Pengarang: Dorodjatun Kuntjoro Jakti
Penerbit: Alvabet
Tahun : 2012, Maret
Tebal : 274 hal
Menurut Prof. Jakti, buku ini ditulis berdasarkan permintaan sekelompok orang muda berumur 40-an yang memintanya membuat buku berisi pemikiran untuk Indonesia abad ke 21. Namun mengingat penerawangan secara kuantitatif sulit dan mahal, maka penerawangan dilakukan secara kualitatif, untuk melihat kondisi Indonesia pada tahun 2030. Mengapa tahun 2030, karena pada saat itu Indonesia berada di tengah-tengah demographic bonus, yaitu saat tingkat kebergantungan (dependency ratio) pada titik terendah.
Penerawangan secara kualitatif dilakukan dengan melihat dari tiga unsur yaitu geografi, demografi dan histori. Dengan demikian pada bagian pertama dibahas kondisi dunia berdasarkan ketiga hal tersebut. Selanjutnya dibahas mengenai kondisi dunia pada paruh pertama abad ke 21, yang masih akan dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia dan globalisasi yang didominasi oleh iptek, sehingga jurang antara negara maju di utara dan negara berkembang di selatan akan semakin lebar. Selain itu penulis juga mengingatkan kemungkinan terjadinya kembali error dalam pengambilan keputusan oleh para pemimpin dunia, yang di masa lalu turut menyeret Indonesia dan menjadi titik balik untuk perubahan.
Bagian kedua membahas kondisi Indonesia dengan melihat sejarah masa lalu, dari saat sumpah pemuda, perjuangan menuju kemerdekaan, masa pencarian sistem politik, sistem ekonomi, hingga reformasi 1998 yang merupakan point of no return. Pada bagian ini penulis mengingatkan bahwa tegaknya negara Indonesia adalah karena berhasilnya negara menumpas gerakan ekstrim kiri dan kanan, dan bahwa gerakan ekstrim kanan jauh lebih sulit diberantas. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena pemerintahan Indonesia hingga saat ini masih sarat KKN, yang seringkali disertai SARA. Oleh karena itu perlu diupayakan pemerintahan yang bersih agar tidak terjadi pembalikan terhadap proses reformasi, demokratisasi dan desentralisasi oleh aliran-aliran di atas.
Penerawangan untuk melihat Indonesia delapan belas tahun ke depan menghasilkan dua skenario atau lakon. Yang pertama adalah Indonesia sebagai raksasa ASEAN yang tidak berdaya, sedang yang kedua Indonesia sebagai pusat kebangkitan masyarakat ASEAN.
Pak Jakti mengingatkan bahwa kondisi Indonesia sampai saat ini tidak begitu baik, sehingga perlu diupayakan agar tidak jatuh menjadi failed state atau negara gagal. Berdasarkan data tahun 2011, Indonesia berada pada urutan ke 64 dari failed states index (urutan 1 sampai 60 merupakan failed states). Jika mengikuti ekonom Paul Collier (lihat The Bottom Billion),yang tergolong failed states adalah 58 negara termiskin, sehingga posisi Indonesia memang sangat rawan untuk jatuh dari failing state menjadi failed state jika tak dikelola dengan baik. Penulis mengingatkan bahwa kekayaan alam Indonesia di wilayah perbatasan utara dan timur baik berupa hasil gas, tambang, perkebunan maupun perikanan dapat menjadi sumber KKN melalui kolusi pemerintah dengan asing, sebagaimana telah terjadi pada negara-negara gagal dengan pemerintahannya yang otoriter. Juga perlu diperhatikan adalah masalah food, fuel dan finance, yang terutama akan menjadi masalah bagi negara besar seperti Indonesia, sehingga dapat menimbulkan potensi ketidakpuasan yang mengarah pada anarki dan mengundang intervensi asing.
Berdasarkan beberapa indikator failed states, antara lain tingkat kebebasan, efektivitas pemerintahan, kemampuan negara menyediakan infrastruktur, tingkat pertumbuhan penduduk, dan kondisi lingkungan hidup, maka kondisi Indonesia memang cukup mengkhawatirkan, sebagaimana dapat kita rasakan sendiri selama beberapa tahun terakhir.
Skenario kedua, sebagai pusat kebangkitan masyarakat ASEAN didasari pada kemampuan Indonesia sampai saat ini yang masih berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang pernah dihadapinya. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah Indonesia ke depan harus mampu memberantas KKN, meningkatkan peranan daerah sebagai pendorong ekonomi, menjaga pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dan menangani berbagai gejolak sosial dan ekonomi termasuk menjaga persatuan dan kesatuan. Masalah SARA akan semakin meningkat, sehingga yang memerintah Indonesia harus memperhatikan potensi masalah yang berkaitan dengan separatisme dan fundamentalisme serta mempertahankan pluralisme.
Hasil penerawangan terhadap Indonesia ke depan menunjukkan,bahwa banyak masalah yang masih harus dihadapi, dan mereka yang memerintah Indonesia harus bersih, memiliki visi, mampu merumuskan dan menjalankan strategi yang sesuai, serta dapat mempertahankan pluralisme di tengah rongrongan bersifat SARA, jika Indonesia tidak ingin jatuh lebih dalam. Melihat kondisi negara kita saat ini dan beberapa dekade ke belakang, maka penerawangan penulis tampak cukup realistis. Tidak ada alasan untuk terlalu optimis, karena tampaknya tidak banyak persyaratan yang kita miliki saat ini untuk menjadikan skenario kedua suatu kenyataan.