Judul : Novel Hujan Bulan Juni
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: GPU
Tahun : 2015, Juni
Tebal :
133
hal
Kumpulan
puisi Hujan Bulan Juni dan reputasi penulisnya mungkin akan membuat banyak
orang berharap bahwa novel Hujan Bulan Juni memiliki kualitas tertentu yang
mendekati karya-karya pengarang sebelumnya, meskipun kita tahu bahwa hasil
karya seorang pengarang pada umumnya bervariasi kualitasnya. Oleh karena itu
tentu sangat mengecewakan jika ternyata kualitasnya seperti karya penulis
pemula.
Hujan
Bulan Juni sebenarnya memiliki potensi menjadi novel yang menarik jika digarap
dengan baik dan mendalam. Novel ini mengisahkan hubungan cinta dua orang dosen
yang berbeda suku dan agama, yaitu Jawa dan Menado. Ada kisah tentang kehidupan
di universitas dan konsekuensi yang timbul dari interaksi antara orang-orang
yang berbeda budaya dan agama. Ketika hubungan semakin serius, masing-masing
pihak harus memutuskan, apakah akan mengikuti agama pasangannya atau bertahan
pada agama masing-masing? Bagaimana menghadapi pihak keluarga besar yang tidak
menyetujui keputusan tersebut? Apakah keduanya sanggup menghadapi lingkungan
keluarga dan masyarakat yang tidak bersahabat dengan keputusan mereka?
Novel
yang digarap dengan baik tidak hanya akan menjadi sebuah kisah cinta ringan
yang membosankan. Ia dapat memotret kondisi masyarakat Indonesia yang berubah:
bagaimana tiga, empat puluh tahun yang lalu masyarakat dapat menerima
perkawinan berbeda agama secara wajar, sedangkan kini, hal itu adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Bagaimana masyarakat Indonesia telah menjadi semakin
intoleran terhadap perbedaan dan lebih mengutamakan ketaatan beragama daripada
hubungan persaudaraan. Bagaimana meningkatnya intoleransi membuat banyak orang terpaksa
bersikap munafik, berbohong atau berpura-pura. Lebih jauh, novel tersebut dapat
mengupas mengenai hakikat agama atau keyakinan itu sendiri. Mengapa agama, yang
katanya bertujuan baik dan berdasarkan kasih, justru memecah belah; menghalangi
cinta, menjauhkan persaudaraan?
Selain
hal tersebut, sebenarnya dalam novel ini
dapat dilgambarkan pula bagaimana perbedaan budaya antar suku di
Indonesia menghasilkan karakter yang berbeda pada masing-masing individu suku
tersebut serta interaksi yang dihasilkan dari hubungan antar suku tersebut dari
masa ke masa. Misalnya, orang Menado
lebih mudah memutuskan untuk beremigrasi ke AS karena mereka tidak terlalu memikirkan
gengsi seperti orang Jawa yang cenderung bermental priyayi sehingga selalu
mendambakan pekerjaan kantoran.
Karya
sastra seringkali dapat menggambarkan kondisi suatu masyarakat jauh lebih baik
daripada uraian sejarah. Selama dua puluh tahun terakhir Indonesia menghadapi
perubahan besar yang timbul antara lain dari pengaruh global, dan hal itu dapat
menjadi bahan untuk novel yang baik.
Namun
menulis novel dengan cara di atas tentu menuntut pengarang mengambil sikap.
Sementara itu pengarang tidak ingin mengambil risiko. Maka akhir novel dibuat
mengambang. Sang tokoh yang seharusnya mengambil sikap sakit parah, dan menulis
puisi layaknya orang akan menghadapi ajal.
Mungkin
saya berharap terlalu banyak pada novel ini. Atau mungkin karena saya tahu
persis bagaimana jadinya hubungan seperti itu akan berakhir dalam masyarakat
Indonesia jika keduanya mengambil sikap bertentangan dengan lingkungan,
misalnya meneruskan hubungan dengan bertahan pada keyakinan masing-masing.
Inilah yang akan dihadapi: berpura-pura di hadapan masyarakat dan pihak
berwenang, dijauhi keluarga besar yang telah menjadi sangat saleh, dan hal-hal
aneh lainnya. Tapi bukankah tugas
pengarang menyuarakan hal-hal yang tidak biasa, mengingatkan masyarakatnya jika
masyarakat tersebut mulai berada di jalan yang tidak benar, misalnya memutus hubungan
persaudaraan hanya karena perbedaan pilihan atau keyakinan?
Mengambil
sikap yang bertentangan dengan pendapat umum memiliki risiko. Itulah sebabnya
tidak banyak yang bersedia melakukannya.