Judul : The Naked Traveler 3 dan 4
Pengarang: Trinity
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun : Mei 2011 dan September 2012
Tebal : 324 dan 260 hal
Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca Naked Traveler 1, namun tidak meneruskan membaca serial lanjutannya maupun blognya. Baru beberapa hari terakhir mencoba membaca kembali buku serial ini ketika sedang malas membaca apapun karena sudah terlalu banyak kesibukan di kantor. Ternyata sangat ringan dan menghibur, seperti mendengar kisah teman lama yang menyenangkan. Mungkin karena umur penulisnya yang tidak jauh berbeda dengan saya sendiri, dan gaya bertuturnya yang mengingatkan pada teman-teman dekat saya.
Berbeda dengan tulisan perjalanan Agustinus Wibowo yang bernada serius – sehingga penulisnya sampai pada kesimpulan: bukan destinasi lagi yang penting, tapi yang lebih penting adalah pengalaman dengan dan pemahaman akan orang-orang yang ditemui selama perjalanan, yang kemudian turut memperkaya dan membentuk sang penulis (traveler) - maka tulisan Trinity lebih banyak berisi kesan-kesan singkat di banyak tempat dan sebagian lagi berisi tips atau panduan praktis melakukan perjalanan, yang dapat diikuti siapa saja yang berminat. Jadi selain mendapatkan cerita tentang keadaan di suatu tempat, pembaca juga mendapatkan panduan cukup rinci bagaimana cara mencapai kesana serta perbandingan antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Dalam buku 4, artikel di dalamnya dibagi atas beberapa bagian, antara lain perjalanan ke wilayah di Indonesia, Afrika, ziarah ke Israel dan Petra, serta beberapa wilayah di Asia, antara lain Cina, Malaysia, Singapura dan Jepang, selain beberapa artikel khusus tentang pantai dan laut.
Yang menarik dari perjalanannya di Indonesia mungkin kisahnya ketika ke Raja Ampat, yang menurutnya sangat indah, sehingga,”…baru kali ini pula saya bisa menitikkan air mata saking kagumnya melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Ya, indahnya alam Indonesia itu bak surga, tapi Raja Ampat itu adalah surga lantai kesembilan!” Meskipun untuk kesana usaha yang dilakukan cukup berat dan pengarang sempat harus naik kapal perintis yang parah kondisinya, sebelum menjelajahi kembali pulau-pulau disana yang lebih terpencil.
Kisah perjalanannya di Namibia ketika diundang kedubes RI juga menarik, karena tentu tidak banyak dari pembaca yang mengenal negeri tersebut. Pengarang merekomendasian Namibia sebagai negara Afrika yang dapat dikunjungi traveler pemula, karena aman dan indah, sedangkan Cape Town, meskipun kotanya sangat indah, tidak aman untuk dikunjungi sendirian atau tanpa ikut rombongan tur.
Sebagai penggemar pantai, salah satu tulisan yang saya sukai adalah artikel mengenai kriteria pantai ideal dan 9 pantai terbaik untuk berenang di Indonesia, yang akan sangat membantu untuk memutuskan pantai mana yang patut dikunjungi. Menurut pengarang, kesembilan pantai itu adalah: pulau Jaam distrik Misool di Raja Ampat, pantai Ngurbloat kepulauan Kei di Maluku, pulau Nda’a di Wakatobi, pantai Ratanggero Sumba Barat, Pink Beach pulau Komodo, pulau Peucang Banten, dan pantai Tanjung Tinggi Belitung. Sedang pantai paling indah yang pernah dikunjungi pengarang adalah Maldives, sehingga ia merasa menyesal pernah kesana, karena pantai itu kemudian menjadi standar untuk membandingkan dengan pantai-pantai lainnya – yang tentu saja tidak ada yang sebanding. Jadi Maldives ternyata benar-benar indah!
Sebagian besar kesan yang ditampilkan dari tempat-tempat yang dikunjungi adalah hal-hal yang menyenangkan, misalnya pemandangan yang indah, pengalaman yang unik dan menarik, sehingga membuat pembaca ingin bepergian ke tempat-tempat tersebut. Beberapa perkecualian adalah kesan tentang Cape Town dan Beijing, dimana pengarang merasa tidak nyaman karena penduduk kota-kota tersebut tidak menyenangkan.
Buku 3 banyak berisi tips dan pengalaman melakukan perjalanan, sedangkan kisah mengenai tempat-tempat yang dikunjungi tidak sebanyak di buku 4. Yang menarik antara lain kesannya ketika berenang di Laut Mati, naik unta ke gunung Sinai, dan beberapa tempat romantis – Taj Mahal, Petra, Venice dan danau Tekapo Selandia Baru - yang membuatnya sedih karena cocoknya dikunjungi bersama pasangan. Sementara itu pengalamannya mengunjungi dan menginap di rumah teman-teman sekolahnya di India membuat kita mengetahui betapa sederhana dan susahnya kehidupan disana.
Sebagai pencinta pulau dan laut, buku Trinity dapat mendorong pembacanya untuk menjelajahi pulau-pulau dan pantai Indonesia yang sangat indah namun ironisnya sebagian besar dikelola oleh orang asing, sehingga orang Indonesia sendiri jika ingin kesana terasa sulit karena hampir semua lokasi terbaik telah dimiliki oleh mereka sehingga menjadi sangat mahal untuk ukuran Indonesia. Kadang saya juga tak habis pikir, apa sih yang dilakukan oleh pemda-pemda kita itu? Mengapa mereka tidak melakukan sesuatu pun untuk membangun wisata di daerahnya dan membiarkan semuanya dikelola oleh asing? Bahkan yang dekat dan mudah dicapai seperti Lombok saja sudah dikuasai asing, apalagi wilayah-wilayah yang lebih jauh dan terpencil. Mungkin juga karena orang Indonesia yang memiliki dana tidak ada yang menyukai laut, pantai dan pulau-pulau indah, sehingga tidak ada yang berminat berinvestasi disana, semuanya hanya menumpuk di kota-kota besar, sedangkan orang Indonesia yang menyukai laut dan pulau pada tidak mempunyai uang…..
Tulisan dalam buku-buku ini memang beraneka ragam, mungkin karena asalnya dari blog. Jadi meskipun dibagi dalam beberapa tema atau bab, tetap terasa keragamannya, terutama di buku 3, dimana selain ada 8 artikel berisi tips melakukan perjalanan, juga ada pendapat penulis tentang berbagai hal, dari menurunnya toleransi beragama hingga nasihat untuk mengikuti minat (follow your passion) agar mendapatkan pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat.
Secara keseluruhan kedua buku ini sangat menyenangkan, sekaligus bikin sirik karena rasanya tidak mungkin punya waktu dan teman untuk melakukan semua perjalanan menyenangkan yang dilakukan pengarang!