu pada 2002
Theroux kembali mengunjungi Afrika melalui perjalanan darat, khususnya kereta
api, dari Kairo menuju Cape Town melewati Sudan, Ethiopia, Kenya, Uganda, Tanzania, Mozambique, Zimbabwe, dan berakhir
di Afrika Selatan. Perjalanan ini menjadi buku Dark Star Safari.
Sepuluh
tahun kemudian, pada 2012 Theroux mencoba melintasi Afrika melalui darat dari
arah selatan ke utara melalui bagian
barat, yaitu dari Cape Town ke Namibia, Angola, Kongo, Gabon, Kamerun, Nigeria,
dan berakhir di Timbuktu, Mali. Namun minimnya
infrastruktur dan kondisi kota-kota Afrika yang dilihatnya semakin memburuk dan
berbahaya – Nigeria mirip dengan Angola dalam hal korupsi dan kemiskinannya,
ditambah adanya Boko Haram, Lagos dan Kinshaha (Kongo) hanya versi besar Luanda
(ibu kota Angola) yang kumuh, dan wilayah pedesannya hanya berisi “idle youth,
ailing villagers, beggars, rappers”,
Mali dikuasai Al Qaeda, membuat Theroux merasa perjalanannya hanya suatu
kesia-saan, sehingga ia membatalkan rencananya dan mengakhiri perjalanannya hanya
sampai di Zona Verde, Angola. Stasiun kereta terakhir di utara, namun
setelahnya tidak ada kereta atau jalan darat ke Kongo.
Apa
yang membuat penulis merasa sedih? Kota-kota yang semakin besar namun
kehilangan ciri khasnya karena kini dipenuhi perumahan kumuh yang kemiskinannya
tiada duanya di dunia, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, yang melenyapkan
padang-padang savanna atau daerah hijau, pemerintahan yang luar biasa korup dan
tak peduli pada rakyat, dan penduduk yang apatis, sangat pemalas dan agresif
terhadap orang asing.
Dalam
Dark Star Safari kita bisa mengetahui bahwa pada tahun 2000-an Sudan masih
belum begitu berbahaya; penulis bisa menjelajah padang pasir berhari-hari dan
mengunjungi lokasi dimana terdapat banyak pyramid mini, kemudian ke Malawi yang
masih mnejadi bagian dari Ethiopia, bertemu teman-teman lama dan murid-murid
yang telah menjadi orang sukses di Uganda yang telah relatif aman, hingga ke
Zimbabwe yang kala itu belum bangkrut dan tampaknya masih ada harapan. Namun
dalam buku ini pun pembaca dapat mulai merasakan kemunduran jika tidak bisa
dibilang keruntuhan Afrika: sekolah dan universitas tempat Theroux mengajar
dulu gedungnya telah hancur, perpustakaannya kosong karena bukunya habis
dicuri, dan pasangan Inggris yang dahulu mendirikan sekolah dan mengabdikan
sisa hidupnya untuk mengajar disana seperti tidak pernah berada disana - tidak
seorangpun mengingatnya lagi, sekolahnya hancur dan makamnya terlupakan.
Theroux
selalu melakukan perjalanan dengan transportasi umum seperti kereta dan bus
serta berbicara dengan setiap orang yang ditemuinya di perjalanan dan
menuliskan dialognya dengan orang-orang tersebut secara detil, serta melakukan
kunjungan kepada penulis atau orang berpengaruh setempat untuk mengumpulkan
informasi tentang wilayah yang dikunjunginya. Informasi dan pengalaman yang
diperoleh dari interaksi dengan penduduk setempat ini ditulis dengan sangat
jujur, sesuatu yang mungkin membuatnya disebut sebagai penulis arogan atau
sinis. Ia menulis dengan jujur ketidak-sukaannya pada lembaga-lembaga donor
Barat yang membantu negara-negara Afrika dengan jip mewahnya, karena menurut
penulis kehadiran mereka bertahun-tahun tidak mengubah apa-apa, sebab sumber permasalahan
adalah pemimpin-pemimpin Afrika yang sangat korup dan mengkhianati rakyatnya
sendiri, sementara rakyatnya yang putus asa demikian pemalasnya sehingga tidak
melakukan apa pun, bahkan membersihkan rumah dan halaman sendiri pun tidak,
sehingga kota-kota Afrika sangat kotor.
Penulis
juga mengungkapkan kekhawatirannya akan kehadiran imigran Cina di Afrika.
Selama ini Cina dikenal tidak mempedulikan etika para pemimpin Afrika; selama
perdagangan dengan Afrika menguntungkan, mereka akan melakukan transaksi tidak
peduli pemerintahnya otoriter atau korup. Demikian pula para imigran Cina,
mereka tidak peduli dengan penduduk setempat asalkan bisnisnya menguntungkan,
dan penduduk Afrika tampaknya tidak akan bisa bersaing dan akan kalah dari
imigran Cina. Hal ini tidak disadari para pemimpin Afrika yang tidak peduli
rakyat.
Membaca
kedua buku ini saya mendapat gambaran bahwa mungkin tidak hanya Afrika,
tapi sebagian besar wilayah dunia mengalami
beberapa masalah yang sama: pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat, degradasi
lingkungan cukup parah, meningkatnya derajat kemiskinan karena penduduk miskin
berpindah ke kota-kota yang menjadi mega city, dan menurunnya tingkat keamanan
antara lain karena meningkatnya radikalisme, dengan tingkat terparah terdapat
di Afrika.
Pengamatan
penulis yang mendalam baik terhadap alam sekitar maupun penduduk lokal, simpatinya
terhadap rakyat biasa yang harus berjuang keras untuk hidup atau dikhianati
pemerintahnya sendiri, dan kritiknya yang jujur dan tajam terhadap hal-hal yang
menurutnya tidak adil membuat buku-buku perjalanan Theroux bagi saya merupakan
yang terbaik di antara buku-buku perjalanan yang pernah saya baca.
Seperti
membaca sebuah novel yang mengharukan.