Judul : Bilangan Fu
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG
Tahun : 2008, Juni
Tebal : 536 hal.
Berbeda dengan trend novel saat ini – novel religius - Bilangan Fu menawarkan sikap sebaliknya. Novel ini merupakan kritik terhadap fundamentalisme agama, televisi, kedangkalan pikiran, dan ajakan untuk memelihara kelestarian alam serta budaya asli. Tiga tokoh yang terdapat disini masing-masing mewakili sikap fundamentalisme, yang diwakili oleh tokoh Kupukupu alias Farisi, rasionalisme yang diwakili tokoh Yuda, dan postmodernisme yang diwakili tokoh Parang Jati.
Yuda, yang menjadi tokoh utama, adalah pemanjat tebing, yang kemudian bertemu Parang Jati, ketika akan membeli peralatan memanjat. Yuda yang sangat rasional dan semula menganggap remeh Parang Jati, menjadi terkesan ketika Parang Jati dapat menerangkan lokasi pemanjatan dengan menggabungkan ilmu pengetahuan (geologi) dan legenda rakyat, sehingga Yuda kelak menjadikannya sahabat.
Parang Jati, yang bermaksud akan belajar memanjat tebing kepada Yuda dan sebelas orang kawannya sesama pemanjat, juga membuat Yuda berjanji hanya akan melakukan clean climbing, yaitu pemanjatan tanpa merusak tebing dengan bor, paku dan sejenisnya demi menghargai alam.Di tengah semua ini, mereka bertemu dengan Kabur bin Sasus, seorang penganut mistik yang kemudian digigit anjing gila bersama dengan teman Yuda, Pete. Kabur tidak bersedia dibawa ke rumah sakit, sehingga meninggal dunia. Ketika hendak dimakamkan, terjadi keributan karena tiba-tiba muncul Kupukupu, yang melarang Kabur dimakamkan di makam desa dengan alasan ia musrik. Orang-orang desa mengalah, sehingga Kabur dimakamkan di luar desa, dekat tebing lokasi pemanjatan. Namun terjadi kehebohan selanjutnya, karena makamnya kemudian terbuka dan orang desa mengatakan bahwa Kabur bangkit dari kubur.Yuda kemudian menginap di rumah orang desa dan Parang Jati tinggal di rumah pamannya di wilayah tersebut, namun ia seperti merahasiakan sesuatu.
Rahasia itu baru diketahui Yuda ketika ia kembali ke Bandung dan menonton pertunjukan paranormal untuk mengejek irasionalitas. Ia melihat Parang Jati yang berjari enam menjadi bintang pertunjukan diantara orang-orang cacat, yang membuka rahasia Parang Jati selama ini.Parang Jati dan Farisi tidak mengetahui kedua orang tua masing-masing. Keduanya ditemukan oeh Mbok Manyar – yang memiliki kearifan desa – di sendang terakhir yang tidak pernah dikunjungi orang desa, dalam sebuah keranjang. Parang Jati yang tampan dipelihara oleh Suhubudi, orang terkaya di desa yang mengumpulkan orang-orang cacat dan kemudian menjadikan mereka pertunjukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya memelihara alam.Kupukupu, yang terlambat sehari ketika ditemukan oleh Mbok Manyar, dipelihara oleh penduduk desa biasa.
Sejak kecil Kupukupu merasa iri hati dengan Parang Jati dan berusaha menyainginya, hingga suatu hari ia memperoleh beasiswa belajar ke luar negeri. Namun Kupukupu tidak mampu menyelesaikan pelajaran dan sejak pulang berubah nama menjadi Farisi serta menjadi orang fanatik yang mencela adat istiadat penduduk desa yang mengadakan upacara tradisional sebagai dosa.Puncak dari tindakan Kupukupu adalah ketika ia merusak sesajen yang dibuat penduduk dalam suatu upacara adat, sehingga menimbulkan kemarahan penduduk.Sementara itu, Parang Jati berusaha membela penduduk desa dalam melawan perusahaan tambang yang akan menguasai desa tersebut, antara lain dengan menghidupkan kembali adat lama yang menghormati lingkungan, bahkan dengan membentuk aliran kepercayaan baru – hal yang dianggap Kupukupu sebagai dosa tak termaafkan, sehingga ia menghancurkan Parang Jati.
Apakah Kupukupu bekerja sama dengan perusahaan pertambangan? Apa yang sebenarnya terjadi pada Kabur?
