Judul : They Poured Fire on Us From the Sky
Pengarang: Benyamin Ajak, Benson Deng, Alephonsian Deng, Judy Bernstein
Penerbit: Public Affairs, NY
Tahun : 2006
Tebal : 336 hal
* * * * *
Perang saudara di negara-negara Afrika tidak pernah banyak menarik perhatian dunia. Mungkin karena terlalu sering terjadi, sehingga Afrika selalu identik dengan perang, atau karena negara-negara tersebut dianggap tidak penting.
Perang di Sudan - salah satu negara besar di Afrika – terutama disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, sehingga perebutan sumberdaya alam yang langka menjadi sumber konflik. Daerah bagian utara yang kurang subur dan sebagian besar berupa padang pasir tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan penduduk dan ternak yang pesat, sehingga penduduk berbangsa Arab yang mendominasi pemerintahan dan wilayah utara mendesak penduduk asli di bagian selatan yang wilayahnya lebih subur. Kebangkitan gerakan pemurnian agama dari wilayah sekitarnya menjadi penyulut konflik etnis dan agama antara penduduk asli Afrika dengan penduduk bangsa Arab, yang kemudian menjadikan Sudan negara Islam. Perang di Sudan membuat ratusan ribu orang tewas dan jutaan orang mengungsi, dan belum berakhir sampai kini.
Buku ini tidak menceritakan tentang sejarah peperangan di Sudan, hanya mengisahkan perjalanan tiga orang anak laki-laki berumur antara tujuh hingga sembilan tahun melarikan diri dari medan perang, melewati desa-desa yang hancur, padang pasir dan hutan ke negara tetangga: Kenya dan Ethiopia saat perang saudara pada tahun 1980-an.
A Long Way Gone, kisah seorang anak Afrika yang terperangkap perang di Nigeria dan dipaksa menjadi tentara anak-anak, telah menggambarkan kekejaman perang dengan mengesankan. Namun They Poured Fire.. lebih menyentuh, karena dialami oleh anak-anak yang jauh lebih kecil, sehingga penulisannya juga masih bernada anak-anak yang sederhana dan apa adanya. Mungkin karena buku tersebut ditulis tak lama setelah mereka tiba dari kamp pengungsian di Afrika, meskipun saat itu mereka telah berusia sekitar dua puluh tahun dan berada di Amerika.
Kita dapat membaca bagaimana desa mereka diserang pada suatu malam sehingga orang tua mereka menyuruh mereka melarikan diri ke hutan. Namun mereka tak dapat kembali lagi ke desa dan mengetahui nasib orang tua mereka dan harus mulai berjalan ke desa lain. Namun setiap desa yang mereka datangi juga tidak lama kemudian diserang, sehingga mereka harus terus dan terus berjalan. Tanpa makanan, tempat berteduh atau pakaian, mereka harus melewati hutan yang masih banyak dihuni binatang buas, padang pasir yang berserakan tulang-belulang pengungsi lain yang tidak sanggup meneruskan perjalanan, sungai, kota yang penuh ranjau, hingga akhirnya tiba di tempat pengungsian yang tidak mengenal belas kasihan. Penjaga mereka hanyalah tentara pemberontak yang juga masih muda dan juga tidak memiliki apa-apa kecuali sedikit senjata.
Menakjubkan membaca bagaimana seorang anak berumur tujuh tahun dapat memiliki semangat hidup begitu besar meskipun telah kehilangan segalanya dan dapat memaksa diri sendiri untuk ”tidak menangis, tidak menurutkan rasa sedih, pikirkan hanya cara bertahan hidup: tumbuhan apa yang dapat dimakan, alat apa yang dapat dipakai memasak, bagaimana supaya bisa terus kuat berjalan apapun yang terjadi...”
Membaca kisah Deng dkk akan membuat kita kagum akan keberanian dan semangat hidup mereka, sekaligus sedih. Bagaimana mungkin anak-anak tersebut memiliki keberanian dan kekuatan demikian besar?
Buku ini menegaskan kebenaran arti survival of the fittest: hanya yang kuat dan mampu beradaptasi yang dapat bertahan, dan nasib baik juga penting. Namun kekejaman perang yang luar biasa dan tiada akhir yang digambarkan dalam buku ini kembali memunculkan pertanyaan lama: mengapa demikian banyak kejahatan dan kesedihan di bumi; mengapa anak-anak harus menderita, dan tak ada pertolongan dari manapun?