Judul : Bumi Tuhan
Pengarang: Soetedjo Waloejo
Penerbit: Gramedia
Tahun : 2013, November
Tebal : 315 hal
Soetedjo Waloejo bercita-cita menjadi dokter yang mengabdi untuk tanah airnya setelah menyelesaikan pendidikan di Pyong Yang. Namun persitiwa 30 September 1965 mengubah seluruh jalan hidupnya, sehingga ia menjadi pengembara selama 48 tahun dan menghembuskan nafas terakhir di Paris sebagai warga negara Prancis pada tahun 2013, setelah tinggal di Korea Utara selama 10 tahun dan Uni Soviet selama 15 tahun.
Kedekatan
hubungan antara Indonesia dengan negara-negara sosialis membuat Soetedjo pada
tahun 1960 dikirim tugas belajar ke Pyong Yang selama 8 tahun. Tidak banyak
orang Indonesia yang belajar kesana atau mengetahui kondisi negara tersebut,
sehingga pengalamannya selama di Korea Utara cukup menarik dan merupakan bagian
terbesar dari buku ini.
Saat
kedatangannya pertama kali sebagai mahasiswa yang akan belajar disana, penulis
mendapat sambutan luar biasa. Selain disambut rombongan pelajar di stasiun,
juga diajak mengunjungi pabrik-pabrik, pertunjukan teater, dan mendapat hadiah
pakaian musim dingin dari pemimpin Korea Utara, Kim Il Sun. Meskipun demikian,
ia tidak bisa mengetahui nama dan
melanjutkan persahabatan dengan dua pemuda yang menemaninya selama acara
tersebut, karena mereka dilarang berteman dengan orang asing di luar tugas.
Setelah
kuliah, mahasiswa asing mendapat asrama
tersendiri dan makanan yang jauh lebih baik dari mahasiswa lokal yang hanya
mendapat jatah sejenis bubur serta
tinggal berdesakan dalam satu kamar. Namun mahasiswa asing harus sekamar dengan
satu mahasiswa lokal, yang sekaligus bertindak sebagai mata-mata.
Sebagai
pemuda dari keluarga sederhana yang merasa bangga mendapat kesempatan belajar
di luar negeri, penulis semula sempat shock setelah menyadari bahwa universitas
tempat belajarnya di Korea Utara sangat sederhana dan ilmu kedokteran di negara
sosialis tidak semaju di negara Barat. Namun ia mengagumi keuletan rakyat Korea
yang giat membangun negerinya yang hancur karena perang. Selama kuliah ia sempat
membantu delegasi Indonesia yang melawat ke Korut, disamping membantu delegasi
Korut yang berkunjung ke Indonesia.
Berdasarkan
pengalaman pengarang di beberapa negara sosialis, Korea Utara adalah negara
komunis yang paling ketat. Sebagai mahasiswa asing ia tidak boleh memiliki
teman penduduk lokal, asramanya diisolasi dan dijaga oleh dua petugas piket,
bahkan setelah seluruh mahasiswa asing lainnya pergi dan ia tinggal sendirian,
dan ia tidak boleh pergi kemana pun kecuali ke toko khusus untuk orang asing.
Seorang teman kuliah Koreanya yang bersedia ia ajak untuk makan bersama di
restoran khusus orang asing harus membayar keberaniannya melanggar peraturan
dengan kerja paksa dan diberhentikan dari kuliah. Sementara itu seorang dosennya yang memainkan biola klasik
di depan pengarang di ruang autopsi kemudian dipindahkan dan hilang.
Setelah
peristiwa 30 September dan pemerintahan berganti, mahasiswa Indonesia di Pyong
Yang diminta mengikuti skrining. Mengikuti nasihat perwakilan Indonesia disana
saat itu, Soetedjo menolak melakukannya dan menyatakan tetap setia kepada
Presiden Sukarno, sehingga paspornya dicabut.
