Judul : Fahrenheit 451
Pengarang: Ray Bradbury
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2011
Tebal : 152 hal
It was a pleasure to burn.
Di tengah kemajuan teknologi modern, dimana informasi apapun bisa diperoleh dengan mudah dan murah melalui internet, masih perlukah pembakaran buku? Apakah esensi dari pembakaran buku?
Pertanyaan itu muncul begitu saja ketika baru-baru ini saya membaca tentang pembakaran ratusan buku terbitan GPU berdasarkan perintah MUI, dengan syarat harus dihadiri pula oleh MUI. Bahkan yang lebih lucu lagi, mereka yang telah memiliki buku tersebut diminta pula untuk mengembalikan dan menyerahkan bukunya untuk dibakar, dan penerbit serta penerjemahnya akan dituntut. Pembakaran itu sendiri dilakukan oleh GPU dengan patuh dan pasrah, mungkin karena tahu tidak seorang pun akan membelanya, termasuk negara, yang seharusnya menegakkan kebebasan berpendapat dan berpikir serta memiliki wawasan lebih luas dari kaum fundamentalis, yang jika dibiarkan bahkan akan mengatur apa yang boleh dipikirkan oleh setiap orang. Padahal buku tersebut hanya dicetak 3000 eksemplar, dan baru terjual sekitar 460 buku. Suatu jumlah yang sangat kecil untuk “mempengaruhi ketertiban umum”.
Fahrenheit 451 adalah novel dystopia tentang tiadanya lagi kebebasan berpikir dan bertindak, dimana semua orang diharapkan memiliki pikiran yang sama dan bahkan tidak boleh berpikir. Tokoh dalam novel adalah Montag, petugas pembakar buku. Petugas pemadam kebakaran, di masa mendatang tidak bertugas memadamkan api, namun meneliti semua rumah dan membakar semua buku yang dapat mereka temukan di setiap rumah, karena setiap buku harus dimusnahkan.
Suatu ketika Montag, petugas pembakar buku, terkesan dengan pertemuan dan pembicaraannya dengan Clarisse, gadis yang berbeda dengan orang-orang lain, karena ia masih berpikir. Pertanyaan-pertanyaan Clarisse membuatnya merenungkan kembali arti hidupnya, pekerjaannya, kehidupan di sekitarnya. Namun tidak lama kemudian Clarisse hilang. Demikianlah nasib mereka yang berbeda. Setelah kepergian Clarisse, Montag merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya, dan kehidupan orang-orang yang ditemuinya tampak dangkal. Dalam upayanya untuk menemukan kebenaran, Montag kemudian malah menyimpan sebuah buku – yang merupakan sebuah pelanggaran berat jika sampai diketahui. Bagaimanakah akhirnya?
Seperti halnya 1984, Fahrenheit 451 adalah simbol hilangnya kebebasan berpikir, bertindak, dan direduksinya kehidupan massa menjadi kehidupan penuh hiburan dan tampak penuh kegiatan namun pada dasarnya dangkal, seragam, dan tanpa refleksi atau pertanyaan lagi. Seperti itukah kehidupan sebagian besar masyarakat saat ini? Seperti itukah yang diinginkan mereka yang ingin menguasai massa dengan ideologi mereka? Massa yang memiliki pikiran yang sama, menerima apapun yang diindoktrinasikan pada mereka, patuh dan tertib, yang tidak berani bertanya, melakukan kritik, dan berpikiran berbeda.
Novel ini, yang menurut penulisnya merupakan metafora, juga dapat merupakan gambaran masyarakat modern, dimana kelas menengah hanya menjadi kelas yang mengkonsumsi dan tidak memiliki peran yang berarti dalam sistem demokrasi dan kapitalistis. Pemikiran atau pikiran berbeda hanya tersisa pada segelintir orang. Tampaknya ini sesuai dengan hasil survey terakhir Kompas terhadap kelas menengah Indonesia (8 Juni 2012), yang menunjukkan bahwa kelas ini bersifat konsumtif dan konservatif, sifat yang tentu akan menggembirakan kaum fundamentalis. Ironis memang, di era demokrasi, nilai-nilai liberalisme justru terkikis oleh fundamentalisme.
Novel ini ditulis 59 tahun yang lalu dalam waktu sembilan hari oleh Ray Bradburry (1920 – 5 Juni 2012) ketika masih muda, namun kisahnya yang masih relevan sampai kini membuat Fahrenheit 451 novel klasik modern.