Judul : An Illusion of Harmony: Science and Religion in Islam
Pengarang : Taner Edis
Penerbit : Prometheus Books, NY
Tahun : 2007
Tebal : 251 hal
Buku ini hendak menjawab pertanyaan: mengapa setelah lebih dari seratus tahun, umat Islam tetap tidak mampu mengejar ketinggalannya dalam sains dengan bangsa Barat? Bukankah umat Islam selalu mengumandangkan hadis yang mendorong agar menuntut ilmu, bahkan hingga ke negeri Cina, dan umat Islam juga selalu mengenang kejayaan ilmuwan Islam pada zaman pertengahan (abad kegelapan di Eropa)? Apakah sebabnya hanya karena negara-negara Islam saat ini pada umumnya miskin dan korup, sehingga tidak memiliki dana untuk mengembangkan ilmu? Tapi mengapa di negara kaya – seperti Arab – sains juga tidak berkembang?
Penulis, fisikawan berdarah Turki-Amerika yang dibesarkan di Turki dan kini mengajar di universitas di Amerika, mencoba menguraikan permasalahan di atas terutama berdasarkan kondisi di Turki, yang cukup baik diketahuinya. Meskipun demikian, pembahasannya relevan untuk negara-negara mayoritas Islam lainnya, termasuk Indonesia. Turki adalah negara berkembang yang relatif miskin, korup, berusaha untuk sekuler namun kini mengalami kebangkitan agama, suatu kondisi yang tidak beda jauh dengan Indonesia atau negara Islam lainnya.
Menurut Taner Edis, anggapan umat Islam bahwa kejayaan ilmuwan Islam seperti zaman pertengahan dulu akan dapat dicapai adalah tidak relevan, karena sains di zaman tersebut sangat berbeda sifatnya dengan sains modern, sehingga apabila dibandingkan, hampir tidak ada yang tersisa dari “sains” di zaman tersebut. Sains modern sangat bersifat empiris, eksperimental, dan memerlukan peralatan yang mahal, disamping itu untuk melakukannya harus berada dalam kerangka teori yang mendasarinya. Hal ini tidak ada dalam zaman pertengahan dulu. Sayangnya, kerangka teori yang mendasari ilmu murni sebagian besar tidak dapat diterima oleh umat Isam, karena dianggap tidak sesuai dengan agama (Qur’an dan hadits). Sains modern berusaha menjelaskan segala sesuatu berdasarkan sebab alami, bersifat materialis dan reduksionis, sementara negara Islam selalu memberi batasan bahwa sains harus menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah rancangan dan pemeliharaan Tuhan. Tidak heran bahwa aliran creationism dan intelligent design mendapat dukungan besar. Namun sebagai akibatnya, umat Islam tidak pernah melakukan penelitian ilmu-ilmu murni – seperti biologi, fisika, neuroscience – dan hanya bersedia mempelajari ilmu-ilmu terapan, misalnya teknik dan kedokteran. Selama hal ini terjadi, maka umat Islam akan harus mengimpor teknologi, karena tidak mengembangkan sendiri ilmu murninya.
Penulis mengambil contoh, bahwa teori evolusi tidak dapat diterima oleh umat Islam, padahal teori ini telah menjadi dasar untuk banyak ilmu-ilmu lain, tidak hanya terbatas pada biologi, sehingga mengabaikannya akan berakibat cukup fatal untuk mengembangkan sains. Demikian pula penelitian neuroscience dll untuk menyelidiki mengapa seseorang beragama tidak akan mungkin dilakukan di negara Islam, karena dianggap sudah seharusnya. Hal ini karena negara selalu membatasi sains yang dapat dilaksanakan oleh ilmuwan, dan karena negara Islam lebih bersifat komunal, maka ilmuwannya pun pada umumnya religius dan mendukung pembatasan yang diberikan. Mereka berusaha mencari sesuatu yang khas Islam, tapi selalu akhirnya kembali kepada doktrin tradisional yang penuh pembatasan. Hal ini berbeda dengan di negara Barat, dimana kaum beragama terdiri dari kaum konservatif dan liberal. Adanya penganut agama yang liberal memungkinkan pemisahan antara agama dan sains, sehingga tidak ada pembatasan terhadap penelitian yang dapat dilakukan, dan ilmuwan dapat berpikir merdeka tanpa harus mendukung agama tertentu. Oleh karena itu penulis menyarankan, jika umat Islam ingin memajukan sains, maka tumbuhkanlah kaum liberal di negara Islam agar ilmuwan memperoleh kebebasan. Namun jika umat Islam merasa harga yang harus dibayar untuk itu terlalu mahal dan tetap ingin mempertahankan komunalisme dan konservatisme, maka jangan berharap terlalu banyak untuk dapat mengembangkan ilmu murni, sehingga mungkin selamanya harus bergantung ke Barat, karena teknologi saja tidak dapat berkembang tanpa didukung ilmu-ilmu murni, dan ilmu-ilmu murni tak dapat dikembangkan tanpa kerangka teoritis - yang umat Islam tidak bersedia menerimanya.
Tampaknya analisis Taner Edis benar adanya, karena selama ini saya belum pernah melihat ilmuwan Indonesia yang tidak religius, bahkan ada biologist dan fisikawan yang menentang teori evolusi, dan buku-buku Harun Yahya bertebaran dimana-mana dan dipuji-puji di internet. Sementara buku penyeimbangnya... hanya satu dua dan tidak jelas ada di toko mana.