Judul : Ayah Anak Beda Warna - Anak Toraja Kota Menggugat
Pengarang : Tino Saroengalo
Penerbit : Tembi Rumah Budaya, Yogya
Tahun : 2010, cet. II
Tebal : 319 hal
Haruskah tradisi terus dipertahankan jika hal itu tidak sesuai lagi dengan zaman, atau membebani generasi penerus tradisi tersebut? Tradisi atau adat apakah yang perlu untuk dipertahankan? Apakah gotong royong benar-benar ada, ataukah itu hanya tindakan yang bersifat timbal balik (reciprocal) murni yang penuh perhitungan?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kisah pribadi Saroengalo yang “dipaksa” meneruskan adat Toraja.
Menjadi keturunan bangsawan terkemuka Toraja ternyata menyandang beban harus mengikuti keluarga besar, yang menetapkan aturan yang harus diikuti dalam memakamkan orang yang mereka hormati, yaitu upacara pemakaman yang layak sesuai adat.
Hal ini dimulai dengani serangkaian rapat persiapan pemakaman yang memakan biaya cukup besar, pembuatan lantang atau rumah sementara untuk persiapan upacara, penyembelihan 32 kerbau, beberapa babi, dan pembuatan tau-tau atau patung kayu orang yang dimakamkan. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, kerbau diperlukan oleh orang yang meninggal untuk kendaraan ke alam berikutnya.
Pembuatan lantang dilakukan oleh masyarakat tanpa bayaran, namun mereka harus mendapatkan makanan, rokok, minuman tuak, dan kelak sepotong daging kerbau. Keluarga juga ada yang menyumbang kerbau, namun ini tidak berarti hadiah, karena dihitung sebagai hutang. Artinya harus dibayar dengan kerbau berkualitas sama jika terdapat keluarga penyumbang yang meninggal dunia. Demikian seterusnya sehingga seseorang dapat terus menerus berhutang kerbau atau babi. Oleh karena itu setiap sumbangan dicatat dengan rapi, karena semua ini harus dibalas dengan sepadan, sehingga meskipun tampak seperti kegiatan yang dilakukan secara gotong royong, sebenarnya pelaksanaan upacara ini berdasarkan kalkulasi timbal balik yang cermat.
Adat ini demikian kuat, sehingga konon banyak masyarakat Toraja yang harus menjual sawah, tanah atau harta lain yang dimiliki untuk melaksanakan adat tersebut, karena jika tidak, akan dikucilkan oleh keluarga besar. Demikian pula penulis buku ini, ia terpaksa harus menjual sebgian tanah milik ayahnya, karena dana yang ia miliki bersama keempat saudaranya tidak cukup untuk membiayai upacara yang sangat mahal, yang mencapai lebih dari satu miliar rupiah.
Saroengalo memang menulis buku ini untuk menyampaikan kritik dan kemarahannya terhadap adat dan keluarga besarnya, namun demikian, banyak pengetahuan yang dapat kita peroleh tentang adat istiadat Toraja, misalnya peran keluarga besar, pembagian kasta yang menentukan jenis upacara pemakaman seseorang, jenis-jenis kerbau untuk upacara, perbedaan dengan adat di Bali, dan rincian upacara itu sendiri.
Secara rasional, memang adat pemakaman Toraja tidak sesuai lagi dengan zaman, karena mengandung kekejaman terhadap binatang serta menghabiskan banyak waktu dan biaya, yang dapat digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif. Apalagi adat tersebut sebenarnya berkaitan dengan kepercayaan lama yaitu Aluk Todolo, sedangkan masyarakat Toraja telah menjadi pemeluk Kristen, sehingga tidak seperti di Bali, keterkaitan antara adat dengan kepercayaan tidak ada lagi.
Pertanyaan berikut, jika adat ini hilang, haruskah disesali? Haruskah segalanya diputuskan berdasarkan perhitungan rasional? Hal ini tentunya harus diputuskan oleh masyarakat Toraja sendiri, yang memiliki adat tersebut, dengan memperhitungkan manfaat dan kerugiannya.