Setelah
tidak memiliki kewarganegaraan, Soetedjo mencoba bekerja sebagai dokter dan
mempelajari akupuntur dari dosen pembimbingnya. Namun sistem komunis yang
terlalu ketat di Korut baginya terlalu kejam, sehingga ia pindah ke Uni Soviet
pada tahun 1970.
Dibandingkan
dengan Korea Utara, kehidupan di Uni Soviet terasa bebas, karena saat itu
Soviet telah melakukan revisi dalam pelaksanaan komunisme dan mengarah ke
kapitalisme. Selama di Uni Soviet Soetedjo menjadi dokter bedah dan meneruskan
pendidikan S3 sehingga memperoleh gelar PhD pada tahun 1990. Selain bekerja di
rumah sakit, ia praktek penyembuhan akupuntur, yang membawanya ke Beograd dan
membangkitkan minatnya untuk pindah ke negara Barat.
Berkat
bantuan sahabat lamanya, akhirnya pengarang pindah ke Paris. Namun kepindahan
ke negara Barat tidak berarti kesulitan berakhir, karena ketidakmampuan
berbahasa Prancis membuat pengarang merasa tidak mampu mengikuti ujian
persamaan untuk bisa bekerja sebagai
dokter di klinik atau rumah sakit. Usia yang telah mencapai setengah abad
membuatnya merasa sulit untuk belajar bahasa baru, disamping kesulitan ekonomi
apabila tidak bekerja, sehingga akhirnya selama sisa hidupnya di Prancis ia
hanya bekerja sebagai pembantu juru rawat sampai pensiun. Suatu akhir yang
tragis, meskipun setelah menjadi warga negara Prancis ia sempat mengunjungi
keluarga di Indonesia.
Soetedjo
hanyalah satu dari ratusan ribu korban peristiwa 30 September. Entah apa yang
akan terjadi seandainya ia mengikuti skrining dan pulang. Apakah ia akan tetap
bebas dan dapat meneruskan hidup dengan normal? Ataukah ia akan menghabiskan
puluhan tahun hidupnya di pulau Buru karena dianggap sebagai komunis, seperti
misalnya seorang mahasiswa kedokteran UI
simpatisan kiri (saya lupa namanya) – yang juga pernah menulis memoir
sejenis?
Melukiskan
pertemuan dengan kedua orang tuanya, penulis mendapat kabar bahwa seluruh
teman-teman dekatnya disiksa dan dibunuh, bahkan mereka yang tidak begitu
memahami arti komunisme, demikian pula keluarganya dikucilkan dari masyarakat
setelah peristiwa tersebut. Mungkin hal tersebut dan pengalaman pahitnya selama
di Prancis khususnya, menimbulkan rasa sedih pada akhir hidup penulis.
Hal ini
berbeda dengan Ibaruri, puteri Aidit yang juga tidak bisa pulang dan akhirnya menjadi
warga negara Prancis. Ibaruri, seorang dokter yang mendapat pendidikan di Cina,
juga tidak dapat berpraktek di Prancis dan akhirnya bekerja di restoran. Namun
tulisannya masih menyiratkan semangat bahkan kritik terhadap pemerintah Indonesia
masa kini yang dianggapnya kurang nasionalis, antara lain mengobral sumber daya
alam dengan murah. Mungkin latar belakang sebagai anak pemimpin Partai Komunis
memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi pengucilan di luar negeri.
Membaca
buku ini menyadarkan kita sekali lagi, betapa tingginya harga yang harus
dibayar oleh korban ideologi marxisme dan betapa kejamnya rezim militer orde
baru.
Di
seluruh dunia, komunisme murni telah runtuh, namun di Indonesia, rasa takut
akan gerakan tersebut masih dipelihara, meskipun banyak ancaman lain yang lebih
nyata dan berbahaya.
Sebagai
generasi yang jauh lebih muda, saya terkesan dengan sikap sangat rasional,
konsisten, dan cinta tanah air yang
besar dari para simpatisan kiri yang
dituduh komunis ini. Suatu sikap yang kian langka ditemukan dalam masyarakat
yang semakin religius dan intoleran, oportunis dan mementingkan diri sendiri,
jika perlu dengan menjual tanah air.