Pengarang: Mo Yan
Penerbit: Serambi
Tahun :
2014,
September
Tebal :
548
hal
Membaca novel-novel
Mo Yan, kita akan mendapat kesan bahwa sejarah Cina penuh dengan kekerasan dan
kekejaman yang tak terperi, atau bahwa penulis menyukai penggambaran kekejaman
secara rinci, bahkan berlebihan. Hal ini terutama tampak pada buku Big Breast and Wide Hip, yang menggambarkan kekejaman perang serta nasib
tragis hampir seluruh tokohnya selama abad 20 sejak pemberontakan Boxer hingga
revolusi komunis. Pembaca yang tidak mengetahui sejarah Cina mungkin akan
berpikir, tidakkah penulis berlebihan dalam menggambarkan nasib para tokoh
ceritanya dan kondisi Cina pada umumnya?
Mungkin tidak. Steven
Pinker dalam buku The Better Angels of
Our Nature mencatat, bahwa perang yang memakan korban paling banyak dalam
sejarah terjadi di Cina, yaitu pemberontakan An Lushan pada abad ke 8 dengan
korban 36 juta jiwa, dan kejatuhan Dinasti Ming pada abad ke 17 dengan korban tewas 25 juta orang.
Dalam zaman modern, penulis The Black Book of
Communism mencatat, korban tewas akibat berkuasanya rezim Komunis Cina tercatat
65 juta orang. Dengan demikian, novel Mo Yan mungkin hanya menggambarkan secara
nyata apa yang selama ini hanya muncul sebagai data statistik.
Sorgum Merah
merupakan novel dengan latar belakang masa pendudukan Jepang pada tahun
1930-an. Jepang menduduki Cina pada tahun 1930 sampai dengan 1942, dan Cina
pada tahun 1930-an masih bersifat feodal.
Kisah dalam novel
dituturkan oleh cucu tokoh utama, seorang bandit yang memimpin perjuangan melawan
pendudukan Jepang pada tahun 1930 di sebuah desa yang penduduknya bertanam
sorgum merah.
Sang kakek pada
mulanya adalah seorang pemuda miskin pemikul tandu pengantin perempuan. Pada
masa itu pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin lelaki dengan sebuah
tandu kecil tertutup yang dipikul oleh empat orang laki-laki, dan dalam
perjalanan mungkin mereka dihadang oleh para bandit. Sang nenek adalah anak
seorang miskin yang diserahkan kepada anak laki-laki keluarga kaya pemilik
penyulingan arak. Salah satu pemuda pemikul tandu tersebut kemudian merasa
kasihan kepada gadis cantik yang dijual ayahnya tersebut, karena calon
pengantinnya menderita lepra, sehingga ia berusaha untuk mendapatkan gadis
tersebut sekaligus kekayaan calon suaminya. Bagaimana caranya? Kisah selanjutnya adalah mengenai perjuangan
kakek penutur tersebut bersama keluarganya termasuk sang cucu dalam melawan
pendudukan Jepang serta pihak-pihak lain selama masa kekacauan peperangan.
Cerita dalam novel
ini sebenarnya cukup sederhana, namun alur berjalan cepat sehingga dapat
mengikat pembaca, dan penulis berhasil menciptakan suasana mencekam dari peperangan sejak awal hingga akhir buku. Namun
sebagaimana novel Big Breast,
penggambaran kekejaman cukup rinci, sehingga mungkin tidak semua orang sanggup
membacanya. Sementara itu karakter tokoh-tokohnya sebagian besar hanya dapat
diketahui dari penuturan sang cucu yang menjadi penutur dalam buku ini, sehingga
tidak mendalam. Sebagian besar tokoh dalam novel ini adalah orang-orang yang
malang, yang akhirnya musnah karena perang. Hanya sang kakek yang dapat bertahan
dan kemudian namanya dikenang sebagai pahlawan di desanya.
Membaca novel ini
menambah pengetahuan tentang sejarah dan kondisi Cina di masa pendudukan
Jepang, serta mengingatkan kita kembali akan kehancuran hidup yang dibawa oleh perang.