Judul : Isinga, sebuah roman Papua
Pengarang: Dorothea Rosa Herliany
Penerbit: Gramedia
Tahun : 2015
Tebal :
218
hal
Judul : Kain Cinta Tanpa Batas
Pengarang: Magdalena Sitorus
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : 2015
Tebal :
252
hal
Ketatnya adat atau
tradisi beberapa suku di Indonesia seringkali menindas kaum perempuannya,
sehingga hanya perempuan yang kuat yang dapat mengatasinya. Demikian yang
hendak disampaikan oleh kedua novel ini, yang berlatar adat Papua dan Sumatera
Utara.
Isinga mengisahkan
seorang gadis cantik di pedalaman Papua yang diculik oleh pemuda dari suku yang
berbeda, yang merupakan musuh sukunya. Untuk menghindari peperangan, maka ia
terpaksa harus menikah dengan Magea, pemuda yang menculiknya, sehingga membuat Abanga, kekasihnya patah hati dan pergi dari
desa sukunya.
Sebagaimana laki-laki
Papua pada umumnya, Magea tidak pernah bekerja kecuali membuka ladang baru, dan
menginginkan banyak anak. Seluruh pekerjaan termasuk berladang, menyediakan
makanan sehari-hari dan mengurus anak merupakan tugas Irewa. Meskipun
demikian, Irewa masih sering mendapat
bentakan dan siksaan dari Magea, sehingga pada suatu hari ia pergi hingga
sampai ke kampung asalnya di dataran rendah, yang lebih maju dari kampung Magea.
Di kampung halamannya,
Irewa yang menderita sakit kemudian dirawat oleh Sisi, yang ternyata adalah saudara kembarnya.
Sebagaimana adat suku-suku primitif, anak kembar dianggap kutukan, sehingga
salah satu harus dibuang. Oleh karena itu Sisi diambil anak oleh suster Vivi,
seorang misionaris berkebangsaan Jerman. Sisi berpendidikan baik dan
bercita-cita tinggi, bahkan kemudian disekolahkan ke Jerman untuk menjadi
dokter.
Sementara itu,
kekasih Isinga yang patah hati berkelana dan bertemu dengan Rere, yang
memelihara tradisi musik asli dengan berkeliling Papua. Namun kegiatan Rere
tidak disukai penguasa, sehingga ia terbunuh dan nasib Abanga di Papua
terancam. Bagaimanakah nasib Rere, Sisi dan Isinga selanjutnya?
Dalam novel ini,
digambarkan beratnya tugas yang harus dijalankan oleh perempuan Papua, yang
bertanggung jawab mencari nafkah dan mengurus seluruh anaknya, melahirkan
sendirian di hutan, menghasilkan banyak anak, namun masih dianiaya oleh suami
dan dalam masyarakat hanya diwajibkan bersabar dan menerima apapun perlakuan
suami, sehingga bunuh diri merupakan hal yang hampir dianggap wajar. Dalam
novel Sali – yang juga mengisahkan
kehidupan perempuan Papua – tokohnya bunuh diri. Namun Isinga tidak bunuh diri.
Ketika hendak terjun ke sungai, tiba-tiba ia teringat anak-anaknya, bahwa ia
memiliki tanggung jawab membesarkan mereka. Ia tidak jadi bunuh diri dan
kemudian berusaha mencari nafkah dengan berjualan hasil ladang ke pasar. Dan
melihat perempuan Jawa di pasar yang berani membela haknya, ia kemudian berani
bersikap tegas kepada suaminya yang menjual tanah adat untuk mengunjungi perempuan
bayaran. Ia bahkan menjadi aktivis untuk mengusir mereka karena memberi pengaruh buruk kepada masyarakat adat
yang masih lugu.
Tokoh perempuan dalam
novel ini adalah perempuan yang kuat: ia sanggup menikah dan dianiaya oleh
laki-laki musuh sukunya, ia tidak merasa iri melihat nasib baik saudara
kembarnya, ia sanggup membesarkan ketiga anaknya sendirian, ia berani menjadi
aktivis. Demikian pula saudara
kembarnya: ia pintar, bersifat sosial dan bercita-cita tinggi. Sementara itu tokoh laki-laki Papua
digambarkan pemalas, kejam, bodoh dan gamang menghadapi berbagai perubahan.
Namun pembaca tidak
tahu sifat rata-rata perempuan Papua, seperti Sali ataukah Isinga, karena masyarakat Papua tidak tergambarkan disini.
Tidak ada kisah mengenai teman-teman atau tetangga perempuan Isinga. Mungkinkah
Isinga merupakan perkecualian atau gambaran ideal penulisnya akan perempuan
Papua?
Kain Cinta Tanpa
Batas menggambarkan kehidupan keluarga suku Batak pada awal tahun 1970-an di
Jakarta. Tokohnya, Hotma, menikah dengan anak keluarga kaya, namun selalu
dimarahi oleh mertuanya karena tidak juga mampu memberikan anak laki-laki. Demikian
pentingnya seorang anak laki-laki bagi keluarga mertuanya, dan tuntutan yang
terkeras justru dari mertua perempuannya.
Sementara itu, suaminya seorang yang lemah, yang hanya mampu bekerja di
perusahaan pamannya, takut kepada ibunya, bahkan karena kehidupan yang kurang
teratur, akhirnya meninggal. Namun Hotma adalah seorang wanita yang berbudi
luhur dan kuat, ia tidak menikah lagi, dan memilih hidup dengan bekerja untuk membesarkan
anaknya sendirian hingga dewasa.
Apakah keluarga Batak
di masa kini masih seperti itu? Meskipun mereka terkenal kuat mempertahankan
adat, mungkin di masa kini tuntutan akan penerus laki-laki tidak sekeras
dulu.
Kedua novel ini
memiliki tema yang sama, yaitu tentang kekuatan perempuan mengatasi berbagai tantangan yang merugikan dirinya, yang berasal
dari adat istiadat yang tidak menguntungkan posisinya atau bahkan menindas.
Tema tersebut akan
menarik apabila penulis dapat menggambarkan perasaan dan perkembangan karakter
tokohnya secara mendalam dari sisi tokoh tersebut, sehingga pembaca dapat
menyelami perasaan tokoh tersebut ketika menghadapi berbagai permasalahan dan
mengatasi masalahnya, karena tentunya tokoh perempuan tersebut sering mengalami
kesedihan, keputusasaan, kesepian, kekurangan uang, dan hal-hal buruk lainnya.
Sayangnya, kedua penulis kurang menggarap hal tersebut, sehingga akhir yang happy ending tampak seperti sebuah
pelajaran atau nasihat saja: jadilah perempuan yang sabar, bertanggung jawab,
dan tahan penderitaan, agar bisa membesarkan anak-anak dan hidup tenang di kala
tua.