Judul :
Mengislamkan Jawa – Sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari
1930 sampai sekarang
Pengarang : M.C. Ricklefs
Penerjemah: F.X.
Dono Sunardi dan Satrio Wahono
Penerbit : Serambi
Tahun :
2013, November
Tebal : 872 hal
Mereka yang meninggalkan Indonesia dua puluh hingga tiga
puluh tahun yang lalu dan kembali ke Indonesia pada hari-hari ini akan pangling
melihat penduduk Indonesia, karena penampilannya telah menjadi kearab-araban,
sangat taat menjalankan ritual agama serta berpandangan konservatif.
Kemana para abangan dan priayi yang dulu merupakan mayoritas penduduk itu? Bagaimana mungkin penduduk Indonesia, Jawa khususnya, begitu mudah ditaklukkan sehingga makin mirip penduduk Timur Tengah hanya dalam waktu tiga puluh tahun?
Kemana para abangan dan priayi yang dulu merupakan mayoritas penduduk itu? Bagaimana mungkin penduduk Indonesia, Jawa khususnya, begitu mudah ditaklukkan sehingga makin mirip penduduk Timur Tengah hanya dalam waktu tiga puluh tahun?
Mengislamkan Jawa merupakan buku yang sangat menarik karena
mencoba menjawab semua pertanyaan itu dengan cukup mendalam. Dalam buku ini Ricklefs membagi sejarah Islamisasi Jawa dalam beberapa periode,
yaitu: periode sampai dengan tahun 1930-an, periode tahun 1942-1949, periode
1950-1966, dan periode 1966-1980 serta 1980-1998 yang disebutnya Eksperimen
Totalitarian I dan II, serta periode 1998 sampai dengan saat ini. Periode
tahun-tahun sebelumnya yaitu sejak Islam masuk ke nusantara telah ditulisnya
pada dua buku lainnya.
Pada mulanya Islam di Jawa bersifat sintesis mistik, artinya
Islam diterima berdampingan dengan kekuatan spiritual Jawa, yang mempercayai
Ratu Kidul, Sunan Lawu dan lain-lain. Sementara itu, meningkatnya kelas menengah
pada masa itu meningkatkan jumlah haji, yang membawa pulang faham reformis atau
pemurnian Islam. Bagi kalangan bangsawan, hal ini dianggap tidak sesuai bagi
orang Jawa, sebagaimana tampak antara lain dari tulisan Mangkunegaran IV dalam
Serat Wedhatama, yaitu karena orang Jawa memiliki filsafat dan kebudayaan
sendiri.
Sekitar tahun 1880-an masyarakat telah terbagi atas kaum
putihan (santri), abangan dan priayi. Perjalanan haji meningkatkan modernisme
atau pemurnian Islam, sehingga muncul organisasi-organisasi Islam pada awal
abad 20, antara lain Muhammadiyah dan Syarikat Islam (1912). Namun hal ini
diimbangi dengan munculnya partai komunis (1924) dan nasionalis (1927), yang
pendukungnya merupakan abangan. Sampai dengan tahun 1930-an Islam masih banyak
dipengaruhi oleh mistisme.
Periode 1942-1949 terjadi polarisasi karena adanya
pemberontakan komunis pada tahun 1948, yang membelah kaum abangan dengan
santri. Selain itu terjadi pemberontakan
Darul Islam, yang semuanya menimbulkan pertumpahan darah. Hal ini membuat
militer tidak lagi mempercayai baik komunis maupun Islam, sehingga polarisasi
dipolitisir.
Periode 1950-1965 terjadi gerakan 30 September 1965, yang
berlanjut dengan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap berhaluan
komunis. Setelah masa ini maka tidak ada lagi yang menghalangi Islamisasi.
Dibubarkannya partai komunis dan stigma negatif terhadap partai nasionalis
sebagai dekat dengan komunis mengakhiri politik aliran dan menghilangkan
sandaran kaum abangan.
Ricklefs mencatat bahwa penumpasan komunisme yang disertai
dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk satu dari lima agama yang
diakui negara, pendirian mesjid-mesjid hingga ke daerah terpencil, ditetapkannya
agama sebagai pelajaran wajib di sekolah, dan “pembinaan” agama kepada penduduk
desa-desa abangan oleh para santri, yang dilakukan secara intensif sejak Orba
berkuasa, serta tidak adanya alternatif lain yaitu partai atau ideologi yang
menentangnya, memberi jalan bagi Islamisasi dari bawah, yang mulai berlangsung
sejak tahun 1966. Selanjutnya meskipun
pada masa ini terdapat perpindahan ke agama Kristen yang cukup besar sebagai
akibat pembantaian terhadap pengikut atau simpatisan PKI atau gerakan kiri oleh
ormas Islam dan kepercayaan terhadap kebatinan Jawa masih cukup kuat, termasuk
oleh pimpinan tertinggi negara, namun penghancuran PKI, partai nasionalis dan
depolitisasi (massa mengambang) mengakibatkan Islamisasi semakin mudah
sementara kaum abangan semakin sedikit pengaruhnya karena tidak memiliki
institusi yang mendukung.
Setelah adanya rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah pada
tahun 1980-an, Islamisasi semakin meluas karena NU bersifat moderat, melebihi
Islam modernis. Masyarakat menjadi semakin islami.
