Pengarang: Gitanyali
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2011
Tebal :
186
hal
Sudah sering saya membaca tulisan Bre Redana, baik di Kompas maupun dari kumpulan cerpennya, namun baru belakangan saja saya tahu bahwa ia juga menulis novel semi biografi yang mengisahkan pengalamannya sebagai keluarga anggota PKI. Ayahnya diambil tentara ketika ia masih duduk di sekolah dasar, dan banyak teman atau kerabatnya kemudian juga tidak jelas nasibnya. Meskipun demikian, tidak seperti memoir korban pemberantasan PKI lainnya yang penuh drama atau kesedihan, novel ini bercerita dengan ringan bahkan di beberapa bagian terasa kocak.
Blues
Merbabu menceritakan masa kecil pengarang di sebuah kota di bawah gunung
Merbabu, yaitu Salatiga. Biasa saja sebenarnya, namun mungkin mengingatkan kita
pada diri sendiri. Dalam mengenang rumah, kota dan orang-orang yang kita kenal
pada masa kecil, selalu ada romantisme:
rumah terasa begitu besar, kota sangat indah dan sepi, orang-orang yang
kita kenal tampak baik atau cantik, masa
lau begitu menyenangkan dengan keluarga atau teman-teman…
Kisah
diceritakan dengan cara kilas balik. Seorang wartawati muda ingin mengetahui
masa kecil Gitanyali dan karena tertarik dengan romantisme kisahnya, berkeras
untuk mengunjungi kota tersebut dan menemui teman-teman masa kecilnya. Apakah
masa lalu memang selalu tampak indah hanya karena kita masih kanak-kanak, atau
karena sudah berlalu? Apakah sebenarnya
semua itu biasa saja?
Kekecewaan
ketika menapak tilas tempat-tempat atau orang-orang yang di masa kecil tampak
mengesankan merupakan hal yang biasa kita alami. Bagi Gitanyali hal itu adalah
blues Merbabu. Mungkin itu sebabnya
orang suka bernostalgia, karena segala sesuatu yang telah lewat terasa lebih
indah. Namun apabila kota atau tempat-tempat dan orang-orang yang kita kenal di
masa lalu telah berubah, mungkin lebih baik kita tidak mendatanginya kembali, untuk
tidak merusak kenangan indah di masa lalu.
Kisah
penculikan ayah Gitanyali tidak terlalu banyak diceritakan, namun pembaca dapat
menarik kesimpulan bahwa pandangan dan cara hidup setiap orang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari masa kecilnya, bahkan seringkali hal itu sangat
menentukan kehidupannya di kemudian hari.
Sebuah
novel yang cukup menarik, dan menambah khasanah cerita berlatar gerakan 30
September.