Judul : Laut dan Kupu-Kupu – Kumpulan Cerpen Korea
Penerjemah : Koh Young Hun & Tommy Christomy, editor Hamsad Rangkuti
Penerbit : Gramedia
Tahun : 2007, Desember
Tebal : 359 hal
Dua belas cerpen dalam buku ini ditulis oleh 12 penulis Korea, dibagi dalam 6 (enam) tema dan periode, yaitu periode tahun 1950-an, 1960-an, dst sampai dengan tahun 2000-an. Periode pertama tahun 1950-an bertema Perang Korea, berikutnya periode tahun 1960-an bertema Generasi Baru, 1970-an Zaman Industrialisasi, 1980-an Gerakan Rakyat Nasionalis, 1990-an Dekonstruksi Wacana Besar, dan terakhir periode 2000-an bertema Imajinasi Baru Abad ke 21.
Cerpen pertama, Dua Generasi Teraniaya menceritakan kesedihan seorang ayah cacat yang menjemput putranya yang juga menjadi cacat akibat perang. Seoul Musim Dingin 1964 menceritakan seorang laki-laki yang putus asa.
Jalan ke Shampo adalah cerpen yang terbaik dalam novel ini, mengisahkan kehidupan dua orang laki-laki miskin yang mencari pekerjaan, yang kehilangan kampung halaman atau desanya karena telah berubah menjadi daerah industri yang tak dikenalinya lagi, namun meski dalam kesusahan, masih bersedia menolong pelarian seorang gadis desa yang dikejar pemilik warung remang-remang. Kisah ini mengingatkan pada kondisi yang terjadi di desa-desa di tanah air. Namun bukan itu saja, pengarang dapat menuliskannya dengan sangat baik untuk menimbulkan simpati pembaca.
Dinihari ke Garis Depan mengisahkan penderitaan dan perjuangan kaum buruh dalam menghadapi pemilik modal yang selalu ingin menindas buruh dengan upah rendah dan perlakuan tidak manusiawi. Lagi-lagi mengingatkan kondisi disini.
Sungai Dalam Mengalir Jauh bercerita tentang konflik keluarga karena adanya anak dari dua wanita. Sementara itu Betulkah? Saya Jerapah mengisahkan kehidupan penuh perjuangan seorang petugas kereta bawah tanah, sedangkan Kupu-Kupu dan Laut, yang menjadi judul buku ini, berisi pikiran seorang perempuan bekerja tentang berbagai masalah yang dihadapinya. Dua cerpen terakhir ini ditulis dengan gaya modern – tidak selalu runtut dan realis, namun masih cukup menarik karena masih mengisahkan perjuangan dan penderitaan menghadapi hidup. Sedangkan Pewarisan, yang juga mengisahkan konflik dalam keluarga, ditulis dengan gaya seperti reportase sehingga cukup membosankan.
Dinihari ke Garis Depan mengisahkan penderitaan dan perjuangan kaum buruh dalam menghadapi pemilik modal yang selalu ingin menindas buruh dengan upah rendah dan perlakuan tidak manusiawi. Lagi-lagi mengingatkan kondisi disini.
Sungai Dalam Mengalir Jauh bercerita tentang konflik keluarga karena adanya anak dari dua wanita. Sementara itu Betulkah? Saya Jerapah mengisahkan kehidupan penuh perjuangan seorang petugas kereta bawah tanah, sedangkan Kupu-Kupu dan Laut, yang menjadi judul buku ini, berisi pikiran seorang perempuan bekerja tentang berbagai masalah yang dihadapinya. Dua cerpen terakhir ini ditulis dengan gaya modern – tidak selalu runtut dan realis, namun masih cukup menarik karena masih mengisahkan perjuangan dan penderitaan menghadapi hidup. Sedangkan Pewarisan, yang juga mengisahkan konflik dalam keluarga, ditulis dengan gaya seperti reportase sehingga cukup membosankan.
Secara keseluruhan, sebagian besar cerpen dalam buku ini cukup bagus, antara lain karena penggambaran pikiran dan tindakan tokoh-tokohnya cukup terinci, sehingga mampu membawa pada suasana yang dikehendaki. Namun, untuk mencapai hal ini maka sebagian cerpen tersebut menjadi lumayan panjang. Selain itu, penceritaan yang realis dan muram juga mendominasi kumpulan cerpen ini.