Setengah dari buku ini menguraikan Islamisasi sejak tahun
1998 sampai dengan buku ini ditulis (2012) secara rinci. Reformasi pada tahun
1998 membawa banyak kebebasan, termasuk penerapan syariat Islam di beberapa
daerah, penerbitan majalah dan buku-buku dakwah yang bersifat ekstrim/fundamentalis,
munculnya tokoh-tokoh Islam fundamentalis dalam MUI, dan masyarakat yang
semakin konservatif, sehingga agama semakin menentukan kehidupan bernegara.
Selanjutnya, karena menjelang keruntuhannya Orba mendukung Islamisasi dan selama
sepuluh tahun terakhir pemimpin negara atau pemerintah tidak berani bersikap
tegas menghadapi tindakan maupun pendapat kaum konservatif dan Islamisasi yang
mereka lakukan dengan dakwah yang semakin intensif ke masyarakat (termasuk ke
kampus-kampus sejak tahun 1980-an), maka jadilah masyarakat Jawa (dan Indonesia
pada umumnya) semakin Islami dan konservatif. Sebagai akibat dari pemerintah
yang semakin tunduk kepada kemauan kaum agama adalah semakin lemahnya kekuatan
tawar pihak-pihak yang berusaha mengimbangi kaum konservatif, antara lain Islam
yang lebih liberal, sehingga yang mendominasi adalah Islam konservatif ala
Timur Tengah.
Jika lima puluh tahun yang lalu orang Jawa merasa bangga
dengan kejawaannya (filsafat dan pandangan hidup Jawa, mengikuti ritual agama
sekedarnya serta bersifat sangat toleran terhadap agama lain, atau bersikap
rasional, seperti penganut Kristen liberal di barat), maka kini sebagian besar
dari mereka tidak tahu lagi filsafat Jawa, merasa berdosa jika bersikap sangat
rasional, dan merasa malu jika tidak melaksanakan ritual agama secara ketat.
Upaya mengislamkan Jawa telah dimulai beratus tahun yang
lalu, namun selama itu selalu terdapat pihak yang cukup kuat untuk
mengimbanginya. Pemerintah kolonial, bangsawan keraton dan para priayinya,
kemudian kaum nasionalis, sosialis dan komunis menjadi penyeimbang sehingga
Islam di Jawa bersifat sinkretis dan toleran. Namun penghancuran partai komunis
dan nasionalis serta sistem totalitarian yang menyeragamkan ideologi selama
berpuluh tahun dengan membatasi dan mengharamkan kebebasan berpikir (termasuk
sensor buku dan pengetahuan secara ketat) kaum mudanya serta menyerahkan
pendidikan hanya kepada kaum agama membuat orang Jawa (dan Indonesia) semakin
kehilangan kepribadiannya, menjadi semakin mirip dengan muslim Timur Tengah.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup sampai disini?
Ataukah orang Jawa akan semakin konservatif lagi di masa depan, sehingga
memberi kemungkinan lebih besar bagi pihak-pihak yang menginginkan berdirinya
atau ditegakkannya syariat Islam? Apakah
konsekuensi dari masyarakat yang semakin Islami, semakin buruk atau baikkah?
Ricklefs tidak yakin apakah Islamisasi dapat dihentikan,
karena ia telah menginfiltrasi semua bidang kehidupan di Indonesia saat ini
selain terus melakukan upaya dari akar rumput. Namun ia mengingatkan, bahwa
secara filosofis, suatu negara dalam mencapai tujuannya terdapat dua pilihan, yaitu berlandaskan
kebebasan atau keadilan (yang merupakan alasan agama). Pilihan terakhir besar
kemungkinan mengorbankan yang pertama, karena itu perlu berhadi-hati dalam
melakukan pilihan.
Telah banyak contoh bahwa negara-negara yang masyarakat atau
pemerintahnya terlalu religius bukanlah negara yang ideal. Konservatisme agama
pada umumnya diikuti dengan pembatasan kebebasan berpikir dan bertindak, pengaturan
yang terlalu jauh atas kehidupan pribadi,
diskriminasi gender, intoleransi dan lainnya. Berdasarkan penelitian,
negara-negara yang paling baik perlakuannya terhadap warga negaranya dan maju
di segala bidang adalah negara yang bersifat sekuler (lihat review buku Society without God).
Membaca buku ini semakin meyakinkan kekhawatiran saya selama ini. Saya hanya
bisa berharap bahwa demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang tidak hanya membawa konservatisme agama, namun
juga penyeimbangnya, agar kalau pun tidak dapat dibalikkan, paling tidak cukup
sampai disini saja. (Mungkinkah? Di jalan yang baru saya lewati masih ada spanduk bertulisan "Waspadai bangkitnya bahaya laten komunis", meskipun komunisme telah dihancurkan sampai ke akar-akarnya, dan di
sekeliling saya adalah rekan-rekan kerja yang seluruhnya telah berkerudung, ada
yang baru seminggu yang lalu – dan mendapatkan banyak ucapan selamat dan pujian,
ada yang karena terpaksa disebabkan menyesuaikan diri dengan lingkungan…ah…tidak
banyak yang sanggup menghadapi tekanan Islamisasi…hanya teman-teman lama yang
berkepribadian kuat…)