Novel ini merupakan kritik terhadap kondisi Indonesia saat ini: kondisi dimana kaum fundamentalis agama monoteis dengan kasar berusaha memaksakan pendapatnya dan menghinakan kepercayaan serta adat lokal yang telah ratusan tahun, kapitalisme yang dibiarkan merusak lingkungan dengan segala cara, lemahnya kekuatan para pecinta lingkungan dan toleransi, dan diamnya massa karena ketiadaan pengetahuan yang memadai serta rasa takut dianggap tidak beriman.
Tidak mengherankan bahwa penulis sebagai orang Jawa berusaha memunculkan kembali kearifan budaya Jawa, antara lain melalui penjelasannya tentang wayang (yang dilengkapi dengan gambar yang dibuat sendiri), legenda, cerita Babad Tanah Jawi, dan seruan perlunya memelihara kepercayaan lokal berdampingan dengan agama monoteis, namun dengan sikap kritis. Hal ini disuarakan oleh tokoh Parang Jati, yang mungkin mewakili pendapat penulis, yaitu “dimana spiritualitas menampung sikap kritis akan kebenaran, sekaligus tahan memanggul kebenaran yang tertunda itu.” Namun “kebenaran jangan jatuh ke tanah dan menyentuh bumi, menjelma, hari ini. Sebab, jika kebenaran menjelma hari ini, ia menjelma kekuasaan.”
Spiritualitas yang dirujuk penulis adalah agama-agama Timur, di buku ini dilambangkan dengan bilangan fu, atau nol tetapi tak terhingga, sebagai lawan dari satu, yaitu Tuhan agama monoteis. Dikisahkan bahwa Parang Jati membentuk kepercayaan baru yang bersifat Jawa tapi bukan Kejawen, karena tidak seperti Kejawen yang "tidak merumuskan daya kritis, mengabaikan logika dan tidak analisa sama sekali," kepercayaan ini “milik orang yang rasional tapi kritis pada rasionya.” Namun Parang Jati menolak rasionalisme, karena menganggap rasionalisme identik dengan modernisme dan kapitalisme, yaitu menguasai alam untuk kekuasaannya sendiri, sehingga cenderung merusak.Benarkah agama-agama Timur kritis? Memang tidak ada Tuhan monoteis disana, tapi apakah ada kritik terhadap hal-hal yang biasa dipercaya, seperti reinkarnasi? Bagaimana dengan rasionalisme para ilmuwan, yang justru karena kedalaman pengetahuannya akan alam semesta menjadi sangat menghargai alam dan merasakan spiritualitas darinya? Bagi mereka rasionalisme tidak berarti perusakan alam melainkan sebaliknya dan karena itu pemahaman cara bekerja alam berdasarkan ilmu pengetahuan sangat perlu bagi masyarakat - meski pengetahuan tersebut selalu terbuka untuk revisi dan tidak sempurna serta bisa mengarah kepada bilangan nol: atheisme. Sikap yang diambil Parang Jati memang lebih mudah untuk diterapkan pada masyarakat, meskipun di novel ini hal itupun harus diperjuangkan.
Cukup banyak yang ingin diutarakan penulis dalam satu novel, sehingga terlalu banyak dan di beberapa bagian seperti pelajaran yang terlalu rinci, misalnya uraian panjang tentang legenda, wayang, Babad Tanah Jawi, dan kondisi zaman Orde Baru mungkin hanya perlu bagi yang belum mengenal legenda tersebut atau tidak pernah hidup di zaman Orba. Selain itu banyaknya penjelasan yang cukup rinci kadang membuat saya lupa bahwa yang sedang memikirkan hal tersebut adalah Yuda, karena seolah pikiran penulis sendiri melalui tokoh Yuda.Hal lain, asal usul Parang Jati dan Kupukupu dari keranjang yang ditemukan di sungai merupakan kisah yang terasa klise, demikian pula kematian Parang Jati.
Hal baru yang dilakukan penulis dalam novelnya adalah menghiasinya dengan beberapa ilustrasi yang digambar sendiri, dan menyertakan beberapa kliping berita surat kabar sebagai pelengkap cerita.
Secara keseluruhan novel ini cukup menarik, meskipun bergaya lebih populer namun banyak yang dapat disampaikan, dan mungkin dapat mengubah para pembaca Indonesia agar lebih menghargai lingkungan dan budaya lokal.